Ketika mendengar kata “bahagia”, tentunya setiap kita sepakat bahwa hal ini senantiasa dicari dan berusaha dicapai oleh setiap insan selama menjalani kehidupannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Arief (2016) dalam bukunya Psikologi Positif yakni kebahagiaan sebagai tujuan akhir dari segala aktivitas, daya upaya dan perjuangan dalam hidup. Permasalahan mulai muncul saat setiap individu merasa mencapai sesuatu, namun hal tersebut bukan menjadi tujuan akhir sehingga kebahagiaan yang dirasakan tidak bersifat autentik namun sementara.

Tentu berbagai cara dapat ditempuh setiap orang untuk mencapai kebahagiaan. Mulai dari mendapat pujian dari orang disekitar, mendapat penghasilan besar per bulan bagi para pekerja maupun prestasi yang berhasil dicapai bagi setiap insan yang menjalani suatu tugas dan tanggung jawab. Semua hal tersebut, tentunya tidak salah. Memang tak dapat dipungkuri bahwa hal-hal tersebut diatas dapat membuat setiap insan merasa bahagia. Namun, semua hal tersebut hanya mendatangkan kebahagiaan yang bersifat sementara sehingga belum mencapai kebahagiaan otentik.

Guna menemukan kebahagiaan otentik, maka seorang tokoh Psikologi bernama Martin Seligman merumuskan suatu konsep yang disebut Kebahagiaan otentik (authentic happiness). Baginya, kebahagiaan otentik bukanlah suatu konsep yang abstrak. Melainkan, suatu konsep yang terukur dan dapat terjelaskan melalui beberapa konsep.

Pembahasan kebahagiaan otentik dimulai dari konsep Aritoteles tentang hidup yang dijalani dengan baik yang disebut “Eudaimonia”. Kebahagiaan sejati sesungguhnya bukan hidup yang bergelimang kesenangan dan kenikmatan melainkan hidup yang bermakna dimana virtues yang unik dari setiap individu telah didayabaktikan secara penuh (Aritoteles dikutip dalam Arief, 2016, p.20).

Virtues menjelaskan tentang kebaikan utama yang unik dan maksud atau tujuan dari segala sesuatu. Sebagai contoh, virtue dari gula adalah memberi rasa manis. Jika tidak dapat memberi rasa manis, maka sejatinya gula tidak menjadi bermakna. Aspek lain yang juga menarik untuk ditelisik yakni konsep “Flourishing”. Seligman (dikutip dalam Arif, 2016) menjelaskan Flourishing adalah keadaan seseorang yang menunjukkan perkembangan yang optimal dan fungsi-fungsi berjalan dengan sangat baik. Lima aspek yang menentukkan flourishing yakni “PERMA” (a) emosi positif, (b) kelekatan, (c) relasi yang positif, (d) hidup yang bermakna dan (e) pencapaian/prestasi.

Kebahagiaan autentik terkait erat dengan konsep strengths serupa dengan sifat yang dimaknai suatu kecenderungan untuk berprilaku yang relatif menetap, dimana perilakunya akan dimunculkan pada suatu situasi dan kesempatan. Secara sederhana strengths adalah berbagai rute untuk menuju virtues. Hal yang menjadi penting dalam pendeketan ini yakni setiap individu harus mampu menemukan beberapa aspek strengths serta mengimplementasi dalam kehidupan sehari-hari dalam segala setting (di rumah, sekolah, tempat kerja dan lain-lain).

Merujuk penjelasan sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa untuk mencapai kebahagiaan autentik (authentic happiness), setiap individu harus mampu menjalani kehidupan dengan baik (eudaimonic life). Selain itu, setiap individu dituntut untuk dapat merealisasi virtues atau kebaikan utama yang unik dalam kehidupan setiap manusia sehingga terwujud kehidupan yang flourish yakni berkembang-penuhnya individu karena telah menjalani kehidupan dengan baik. Tentunya temukan beberapa aspek strengths yang cenderung dominan dan menjadi kekuatan dari dirimu. Maka dengan menjalani rumusan tersebut akan tercipta kebahagiaan yang otentik.

Daftar Pustaka:

Arief, S, I. (2016). Psikologi positif: pendekatan saintifik menuju kebahagiaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.