Molekul oksitosin. Sumber gambar: http://www.grass-ceiling.com/wp-content/uploads/2015/02/oxytocin_molecule.jpg
Molekul oksitosin.
Sumber gambar: http://www.grass-ceiling.com/wp-content/uploads/2015/02/oxytocin_molecule.jpg

 

 

Pada posting tentang persahabatan lawan jenis, saya sempat menyinggung tentang hubungan seksual dan hormon yang dapat “mengacaukan” pertemanan lawan jenis. Hormon yang saya maksudkan ialah oksitosin. Pada artikel berikut ini, saya akan bercerita mengenai apa itu oksitosin, perannya dalam hubungan interpersonal dan bagaimana kaitannya dengan hubungan seksual.

 

Oksitosin adalah molekul yang membantu seorang ibu menjalin ikatan dengan bayinya dan merawat sang bayi. Seiring dengan perkembangan teknologi dalam penelitian neurologi pada awal abad 20, peneliti menemukan bahwa hormon ini keluar dalam jumlah yang banyak dari otak wanita yang sedang melahirkan. Hormon ini memfasilitasi proses fisiologis dari melahirkan serta ikatan ibu dan bayi pada masa menyusui. Ibu yang pernah melahirkan, pasti tahu bagaimana sakitnya proses tersebut. Normalnya, manusia akan menolak sesuatu yang menyakitkan. Tapi, pada proses kelahiran justru sebaliknya. Ibu yang melahirkan, akan semakin lekat dan terikat dengan sang bayi dan bertambah peduli pada si bayi. Inilah salah satu hasil kerja hormon oksitosin.

 

Selain itu, penelitian juga menemukan bahwa oksitosin juga bekerja dalam mempererat hubungan sepasangan manusia yang monogami. Penelitian juga menemukan bahwa oksitosin tidak bekerja sendirian dalam mempertahankan hubungan dua manusia. Ia juga dibantu oleh dopamine, yang bertugas dalam proses belajar (reinforcement learning), dan opiates, yang bertugas memberikan rasa puas. Kira-kira begini cara kerja hormon-hormon tersebut seperti penjelasan Dr. Lary Young, seorang behavioral neuroscientist, yang dituliskan oleh Cane (2013): oksitosin meningkatkan sensitifitas seseorang terhadap social cues.  Social cues yang dimaksud ialah perilaku dari pasangan yang kita ajak interaksi, seperti mimik wajah, intonasi suara, dan bahasa tubuh. Lalu dibantu dopamine, otak kita menghubungkan antara social cues dari pasangan dengan sensasi menyenangkan yang dihasilkan dari interaksi dengan mereka. Hasil dari penguatan positif tersebut adalah individu menginginkan sensasi menyenangkan tersebut untuk berulang kembali. Berhubung sumber dari sensasi menyenangkan tersebut adalah interaksi dengan pasangan, maka individu tersebut akan lebih memperhatikan pasangannya. Jika interaksi dengan pasangan kembali memberikan sensasi menyenangkan, maka siklus ini pun akan berulang.

 

Makanya, bagi kamu yang telah lama menikah dan mulai merasa bosan, cobalah ingat-ingat lagi interaksi seperti apa yang dulu memberikan sensasi menyenangkan saat bersama dengan pasangan? Apakah dengan pelukan, belaian, senyuman, atau bahkan lirikan mata yang menggoda? Cobalah praktekan lagi interaksi tersebut, untuk merangsang keluarnya oksitosin, yang pada akhirnya akan membuatmu kembali merasa mesra dan ingin memperhatikan pasangan.

Selain meningkatkan sensitivitas sosial dan membuat kita lebih dekat secara emosional dengan orang lain, ternyata oksitosin juga terlibat dalam situasi yang menimbulkan kemarahan dan agresi. Seperti yang sudah dijelaskan, oksitosin berperan dalam eratnya hubungan ibu dan bayi yang baru lahir. Oksitosin juga membuat sang Ibu akan melindungi anak dan rela untuk menjadi garang saat ada hal-hal yang mengganggu si anak. Coba saja lihat kucing yang baru beranak, saat ada orang yang mengganggu sang anak kucing, induknya tak segan mencakar. Jadi, oksitosin akan membuat kita lebih dekat dengan orang terdekat sekaligus membuat lebih waspada terhadap orang asing.

 

Nah, lalu bagaimana kaitan oksitosin dengan hubungan seksual? Ternyata, oksitosin juga dikeluarkan saat berhubungan seksual, terutama saat orgasme. Berhubung oksitosin bertugas membuat dua orang bertambah dekat dan saling percaya, maka berhubungan seks dapat mempererat ikatan emosional pasangan. Ikatan inilah yang membuat seseorang yang sudah berhubungan seks dengan mantan pasangannya menjadi susah “Move On” dari si mantan. Apalagi kalau si mantan dahulu pernah menjadi sahabat. Memang tidak sesederhana itu, tapi kira-kira demikian.

 

Tambahan lagi, saat seseorang memandang seks sebagai bagian yang penting dalam hidupnya, bukan sekedar ‘aktivitas fisik’, maka besar kemungkinan ia akan lebih sulit move on. Jika hubungan seks dilihat sebagai investasi, maka orang yang sudah berhubungan seks dengan mantannya akan merasa semakin rugi. Ya bayangkan saja seperti kamu berinvestasi ke saham, tapi perusahaan tersebut bangkrut. Jadi, pikir-pikir dulu ya sebelum berhubungan seks dengan pacar. Coba bayangkan apa jadinya kalau kalian putus?

 

Omong-omong tentang Move On, buat kamu yang ingin belajar lebih jauh tentang Move On, bisa baca buku pertama saya: Bukan Move On Biasa: Bikin Langkahmu Lebih Bermakna. Sudah tersedia di Toko Buku Gramedia se-Jabodetabek, di rak “Self improvement”. Bisa juga pesan langsung ke saya dengan mengisi form di link berikut ini: #BukanMoveOnBiasa.

Buku Bukan Move On Biasa di Rak Self Improvement, Gramedia Grand Indonesia.
Buku Bukan Move On Biasa di Rak Self Improvement, Gramedia Grand Indonesia.

Semoga informasi ini berguna.. Have a great day!

 

Referensi:

Cane, S. (2013). The Myth of The Love Hormone. Diunduh dari http://ctsn.emory.edu/documents/Myth-of-the-love-hormone.pdf

 

Other resources:

http://www.youramazingbrain.org/lovesex/sciencelove.htm

Watson, R. (2013). Oxytocin: The Love and Trust Hormone Can Be Deceptive. Diunduh dari: https://www.psychologytoday.com/blog/love-and-gratitude/201310/oxytocin-the-love-and-trust-hormone-can-be-deceptive

 

Tentang penulis:

Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi., Psikolog ialah seorang psikolog klinis dewasa yang tertarik dengan isu hubungan romantis baik pacaran maupun pernikahan, serta trauma. Telah mengikuti workshop Couple and Family Therapy, serta sertifikasi terapis EMDR, dan sertifikasi alat ukur kepribadian Lumina. Bisa dihubungi di prumondor@binus.edu.