Bersama Gawai Pintar: Masihkah Kita Makhluk Sosial?
Teknologi ponsel pintar (smartphone) sering disebut mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Kata “mendekatkan yang jauh” mesti didalami secara kritis. Apakah ini dekat sungguhan, ataukah perasaan dekat yang “semu” atau ilusif? Secara psikologis, mari kita uji perasaan kita sendiri, apakah menghadapi layar (teks maupun visual) sama dengan menghadapi badan? Samakah tingkat kedalamannya? Samakah tingkat kepuasannya?
Demikian pula kata “menjauhkan yang dekat” harus diperiksa karena dengan dikembangkannya jejaring sosial yang “mendekatkan yang dekat” seperti NextDoor.com, teknologi justru menjadi sarana yang efektif untuk saling mengingatkan antar warga yang sudah saling kenal sebelumnya atau yang secara geografis memang berdekatan (dan dibuat menjadi semakin dekat). Aplikasi Smart City (seperti Qlue di DKI Jakarta) juga berpotensi mengarah ke hal seperti ini. Jadi, teknologi selalu memiliki dua sisi paradoksal semacam ini.
Di satu sisi, aktivitas sosial manusia tampaknya mengalami penggandaan secara kuantitatif. Kita dapat melihat diri kita sendiri, berapa banyakkah aktivitas sosial yang dapat kita lakukan, bahkan dalam satu waktu? Namun di sisi yang lain, kita dapat mempertanyakan kualitas dari sosialitas yang tampak mewabah tersebut.
Saya ingin mengajukan tiga buah pertanyaan terkait ini:
Pertama, apakah sosialitas yang kita lakukan itu merupakan “sosialitas yang asli, yang genuine”? Ataukah, “sosialitas citraan, yang selalu dibuat-buat”? Riset-riset menunjukkan bahwa kita hanya memproyeksikan citra terbaik kita dalam media sosial, terlebih dalam sebuah masyarakat yang semakin narsisistik. Atas motif perbandingan sosial, kita hanya membiarkan sisi ideal dari diri kita untuk tampak di mata orang lain. Menariknya, ada juga kenyataan bahwa ia yang sedang sering menampilkan yang terbaik di mata orang lain, justru sedang menyimpan kekosongan tersendiri dalam jiwanya.
Kedua, apakah sosialitas yang kita hidupi itu merupakan sosialitas yang berasal dari kebebasan kehendak kita sendiri? Ataukah, “sosialitas yang didikte”, “sosialitas salinan atau kopian?”, tanpa kita menyadarinya? Entah didikte oleh media itu sendiri, atau oleh pemilik media, atau oleh yang berkepentingan terhadap media. Mari kita refleksikan, misalnya, mengapa sering muncul perasaan urgen dalam diri kita untuk me-“like” atau men-“share” suatu posting di media sosial, untuk menjawab pertanyaan kedua ini.
Ketiga, apakah sosialitas yang kita langsungkan itu merupakan sosialitas yang didasarkan atas makna? Ataukah “sosialitas atas dasar ‘yang penting bersosialisasi’”? (karena jika tidak melakukannya, maka akan merasa “tertinggal”). Banyak dampak perilaku yang bermunculan dari motif sosialitas kita. Bergosip tentang kehidupan pribadi dari orang lain di media sosial, misalnya, menjadi terasa “lebih sah” apabila sosialitas yang kita hayati adalah sosialitas yang dangkal.
Sosialitas yang tergerus dapat cukup besar. Pertama, sosialitas diktean menyebabkan orang mudah konform atau ikut-ikutan dengan kecenderungan lingkungan yang dikerubungi oleh berbagai wacana yang diliputi banyak kepentingan. Akibatnya, orang sulit untuk menyadari pilihan sendiri (“Inikah yang aku mau?”) serta sulit mengambil keputusan dalam situasi sosial.
Kedua, sosialitas citraan menyebabkan orang menjadi saling canggung dalam perjumpaan sosial di dunia nyata. Oleh karena dalam dunia nyata, orang tidak bisa selamanya menutup-nutupi keadaan dirinya dan menampilkan hanya yang terbaik dari dirinya.
Ketiga, sosialitas yang dangkal menyebabkan berkurangnya kepekaan seseorang dalam membaca bahasa tubuh, ekspresi emosi dari orang lain, maupun mengekspresikan tubuh dan emosi sendiri, yang sangat dibutuhkan dalam negosiasi, persuasi, dan koordinasi sosial.
Berdasarkan paradoks kuantitas dan kualitas sosialitas disebutkan di atas, sosialitas manusia sebagai “makhluk sosial” memang mengalami keterancaman yang serius, jika faktor-faktor penurun kualitas sosialitas di atas tidak mampu kita tanggulangi. Oleh karena itu, penggunaan gawai (gadget) hendaknya memperhatikan empat buah prinsip. Tekniknya bergantung pada masing-masing orang.
