Tanggal 1 Desember yang lalu Jurusan Psikologi mengadakan acara rutin tahunan Dialog Psikologi Nusantara yang bertemakan “Psikoteknologi Sebagai Sarana Hidup Manusia Modern”. Saya sangat terkesan dengan salah satu pembicara bernama Ibu Nani Nurrachman Sutojo.

Paragkhanna

Beliau membahas Psikoteknologi sebagai upaya untuk memahami manusia dan budaya nusantara. Ada tiga hal yang membuat saya tercengang dan terkesan. Pertama, Ibu Nani tidak menggunakan media sosial seperti Facebook. Beliau memiliki pertimbangan sendiri mengapa ia memutuskan untuk melakukan hal tersebut. Meskipun memutuskan untuk tidak menggunakan media sosial, Ibu Nani  menyadari bahwa ia tidak dapat menggunakan media sosial sebagai wadah untuk menyampaikan buah-buah pemikiran atau mempromosikan karya dan publikasinya.

Kedua, beliau menyampaikan bahwa survival for the fittest bukan melulu berbicara ketahanan fisik, melalinkan ketahanan mental. Menurut beliau, ketahanan mental dapat mendukung ketahanan fisi. Ketiga, menuju akhir sesi, Ibu Nani menyampaikan poin penting dari pembahasannya yakni,  berbicara psikoteknologi berarti berbicara pentingnya manusia bisa tetap menjadi manusia yang manusiawi di area teknologi ini. Begitu beliau selesai menyampaikan poin ini, beberapa pemikiran di benak saya pun muncul yang bermuara pada evaluasi dan kesimpulan.  Saya akan bahas satu per satu berdasarkan ketiga hal yang di atas.

Tidak menggunakan media sosial. Ibu Nani memang bukanlah satu-satunya orang yang tidak menggunakan media sosial.  Menurut beliau, kebutuhan manusia untuk terhubung dengan orang lain (connected) sekarang sudah bergeser medianya. Dahulu, orang berkomunikasi komunikasi tatap muka dan lebih sering bertegur sapa, sedangkan sekarang lebih banyak menggunakan alat telekomunikasi canggih (seperti smartphone, tab atau laptop)  dengan koneksi internet melalui berbagai aplikasi.

Ketahanan mental. Berbeda dengan pembahasan Ibu Nani yang lebih membahas mengenai adaptasi,  saya menemukan sudut pandang lain terkait dengan perkembangan TIK (teknologi informasi komunikasi). Saya melihat ke belakang, di mana pada saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah ke Atas. Di era itu, menulis dengan tangan adalah hal yang biasa. Metode ini secara tidak langsung mengasah dimensi ketahanan mental seperti kemampuan mengontrol emosi. Menulis dengan tangan (apalagi kalau banyak) juga memberikan pengalaman pada saya bahwa proses yang melelahkan akan dilalui terlebih dahulu sebelum mendapatkan hasil yang diinginkan (tugas selesai). Bagaimana dengan sekarang? Bisa disimpulkan masing-masing.

Manusia yang manusiawi di era teknologi. Ini sebenarnya yang menjadi sum-up dari kedua pembahasan saya di atas. Mungkin ini juga alasan Ibu Nani untuk tidak terlalu melibatkan diri dalam media sosial yang adalah salah satu produk perkembangan TIK. Ibu Nani mencoba untuk lebih banyak terlibat dalam interaksi sosial dengan lingkungan sekitar secara langsung dan mengasah social skills seperti berempati.

Sekian insights yang saya dapatkan dari DPN 2016. Terima kasih Ibu Nani karena telah berbagi dengan kami!

Tentang Penulis

Febriani Priskila, seorang ilmuwan psikologi khususnya psikologi pendidikan. Berpengalaman sebagai akademisi baik pada pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi.  Tertarik mempelajari dan pernah  meneliti topik-topik terkait pendidikan anak berkebutuhan khusus dan academic engagement.