Saat saya akan berkunjung ke RS Marzoeki Mahdi di Bogor, saya merasa deg-degan sekaligus excited karena itu merupakan pengalaman pertama kalinya saya ke rumah sakit jiwa, walaupun sebelumnya saya sudah pernah berkunjung ke panti bina laras dalam rangka tugas MOW. Sebelumnya saya sudah mendengar cerita-cerita dari senior mengenai keseruan mereka bertemu dan berbicara dengan pasien disana, sehingga saya cukup menantikan kesana.

Pada waktu pertama kali kami sampai, kami diberikan pengarahan dan materi terlebih dahulu. Kemudian setelah itu dibagi menjadi tiga kelompok besar dan diarahkan untuk berkeliling dari satu ruangan tempat pasien dirawat ke ruangan lainnya. Hanya saja saya cukup kecewa karena ketika berkeliling, kami hanya bertemu dengan perawatnya saja tanpa ada komunikasi sama sekali dengan pasien, selain itu dalam satu kelompok terlalu banyak orang sehingga menyebabkan sulit untuk mendengar dan bertanya. Untungnya di ruangan terakhir, kami dibawa ke ruangan tempat pasien-pasien diterapi dengan menggunakan keterampilan seperti musik, gambar, jahitan, dll dimana saya melihat karya-karya mereka yang bagus-bagus dan berpikir kami yang normal saja sebenarnya belum tentu bisa membuatnya. Disana kami berkesempatan untuk memawancarai salah satu pasien yang ikut day care yaitu perawatan yang tidak harus menginap dan mereka hanya perlu datang setiap tiga kali seminggu. Kemudian kelompok kecil saya yang terdiri dari tiga orang memutuskan untuk mewawancarai seorang ibu yang sedang duduk sendirian, yang belakangan kami ketahui namanya mbak Bunga (nama samaran).

Menurut suster yang ada disitu, ia merupakan seorang pasien yang menderita skizofrenia. Ketika mengajak mbak Bunga berbicara untuk diwawancarai, saya merasa dia orang yang jika dilihat sekilas orang tidak akan tahu kalau dia memiliki gangguan skizofrenia, dia juga cukup modis untuk orang yang menderita skizofrenia. Mungkin karena ia bukan pasien tetap yang berarti kondisinya sudah membaik, kami kesulitan menemukan symptom-symptom yang terdapat pada mbak Bunga. Symptom yang kami bisa peroleh hanya symptom negative seperti asociality dan blunted affect yang terlihat dari hasil observasi kami, serta disorganized speech yang terlihat saat kami mewawancarainya.

Dari pengalaman tersebut kontribusi yang bisa saya berikan untuk pasien skizofrenia yang notabene belum menjadi seorang psikolog bisa dimulai dari hal  kecil dan sederhana seperti berhenti menggunakan istilah gila dalam menyebut orang yang menderita gangguan jiwa, karena itu bisa menyinggung bukan hanya orang tersebut tetapi juga keluarganya, selain itu berusaha untuk melihat mereka bukan seperti orang aneh yang harus dijauhi tetapi seseorang yang membutuhkan bantuan dengan tidak menjauhi dan mengucilkan mereka.

Catatan Refleksi Diri Mahasiswa 
Rigella Ribka Dwiwani – Psikologi ’18