Bedakan Cinta dan Obsesi
Pernahkah kamu sukaaa sekali dengan seseorang sampai terpikir terus tentang dia, sampai rela usaha keras dekati dia?
Dua hari yang lalu, saya menyebarkan #MiniSurvey “Cinta atau Obsesi” di facebook dan instagram, menanyakan pertanyaan di atas. Hasilnya, dari 51 orang yang menjawab, 86% menyatakan pernah mengalami hal di atas. 61% menganggap bahwa pengalaman tersebut adalah obsesi, bukan cinta. Bagaimana dengan kamu? Pernahkah kamu merasa sangat menyukai seseorang sampai terpikir terus, bahkan usaha keras mendekati dan mendapatkannya? Menurut kamu pengalaman tersebut obsesi atau cinta? Lalu apa bedanya Cinta dan Obsesi?
Obsesi, menurut KBBI daring ialah “gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan”. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM 5) yang menjadi acuan Psikologi dan Psikiatri terdapat gangguan obsesif-kompulsif, yang ditandai dengan adanya pikiran, bayangan, dan dorongan untuk melakukan sesuatu, sehingga menimbulkan kecemasan tersendiri. Misalnya seseorang yang terdorong untuk mandi 5 kali sehari, jika belum tercapai, maka ia merasa cemas. Biasanya, untuk mengurangi kecemasan tersebut, maka ia akan melakukan kompulsi, atau perilaku berulang untuk meredakan kecemasan akibat obsesi. Jadi, kata obsesi disini memang merupakan sebuah gangguan. Memang, tidak ada gangguan “obsesi cinta” dalam DSM 5. Tetapi, obsesi yang terkait dengan menyukai atau mencintai seseorang bisa menjadi salah satu ciri gangguan kepribadian borderline, erotomania (delusi tentang cinta), atau gangguan pada attachment.
Dalam konteks hubungan, obsesi bisa diartikan sebagai pikiran atau bayangan tentang “objek cinta“, serta dorongan menjalin hubungan atau berdua dengan “objek cinta“. Bayangan dan dorongan ini muncul tiba-tiba dan sulit dihilangkan sehingga mengganggu dan menimbulkan kecemasan tersendiri. Seseorang yang terobsesi dengan “objek cinta“nya akan berusaha keras untuk menekan atau menghilangkan bayangan/dorongan tersebut. Salah satu cara menghilangkannya ialah dengan mengejar dan berusaha mendekati sang “objek cinta“. Dengan mengejar maka orang tersebut menjadi sedikit lega sesaat. Tapi tidak menghilangkan obsesinya. Sehingga ia akan melakukan perilaku mengejar tersebut secara berulang-ulang dan tidak bisa menerima penolakan. Sekilas, mirip dengan pengorbanan cinta bukan? Bukankah saat seseorang jatuh cinta, ia terus menerus memikirkan kekasihnya, dan akan berjuang untuk bertemu?
Memang, saat jatuh cinta, ada fase dimana kita sering memikirkan kekasih, dan ingin terus berdua. Fase tersebut sangat wajar dan memang terjadi, durasinya bervariasi tiap orang, biasanya antara 1 hingga 6 bulan pertama. Lihat saja gambaran di film-film Hollywood atau sinetron, mengenai orang yang sedang jatuh cinta. Berbunga-bunga, berjuta rasanya. Sangat mirip dengan terobsesi! Bedanya dengan obsesi, masa ini akan berakhir dan diikuti dengan perkembangan hubungan. Hubungan yang sehat dan dilandasi cinta bukan saja dipenuhi hasrat ingin bertemu, tetapi juga diwarnai kedekatan emosional dengan sang kekasih. Saat jatuh cinta, seseorang mulai nyaman berbagi, menunjukkan rasa kasih sayang dan mendukung kekasihnya. Hasilnya, ia makin memahami diri sang kekasih. Makin memahami jika suatu saat si kekasih tak bisa menemani karena hal yang juga penting baginya. Pada titik ini, cinta akan membebaskan pasangannya, bahkan mendukung si pasangan untuk meraih mimpi.
Beda dengan obsesi, yang tidak bisa menerima penolakan. Bagi orang yang terobsesi dengan objek cintanya, penolakan sangat menyakitkan karena ia cenderung menggantungkan dirinya ke si objek cinta. Orang yang terobsesi melakukan usaha mendekati objek cinta, untuk kepentingannya sendiri, agar merasa lega. Ia tidak terlalu peduli, apakah si objek cinta suka atau tidak, nyaman atau tidak. Bahkan, tak segan melanggar privasi si objek cinta, dengan cara stalking atau membuka telepon genggam tanpa sepengetahuan pemilik.
