Tanggapan: Perubahan Sistem Perkuliahan
Penjelasan Prof. C. W. Watson, dalam artikelnya Perubahan Sistem Perkuliahan, yang ditutup dengan pernyataan bahwa Kemristekdikti menganaktirikan pengajaran dan mengutamakan riset mungkin tergesa-gesa.
Beliau menulis:
“Kementerian sendiri kelihatan tidak mengutamakan sistem pengajaran. Obsesi mendorong orang agar menulis di jurnal internasional mengataskan segala sesuatu dengan tujuan mengejar fatamorgana, yaitu masuk 100 besar dalam world class university …. Jangan lagi tridharma ditafsirkan hanya menyangkut riset, jangan lagi pengajaran dianaktirikan ….”
Dalam penganugerahan sertifikat Akreditasi Institusi A kepada BINUS University, Direktur Kelembagaan DIKTI sudah menerangkan dengan jelas roadmap sebuah universitas menjadi world class, yakni: Teaching University—Research University—Entrepreneurial University.
Artinya, universitas yang ingin melangkah menjadi Research University sudah harus beres dulu dengan Teaching University-nya, baru bertransformasi lebih lanjut.
Perkaranya adalah filosofi metamorfosis ini yang masih kurang dipahami atau disalahmengerti oleh banyak universitas yang berlomba-lomba meraih hati masyarakat dengan mengklaim diri sudah atau akan segera menjadi World Class University (WCU) tetapi sebenarnya tanpa basis yang kokoh.
Tidak heran beberapa PT kemudian menjadikan Webometrics dan 4ICU sebagai bahan iklan WCU besar-besaran di baliho-baliho dan spanduk-spanduk; padahal kriteria THE (Times Higher Education) dan QS (Quacquarelli Symonds) yang sejatinya saat ini menjadi tolok ukur WCU.
Kalaupun sudah sadar tentang kualifikasi THE dan QS (yang mengedepankan pengembangan Prodi S2 dan S3), Perguruan-perguruan Tinggi berlomba-lomba lalu ambil jalan sederhana, ingin cepat-cepat juga mendirikan program S2 dan S3; mengejar indikator-indikator itu namun lupa dengan prakondisi “Teaching University“.
Sebuah Teaching University yang ‘sudah beres’ seyogianya memiliki Prodi-Prodi S1 yang kuat. Kurikulum, metode mengajar, dan penilaian di S1, sampai dengan jumlah student body dan keterserapan alumninya sudah tidak jadi masalah sentral lagi buat sebuah “Teaching University”, menandakan bahwa teaching memang telah berkembang mencapai keunggulan dalam universitas tersebut. Setelah itu barulah bicara Prodi S2 dan S3 yang memang kegiatan utamanya Riset.
Pada hal lain yg masih terkait, kesadaran tentang kegelisahan di kalangan para dosen akan ‘ketimpangan’ dalam tridarma tampaknya sudah dimiliki oleh Kemristekdikti. Point Pengabdian Kepada Masyarakat (darma ketiga), sebagai contoh, akan diperbesar, setelah selama ini point Research (darma kedua) mendominasi. Sementara itu, point Pengajaran masih tetap besar, di kisaran angka 30% dari ukuran kinerja dosen (hanya saja kualitas pengajarannya yang belum terukur dalam forma bobot ini, namun hal ini diberikan peluang untuk ditegakkan melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal yang juga di-endorse oleh Kemristekdikti). Di samping itu, Kemristekdikti masih menyediakan Hibah Penyusunan Capaian Pembelajaran, Program Insentif Pengembangan Bahan Ajar dan Pedoman Pembelajaran dengan Pendekatan Student Centered Learning (SCL), Hibah Pengembangan dan Penyelenggaraan Pembelajaran Daring Indonesia Terbuka dan Terpadu, Hibah Penyusunan Kurikulum dan Modul Matakuliah Bermuatan Pendidikan Karakter Kebangsaan dan berorientasi KKNI, Hibah Penyusunan Buku Model Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi, Program Detasering/Mobilisasi Dosen Pakar/Ahli, Hibah Pengembangan Konsorsium Keilmuan, dan sejenisnya. Kurang “heboh”-nya program-program ini direpresentasikan di media massa—dibandingkan dengan hibah-hibah penelitian—memang telah menciptakan kesan bahwa sedikit sekali perhatian Pemerintah terhadap pendidikan dan pengajaran di Perguruan Tinggi.
Rektor BINUS University dalam Pembukaan Awal Semester Genap 2016/2017 juga menekankan “darma keempat”, yaitu Pengembangan Diri. Beliau mengatakan kita tidak bisa lagi bersandar pada gelar kita. Logikanya, bagaimana bisa ‘teaching‘ dengan baik kalau diri tidak memperoleh input pengembangan terus-menerus.
Comments :