Kriteria Objektif dan Iklim Universitas Berkelas Dunia
BINUS 2020 (Visi BINUS University untuk menjadi Universitas Berkelas Dunia) sudah di depan mata. Ada dua hal yang sangat penting kita cermati: (1) Kriteria Objektif, (2) Suasana World Class University.
Pertama, kriteria objektif. Apa saja yg menjadi indikator World Class University (WCU)? Informasi pada situs web lembaga pemeringkat, QS, cukup jelas. Ada 7 kriteria: a) Academic reputation (30%); b) Employer reputation (20%); c) Faculty/student ratio (15%); d) Citations per paper (10%) and papers per faculty (10%); e) Staff with a PhD (5%); f) Proportion of international faculty (2.5%) and proportion of international students (2.5%); g) Proportion of inbound exchange students (2.5%) and proportion of outbound exchange students (2.5%).
Terdapat besaran-besaran yang cukup jelas seperti: Untuk peningkatan reputasi akademik (30%) maka perlu sosialisasi identitas melalui berbagai konferensi dan forum, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kolaborasi. Untuk peningkatan reputasi majikan (20%) maka perlu diarahkan magang & kerja mahasiswa dan alumni pada lembaga-lembaga (perusahaan maupun LSM) dengan afiliasi lembaga-lembaga “top“. Majikan mahasiswa dan alumni dapat diundang untuk memberikan kuliah tamu di Psikologi BINUS. Untuk Riset dan Sitasi (20%), maka perlu peran koordinator khusus di bidang penelitian untuk menjadi katalisator aktivitas ini. Hal ini sangat sentral dalam rangka WCU karena berhubungan juga dengan Academic Reputation (30%). Apabila dijumlahkan, Academic Reputation dan Research sudah mengambil porsi 50% (setengah) sendiri dari indikator WCU. Untuk Internasionalisasi (10%), perlu mengupayakan inbound (mahasiswa dari luar negeri belajar di Psychology-BINUS University) dan outbound (mahasiswa dari Psychology-BINUS University belajar di luar negeri, antara lain melalui program enrichment Study Abroad 1 tahun).
Kedua, kriteria Suasana World Class University. Ada sebuah pertanyaan menggelitik, “Suasana seperti apa yang perlu untuk mencapai World Class, ketujuh kriteria tersebut?” Tidak cukup dengan kapital/modal ataupun infrastruktur, namun perlu suasana yang akan me-mix itu semua. Pendapat Prof. Dr. Satrio Soemantri Brojonegoro (Mantan Dirjen Dikti yang kini menjadi konsultan Kemristekdikti dan giat melakukan pelatihan terhadap pimpinan Perguruan Tinggi) perlu kita perhatikan.
Dalam liputan terhadap opini beliau, Prof. Satrio menyampaikan sebuah pokok pikiran yang menjadi ‘payung filosofis’ dari suasana World Class University itu, “Jadi, ibarat buah-buahan, ada durian, nenas, dan apel. Tidak mungkin kita membandingkan buah-buahan tersebut karena memang satu sama lain berbeda. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana menghasilkan durian, nenas, atau apel yang paling baik,” tegasnya. Kebijakan Ditjen Dikti ke depan juga telah mencoba menyesuaikan, yakni bahwa Dosen yang tekun melakukan PKM (Pengabdian Kepada Masyarakat) mulai 2017 ke depan akan diapresiasi (dalam arti bobot kreditnya akan dinaikkan) agar Dosen yang passionate di Bidang Pengabdian bisa sangat diapresiasi di Bidang PKM; setelah pada periode-periode sebelumnya Bidang Penelitian sangat digencarkan.
Persoalan lain: QS yang menjadi acuan Binus 2020 menempatkan Psikologi dalam Life Science (bukan Social Science, bukan pula Humanities). Padahal, Jurusan Psikologi BINUS memiliki identitas di Faculty of Humanities (Fakultas Humaniora), dan Jurusan Psikologi BINUS sedang bergerak menuju Psikoteknik/Psikoteknologi. Psikologi memang adalah ilmu dengan sekumpulan paradigma yang dengan demokratisnya memilih hidup berdampingan.
Saya ingin berbagi apa yang sempat saya olah berkenaan dgn hal itu:
https://psychology.binus.ac.id/2013/05/03/psikologi-dan-gugatan-epistemologis-terhadap-perumpunan-ilmu-dalam-undang-undang-pendidikan-tinggi/
Pernah juga saya menyelami kerja Life Science:
http://koran.tempo.co/konten/2013/09/22/322424/Mengurai-Masalah-Etika-Kedokteran
Betapapun demikian, kita saat ini berada dalam pertanyaan tentang strategi. Strategi menuju visi World Class institution, tentunya. Psychology ada di kategori Life Science, bukan untuk mengatakan Psikologi dalam domain lain tidak baik, boleh dinafikan, atau tidak punya tempat. Pertanyaannya akan menjadi lebih strategis: Apakah kategori di QS itu memang substansial? Dalam arti: Kalau QS punya kriteria academic reputation, employer reputation, research paper, maka yang jadi bahan mereka untuk menilai Psychology dalam QS World Class Ranking adalah academic reputation di bidang psychology as a life science, employer yang disurvei juga majikan/pemberi kerja dalam bidang psikologi sebagai life science, demikian juga research papernya, yang punya bobot adalah dalam jurnal-jurnal berbau life science. Tanpa klarifikasi yang tandas, saya khawatir kita jadinya akan berandai-andai.
Comments :