Orang yang terobsesi juga cenderung jatuh cinta dengan “bayangan si objek cinta” yang ia buat di benaknya sendiri. Bukan jatuh cinta dengan diri si kekasih sesungguhnya. Sehingga, jika suatu hari si objek cinta berperilaku beda dengan bayangan, maka ia bisa sangat kecewa. Sementara, cinta yang sehat menerima pasangan apa adanya, mengijinkan pasangan menjadi diri sendiri, sambil merajut kisah berdua. Cinta yang sehat juga menghormati keputusan dari si kekasih. Kalau akhirnya si kekasih memutuskan hubungan, orang dengan cinta yang sehat akan bersedih, patah hati, tapi pada akhirnya belajar menerima, asalkan orang yang ia cintai bahagia dengan caranya sendiri.
Biasanya, orang yang terobsesi tidak menyadari bahwa yang ia rasakan ialah obsesi dan bukan cinta sesungguhnya. Saat akhirnya ia sadar, ada baiknya untuk melakukan refleksi diri. Menanyakan kembali mengenai apa alasan mengejar si objek cinta. Biasanya, dibalik obsesi ada pikiran negatif tentang diri sendiri. Misalnya: “saya tidak berharga” atau “saya tidak patut dicintai” jika tidak berhasil mendapatkan si objek cinta. Pikiran negatif yang tidak rasional tersebut seringkali muncul karena pengalaman negatif di masa lalu, misalnya: memiliki hubungan yang dingin dengan orangtua, atau figur penting lain dalam hidupnya. Penanganan tepat yang menyasar akar kemunculan obsesi bisa membantu seseorang mengatasi obsesinya dan belajar mencintai. Jika kamu merasa mengalami obsesi, atau pernah menjalin hubungan dengan seseorang yang menurutmu terobsesi denganmu, ada baiknya merekomendasikan ia untuk berkonsultasi dengan psikolog.
Penting sekali bisa membedakan antara cinta dan obsesi. Penelitian Acevedo & Aron (2009) menemukan bahwa komponen obsesi berhubungan positif dengan kepuasan hubungan jangka pendek, tetapi berhubungan negatif dengan kualitas hubungan jangka panjang. Sementara cinta yang romantis berhubungan dengan peningkatan kualitas hubungan jangka pendek dan jangka panjang. Artinya, obsesi (sering memilikirkan pasangan, hingga sulit berkonstentrasi, sulit mengontrol pikiran tentang pasangan) berguna untuk membuat seseorang puas di awal hubungannya, tetapi bisa membahayakan untuk hubungan jangka panjang. Sementara cinta, baik cinta yang companionate (penuh kehangatan dan kedekatan emosional, meski gairah tidak terlalu intens) maupun passionate (penuh gairah, perasaan berbunga-bunga, sering memikirkan pasangan).
Nah, kira-kira demikian perbedaan cinta dan obsesi. Semoga mulai bisa membedakan obsesi dengan tahapan awal jatuh cinta ya 🙂
Referensi:
Acevedo, B.P., Aron, A. (2009). Does a long-term relationship kill romantic love?. Review of General Psychology, Vol 13(1), Mar 2009, 59-65.http://dx.doi.org/10.1037/a0014226
Deborah, C. (2012). The Difference Between Love and Obsession. Diunduh dari: http://www.huffingtonpost.com/deborah-calla/the-difference-between-lo_b_562589.html
Dryden-Edwards, R., Stöppler, M.C. (2016) Difference Between Healthy and Obsessive Love. Diunduh dari:http://www.medicinenet.com/confusing_love_with_obsession/views.htm
Catatan: Topik dan pertanyaan tentang “Cinta atau Obsesi” ini saya dapat dari Mas Dhanu, jurnalis acara Indonesia Morning Show di Net TV. Topik ini dibahas dalam segment Talk Show di Indonesia Morning Show, Net TV pada Rabu, 25 Januari 2017.
Disadur dari : https://pingkanrumondor.blogspot.co.id/2017/01/cinta-atau-obsesi.html
Tentang narasumber:
Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi., Psikolog ialah seorang psikolog klinis dewasa yang tertarik dengan isu hubungan romantis baik pacaran maupun pernikahan, serta trauma. Telah mengikuti workshop Couple and Family Therapy, serta sertifikasi terapis EMDR, dan sertifikasi alat ukur kepribadian Lumina. Bisa dihubungi di pingkan_rumondor@binus.ac.id.
Comments :