Prof. Sulistyowati Irianto, M.A., Guru Besar Antropologi Hukum UI, menyampaikan Pidato Penerimaan Anugerah Soetandyo (Soetandyo Award) di FISIP Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, 21 Desember 2015, yang kemudian diterbitkan di Antara Jawa Timur pada 1 Januari 2016.

Terdapat sejumlah hal yang menarik untuk diberikan tanggapan:

Pertama, beliau menyatakan, “Kau tak layak berada bersama kami, bahkan kau tak bisa naik pangkat karena ilmu mu tidak linear.” Sudah beberapa tahun terakhir, linearitas tidak lagi diatur sedemikian oleh Kemristekdikti. Sudah jelas banyak fakta bahwa dosen dapat naik pangkat walau pendidikan formal S1-S2-S3 tidak linear.

Linearitas sudah diartikan kesesuaian antara bidang pendidikan tertinggi dengan bidang prodi tempatnya berkiprah atau berkarya. Seorang dengan S3 Ilmu Pertanian disebut tidak linear jika mengajar di prodi S1 Computer Science.  Seorang S3-nya Ilmu Hukum adalah linear jika mengajar dan meneliti di prodi S2 Ilmu Hukum walau pendidikan S1 ybs di bidang Sosiologi dan S2-nya Manajemen. Ia tidak “dilarang”. Maksud Kemristekdikti adalah sesederhana: jangan dengan suatu dalih, dosen yang tidak pernah menempuh pendidikan dengan disiplin prodi X mau tetap mengajar di prodi X yg kental dengan ilmu atau bastaran ilmu X.

Kedua, beliau menyatakan, “Laporan kelengkapan administrasi keuangan lebih diperiksa daripada laporan penelitiannya sendiri…. Semua pengeluaran harus ada bon-nya. Penelitian lapangan, menjumpai penduduk di gunung dan di laut, menginap di rumah penduduk, makan di warung, bahkan naik sampan dan naik ojekpun harus ada bon-nya, tak penting datang darimana, asalkan: bon asli !” Barangkali tidak tepat untuk mengomentari pernyataan beliau dengan menggunakan bahan kondisi saat ini.

Kendati demikian, guna sekadar memperoleh gambaran bahwa Kemristekdikti juga mau berubah ke arah yang lebih baik, dan patut kita apresiasi, saya ingin menyampaikan bahwa gambaran tentang naik sampan harus ada bonnya, sudah tidak relevan lagi. Sejauh saya mengikuti, di waktu yang lalu pun tidak pernah terjadi dosen yang naik sampan dihukum karena tidak mengantongi bon dalam laporan keuangan hibahnya. Bahwa ada kasus hibah yang kena pidana di sebuah institusi di Pulau Jawa, memang iya, tapi bukan pada soal seperti ilustrasi persampanan.

Kemristekdikti sudah menggeser kebijakan berbasis administrasi pelaporan dengan kebijakan berbasis output. Kamar pengelolaan hibah bukan lagi Kamar transaksi barang dan jasa di Kemenkeu; meski tetap tidak menutup kemungkinan dosen / peneliti penanggungjawab hibah terkena periksa hanya jika ada indikasi yang nyata ketidakwajaran penggunaan keuangan.

 

Sumber: http://www.pojoksamber.com/wp-content/uploads/2014/12/10494827_727030394059460_1031948950486044405_n.jpg
Sumber: http://www.pojoksamber.com/wp-content/uploads/2014/12/10494827_727030394059460_1031948950486044405_n.jpg

 

Ketiga, beliau juga menyatakan, “Para pimpinan struktural di universitas sibuk menabuh genderang tanda perburuan artikel penulisan jurnal di Scopus. Dalam tidurpun para dosen mengigau tentang Scopus.” Pada saat ini, aturan terbaru adalah bahwa Bukti Penyerahan (Submit) Artikel sudah dianggap oleh Kemristekdikti sebagai bukti publikasi Lektor Kepala dan Guru Besar. Artinya, yang dimaksud dengan perkataan ‘Publikasi artikel’ dapat cukup berupa ‘Bukti Submit (Penyerahan) Artikel ke Jurnal/Prosiding terindeks Scopus’. Bukti Submit Artikel dapat digunakan sebagai bahan laporan Beban Kerja (Sertifikasi Dosen)

Lektor Kepala dan Guru Besar (tentunya jadi berlaku juga buat Asisten Ahli dan Lektor), meskipun artikel belum terbit (atau tidak terbit, karena sesuatu hal dalam prosesnya).

Pertanggungjawaban hibah pun jadi mengikuti (di masa lalu juga Bukti Submit ada nilainya). Jika Bukti Submit/Penyerahan Artikel dianggap sebagai “Hantu Scopus” (meminjam istilah Prof. Dr. Dedy Mulyana), kita semua (termasuk saya) mungkin perlu mempertanyakan secara sangat serius tentang profesi kita ini.

Kita hendaknya tidak menafikan bahwa dunia pendidikan tinggi Indonesia berpusar sedemikian cepat ke arah yang dicita-citakan oleh kebanyakan sivitas. Pada beberapa kasus, faktanya bahkan sivitas meminta hal yang lebih rigid daripada yang diminta Kementerian. Kemristekdikti melakukan perubahan ini-itu tentunya berkat proses mengundang dan memperoleh masukan substansial dari kaum cendikia dan bestari, sebagaimana Ibu Prof Sulistyowati Irianto, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Betapapun, saya sepakat dengan Prof. Sulistyowati Irianto dalam hal bahwa Kementerian perlu selalu dikawal dengan kritis.