CHEATING: MORAL VS ACHIEVEMENT
Binus University dikenal sebagai universitas yang menjunjung tinggi integritas. Integritas adalah salah satu nilai dalam SPIRIT yang ditanamkan oleh BINUS. Salah satu bentuk nyatanya adalah memiliki policy yang sangat tegas untuk menindaklanjuti perilaku menyontek dan plagiarisme.
Tahun ini, Peraturan Tata Tertib Kehidupan Kampus (PTTKI) No. 146.SK/PTTKK-UBN/VII/2016 diperbaharui, terutama pada sanksi pelanggaran terhadap etika akademik. Peraturan tersebut berbunyi ”Setiap Mahasiswa yang melanggar etika akademik dalam bentuk plagiarisme, menyontek dan/ atau melakukan tindakan yang termasuk kedalam perbuatan kecurangan dalam mengerjakan ujian dikenakan sanksi diberhentikan sebagai Mahasiswa (dropout).“ Saya sebagai alumni BINUS langsung berkomentar “Wah, dulu mendingan ya dapat nilai 0 dan masih bisa ngulang lagi, meskipun tetap aja malu karena namanya nampang selama 1 semester di papan mading”. Artinya, sekarang BINUS tidak main-main dengan segala bentuk ketidakjujuran akademik. Akan tetapi, ada komentar lanjutan dari beberapa dosen “ada beberapa hal operasional yang harus lebih dipertegas, seperti indikator perilakunya”. Kalau begitu, operasionalisasi perilaku menyontek harus jelas dulu ya.
Miller dan Parlet memandang mencontek sebagai akibat dari variasi dalam perkembangan moral, pengalaman belajar, pengaruh orang lain yang signifikan dan strategi belajar, juga mungkin faktor-faktor lain (dalam Bjorklund & Wenestam, 1999). Lantas, kira-kira apa ya alasan para mahasiswa-mahasiswi menyontek atau tidak menyontek? Nah, saya sempat wawancara juga beberapa alumni dan mahasiswa di Jurusan Psikologi. Apa komentar mereka?
√ Materinya banyak banget, Kak! Udah gitu standar nilainya cukup tinggi kan.Saya mah maunya dapat nilai yang bagus.
√ Kurang paham sama penjelasan dosennya. Kuis di kelas juga sulit. Ga gitu suka
sama dosennya.
√ Saya waktu itu kerja paruh waktu, sehingga sulit mencari waktu belajar. Apalagi jadwal ujiannya kadang mepet-mepet
√ Saya lebih bangga atas hasil usaha sendiri, Kak! Saya juga tidak rela jika nilai teman saya yang menyontek, sama dengan saya yang sudah berusaha belajar.
Komentar-komentar di atas memang realita yang sangat complicated bahwa menyontek tidak terlepas dari unsur moral dan pencapaian akademik. Beberapa peneliti sekaligus pendidik di Inggris merumuskan faktor-faktor apa saja (baik eksternal maupun personal) yang dapat menjelaskan di balik perilaku menyontek yang sangat rumit itu. Let’s check them out!
Researcher | External factor | Personal |
Baird (1980) | Seating order | Laziness |
Importance of the test | Awareness of the performance of fellow students | |
Level of test-difficulty | Low grades | |
Unfair test | Previously experienced failure | |
Scheduling | A certain expectation of success | |
Supervision | ||
Davis et al. (1992) | Overcrowded, great classes | Wish to help a friend |
Multiple-choice questions | Aversion to teacher | |
Economic benefit | ||
Hetherington & Feldman (1964). | Difficult test | To gain social acceptance/liking |
Lacking supervision | ||
Badly organised course |
Mengapa para peneliti membagi berdasarkan kedua faktor tersebut? Menurut Braid (1980) faktor-faktor eksternal adalah faktor yang dapat dikontrol dan biasanya adalah faktor yang digunakan oleh mahasiswa sebagai “dalih” dari perilaku menyontek sedangkan faktor personal adalah faktor yang memperkuat alasan para mahasiswa untuk menyontek.
Semoga bahasan saya kali ini sedikit banyak membuka khasanah mengenai academic cheating. Amin
Referensi
Bjorklund, M & Wenestam, C. (1999) Academic cheating: frequency, methods, and
causes.Education-line. Diunduh dari http://www.leeds.ac.uk/educol
documents/00001364.htm
Tentang Penulis
Febriani Priskila, seorang ilmuwan psikologi khususnya psikologi pendidikan. Berpengalaman sebagai akademisi baik pada pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi. Tertarik mempelajari dan pernah meneliti topik-topik terkait pendidikan anak berkebutuhan khusus dan academic engagement.
Comments :