Saat berkunjung ke RS Marzuki Mahdi (RSMM), saya kembali disadarkan bahwa apapun bisa terjadi kepada siapapun dan kapanpun itu, tidak peduli tua, muda, kaya, ataupun miskin. Schizophrenia pun demikian. Bahkan, orang yang sehat atau tidak memiliki riwayat keturunan schizophrenia pun dapat mengalaminya. Jadi, tidak perlu merasa diri hebat dan berlaku sombong, apapun dapat terjadi, roda kehidupan itu selalu berputar. Sekarang mungkin keadaan baik-baik saja, tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi beberapa tahun atau bahkan beberapa hari kedepan? Saya bersyukur bahwa keadaan saya baik-baik saja saat ini. Saya sehat dan memiliki keluarga yang sangat mendukung saya.

Hal ini saya dapatkan ketika kami diajak berkeliling ke beberapa bagian RSMM yang dapat dikunjungi. Saya melihat pasien di RSMM sungguh beragam, tidak memandang warna kulit, ras, dan etnis. Ada yang berasal dari suku Jawa, ada yang orang Tionghua, ada yang orang Sunda, ada yang masih remaja, usia dewasa, bahkan kakek atau nenek. Ketika di tempat daycare, saya bisa melihat bahwa ada kerinduan dari keluarga dan juga pasien sendiri untuk mereka dapat beraktivitas normal seperti orang-orang pada umumnya, saling bercengkerama satu dengan yang lain.

Saya mengatakan demikian karena seperti yang dikatakan oleh Ibu-Ibu dari pihak RSMM, RSMM adalah RS yang bisa dibilang sangat baik atau berbintang, biaya yang dikeluarkan oleh pihak keluarga pasti tidaklah sedikit. Disamping itu, pasien RSMM tidak hanya berasal dari Bogor saja, melainkan beberapa dari luar pulau. Keluarga ingin memberikan yang terbaik terhadap pasien. Di daycare pun,  pasien mau berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang difasilitas oleh RSMM seperti menjahit ataupun memainkan alat musik.

  • Bagaimana kesan terhadap pasien yang diajak bicara?

Saya sedikit sedih, bagi saya, diusianya sekarang ini seharusnya Bapak Z masih bisa melakukan aktivitas yang disukai, bisa banyak menghabiskan waktu bersama dengan keluarga. Sayangnya, Bapak Z harus berada di RSMM untuk mendapat perawatan. Bapak Z terlihat lesu dan pandangannya kosong.

Entah apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan. Sulit dimengerti. Namun, Bapak Z masih cukup bisa diajak bicara meskipun beberapa jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan. Seperti yang dikatakan oleh perawat, Bapak Z masih ‘bingung’. Bapak Z tidak seperti pasien schizophrenia yang saya piker sebelumnya. Saya piker pasien schizophrenia akan sangat agresif, tetapi Bapak Z sangat tenang. Memang ada beberapa orang yang aktif bergerak maupun bicara, namun tetap tidak seperti yang saya pikirkan sebelumnya.

  • Kontribusi sederhana apa yang bisa anda berikan untuk membantu pasien Schizophrenia?

Hal sederhana yang dapat saya berikan untuk orang yang mengalami schizophrenia adalah dengan cara tidak menjudge atau memberikan stigma negatif, terlebih karena saya sudah belajar tentang schizophrenia. Saya sudah mengetahui lebih banyak tentang hal tersebut. Dengan tidak menjudge atau memberikan stigma negatif, hal ini didukung dengan perilaku saya. Penerimaan terhadap kehadiran mereka dan juga perilaku positif terhadap mereka, misalnya dengan tidak mengucilkan melainkan merangkul. Teman saya mengaku pernah mengalami schizophrenia.

Ketika itu, saya belum mengenalnya. Ia bercerita pada saya bahwa ia pernah merasa bahwa dirinya adalah Tuhan dan keadaannya sungguh kacau saat itu. Mengetahui hal itu, saya tidak menjauhkannya, melainkan terus berteman dengannya dan memperlakukannya sama seperti teman-teman saya yang lain. Saat ini ia dalam keadaan sangat baik. Dengan berlaku baik, diharapkan orang lain juga melakukan hal yang sama. Kalaupun tidak dapat berinteraksi secara langsung, setidaknya tidak menjelek-jelekan orang yang mengalami schizophrenia dan juga mendukung keluarganya dapat sangat berarti dalam hal moril.

Catatan Pengalaman Refleksi Diri Mahasiswa
Catharina Wenirosaline – Psikologi ’18

 

sumber gambar: http://2.bp.blogspot.com/-0H4mdxisxHM/UQ4PQerzUZI/AAAAAAAABIw/kZGJA2it5Ls/s1600/schizophrenia.jpg