Keseimbangan Kerja-Kehidupan Pribadi dan Kompetensi Psikolog Klinis
Pernahkah Anda merasa kewalahan dengan pekerjaan dan seakan tidak punya waktu untuk diri sendiri atau keluarga?
Baru-baru ini saya membaca artikel yang sangat menarik dari majalah Monitor on Psychology Vol. 47 No. 7 edisi July/August 2016, berjudul “Seeking more balance” yang ditulis oleh Kirsten Weir. Selain menarik, artikel ini membuat saya merefleksikan karir sebagai psikolog klinis. Oleh karena itu, saya ingin membagikan insight yang -menurut saya-, penting diketahui oleh psikolog, mahasiswa profesi psikologi, atau para fresh graduate sarjana psikologi. Salah satu tujuan tulisan ini ialah agar pembaca mengetahui gambaran kesibukan psikolog klinis. Selain itu, pembaca bisa mendapat insight mengenai pentingnya mengatasi kesibukan-kesibukan tersebut agar tidak mengganggu kualitas pekerjaan dan well being pribadi.
Jika rekan-rekan pernah membaca buku The Science and Practice of Clinical Psychology yang ditulis oleh Trull & Prinstein (2013), pasti familiar dengan aktifitas yang biasa dilakukan oleh psikologi klinis. Trull dan Prinstein (2013) memaparkan ulang hasil penelitian Norcross, Kariak, Santoro (2005) tentang survey aktivitas dari psikolog klinis. Survey tersebut memperlihatkan bahwa terdapat beberapa aktivitas yang biasa dilakukan psikolog klinis yaitu psikoterapi, diagnosis/assessment, mengajar, supervisi klinis, penelitian dan penulisan artikel ilmiah, konsultasi, serta administrasi. Menurut survey tersebut, di tahun 2003 kegiatan yang paling banyak dilakukan ialah psikoterapi (34%). Dalam psikoterapi, psikolog melaksanakan serangkaian teknik-teknik intervensi tertentu untuk membantu klien mengurangi gejala gangguan yang dialami, atau meningkatkan kesejahteraan hidup klien. Salah satu hal yang mungkin dikeluhkan oleh klien ialah rasa lelah baik fisik maupun mental, tertekan karena kewalahan dengan pekerjaan, atau tidak sesuainya pekerjaan dengan tujuan hidup, serta kurangnya dukungan sosial dari orang terdekat. Kondisi ini disebut juga dengan burn out.
Ternyata, psikolog, yang mempelajari dan menangani klien yang burn out, juga tidak lepas dari mengalami burn out itu sendiri. Psikolog yang biasa memandu klien untuk memecahkan masalah-masalah terkait keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi tidak terlepas dari permasalahan ini. Seperti misalnya kisah Pamela Hays, PhD dalam artikel “Seeking more balance”. Saat mengawali karirnya sebagai seorang psikolog, ia mencoba melakukan aktivitas-aktivitas yang disebutkan di atas, praktek klinis, melakukan penelitian, menulis, dan mengajar. Setelah sepuluh tahun, akhirnya ia memiliki masalah sakit leher dan carpal tunnel syndrome yang parah sehingga harus menggunakan sistem komputer yang diaktifkan suara. Bisa dibayangkan bagaimana sibuknya ia, sampai membuatnya jatuh sakit. Menurut Pamela Hays, ia sangat semangat memahami permasalah kesehatan mental sehingga menjadi terlalu terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Pengalaman ini memang merupakan pengalaman yang ekstrem, tapi menjadi bukti bahwa psikolog juga manusia, bisa mengalami distress karena beban kerja yang banyak sehingga mengalami burn out.
Masalahnya, bagi psikolog, terutama psikolog yang melakukan praktek klinis, mengabaikan well-being bisa membahayakan kompetensi profesional sehingga menjadi permasalahan etis. Menurut Erica H. Wise, PhD, psikolog dari University of North Carolona at Chapel Hill, menjadi (psikolog) kompeten sangatlah sulit jika seseorang mengalami burn out. Wise menyimpulkan bahwa kompetensi merupakan kewajiban etis yang esensial serta memberikan kaitan antara etika dan self-care (Weir, 2016). Bayangkan jika Anda menjadi klien, lalu berhadapan dengan psikolog yang mengalami burn out, tentu tidak nyaman bukan? Oleh karena itulah, memelihara kesejahteraan (well-being) pribadi, alias self care, menjadi tugas yang sangat penting untuk psikolog.
Pentingnya self-care ditegaskan lagi oleh Sandra Lewis, PsyD, seorang psikolog klinis yang juga pendiri “The Living Source”, perusahaan yang membantu klien meningkatkan well-being. Menurut beliau, permasalahan burn-out yang terjadi pada kasus di atas dan pada kebanyakan orang bukanlah pengaturan waktu, melainkan pengaturan energi personal (personal energy management). Maksudnya, “tidak punya waktu” bukanlah alasan untuk tidak menjaga kesejahteraan diri sendiri. Masalah yang terjadi ialah tidak dapat mengatur energi di waktu yang ada. Seperti yang kita ketahui, waktu adalah tetap, 24 jam dalam satu hari. Oleh karena itu, Lewis, dalam Weir (2016) menyarankan untuk menggunakan waktu yang ada sebaik mungkin. Misalnya, jika tidak sempat menghabiskan waktu 1 jam di gym, maka gunakan waktu10 menit saat makan siang untuk berjalan kaki di sekitar kantor. Lewis juga menyarankan untuk menemukan strategi self-care yang bisa diintegrasikan dalam aktivitas sehari-hari, bukan ditambahkan pada jadwal yang sudah penuh. Aktivitas self-care ini sangat penting, ibarat energi listrik bagi sebuah batterey telepon genggam. Jika ditiadakan, bisa membuat telepon tak berdaya dan tak mampu melaksanakan tugasnya.
Lalu, bagaimana cara mengatur energi agar seimbang antara kerja dan kehidupan pribadi? Bagaimana memanfaatkan waktu luang untuk aktivitas self-care? Aktivitas apa saja yang disarankan dan terbukti efektif? Tunggu posting berikutnya!
Referensi:
Trull, T.J., Prinstein, M.J. (2013). The Science and Practice of Clinical Psychology. California: Wadsworth.
Weir, K. (2016, July). Seeking More Balance. Monitor on Psychology, Vol. 47 (7), 42-46.
Tentang penulis:
Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi., Psikolog ialah seorang psikolog klinis dewasa yang tertarik dengan isu hubungan romantis baik pacaran maupun pernikahan, serta trauma. Telah mengikuti workshop Couple and Family Therapy, serta sertifikasi terapis EMDR, dan sertifikasi alat ukur kepribadian Lumina. Bisa dihubungi di prumondor@binus.edu.
Comments :