Prinsip pertama adalah kita harus memiliki kesadaran terlebih dahulu. Sadar bahwa awalnya manusia yang menciptakan media (dan media diciptakan untuk manusia), bukan media yang menciptakan manusia (“manusia untuk media”). Kita tidak ingin dikendalikan oleh sesuatu yang mulanya kita ciptakan sendiri, bukan?
Prinsip kedua, lagi-lagi tentang kesadaran, adalah sadar bahwa kenyataan sosial di media adalah tidak identik (alias memiliki jarak secara psikologis maupun secara sosial) dengan kenyataan sosial riil dalam interaksi tatap muka. Dengan kesadaran ini, anak-anak atau remaja tidak akan mudah terpesona oleh orang yang baru dikenalnya di Facebook, atau larut dalam reality show yang ditontonnya di Youtube, misalnya, karena menyadari bahwa apa yang dialaminya boleh jadi baru sebatas sosialitas citraan.
Prinsip ketiga, sebagai konsekuensi dari prinsip pertama dan prinsip kedua, kita jangan sampai “dicaplok” oleh penggunaan gadget. Teknologi memang telah memangkas ruang dan memendekkan waktu. Yang pada masa lalu kita harus menyediakan waktu 2 jam untuk sampai di rumah teman dan mengobrol 1 jam di rumah itu, misalnya, saat ini cukup dengan memainkan gadget untuk mengobrol dengannya. Namun demikian, bukan berarti kita jadi merasa bahwa waktu mengobrol kita melalui media menjadi 3 jam.
Dua jam yang ada akibat pemendekan waktu dapat kita manfaatkan untuk berinteraksi dengan orang-orang yang ada dekat dengan kita secara geografis, menetralisir kesendirian kita agar kesendirian itu tidak semakin membatin tanpa kita sadari (menjadi kesepian), atau untuk melakukan aktivitas kreatif, rekreatif, atau spiritual lain untuk pemeliharaan dan pengembangan “kewarasan” diri dan kerohanian kita.
Prinsip keempat, gadget digunakan untuk menguatkan kualitas ikatan sosial yang sudahkita bangun, dan bukanmenggantikan upaya sehari-hari untuk membangunikatan sosial. Perumpamaannya adalah seperti iklan. Iklan hanya menguatkan barang yang kualitasnya memang sudah bagus. Apabila iklannya bagus, tapi barangnya ternyata tidak bagus, apa yang kita rasakan? Jadi, gadget jangan sampai menggantikan ikatan sosial, seperti iklan yang tidak bisa menggantikan barang.
Terdapat empat perkembangan kebiasaan seiring perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini, yakni gaya hidup instan, gaya hidup tampil, gaya hidup “berpura-pura”, dan gaya hidup “kembali ke alam”.
Pertama, gaya hidup instan (ingin segala sesuatu serba cepat, seperti cepat trendy, cepat nikmat) selain memang difasilitasi oleh teknologi, juga ditawarkan oleh media melalui layar-layar teknologis di sekitar kita. Akibatnya, kita menjadi sangat konsumtif, dan hal ini sangat ditunjang oleh serbuan online shops. Ironisnya, hasrat kita tersebut tidak akan pernah terpuaskan dan terus-menerus mencemaskan kita.
Kedua, gaya hidup tampil (seperti impulsive selfie) membuat kita tidak lagi merenungkan makna-makna yang mendalam dari aktivitas kita, melainkan membuat kita berlomba-lomba mengejar dan menerima pemaknaan seadanya yang diberikan oleh pihak di luar diri kita.
Ketiga, gaya hidup “berpura-pura” (bukan dalam arti kata berbohong) membuat kita merasa telah mengunjungi sebuah museum, misalnya, padahal kita sedang menyaksikan virtual museum; membuat kita merasa telah bersilaturahmi, padahal kita hanya menggunakan ikon bersalaman sambil mengobrol melalui internet. Definisi kita tentang interaksi sosial memang mengalami perubahan.
Keempat, gaya hidup “kembali ke alam” dijalani oleh mereka yang telah melintasi ketiga gaya hidup utama di atas, dan menemukan bahwa ketiganya hanya menjauhkan mereka dari diri mereka yang sesungguhnya. Mereka ingin menemukan diri mereka kembali yang mereka pikir barangkali bisa dilakukan melalui persentuhan kembali dengan alam.
Akhirul kata, kita perlu mengingat dan menerapkan empat prinsip penggunaan gadget yang telah dikemukakan di atas. Secara sistematis meningkatkan kuantitas dan kualitas aktivitas offline, di atas tanah, untuk menggantikan aktivitas online, melalui medium internet; sejauh masih mungkin dan Kebijaksanaan kita lah yang menentukan dalam memilih dan memilah dalam hal ini (Menariknya, cara-cara itu juga bisa kita pelajari melalui internet). Keluarga, sekolah, dan tempat kerja dapat mendesain struktur-struktur lingkungan fisik dan sosial untuk memfasilitasi peningkatan tersebut.
Comments :