Saya ingin membuka tulisan ini dengan sebuah pertanyaan, ‘Siapakah yang tidak pernah merasa cemas ?’….hayo coba diingat-ingat….Yak 99% bahkan 100% saya yakin tidak ada yang tidak pernah merasa cemas sepanjang hidupnya.
Disadari atau tidak, kecemasan itu sebenarnya sering dihadapi lho dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya peristiwa yang besar saja yang bisa membuat menjadi cemas, tetapi peristiwa sederhana pun bisa menimbulkan kecemasan. Contohnya saja cemas karena takut terlambat masuk kuliah atau masuk kantor. Kecemasan muncul ketika terjebak dalam kemacetan di jalan raya, sedangkan sebentar lagi sudah waktunya masuk kelas atau kantor. Contoh kecemasan yang lain adalah saat menahan keinginan buang air besar ketika sedang berada di jalanan yang macet. Waduh wajah sampai pucat pasi dan keluar keringat dingin menahan sakit perut. Seolah waktu tidak mau berkompromi, sehingga terasa begitu lama tidak sampai-sampai di tempat tujuan.
Kebayang kan bagaimana kecemasan itu sering dialami. Meskipun sering mengalami kecemasan, baik dalam skala kecil maupun besar, namun kalau boleh memilih sebagai manusia pasti pengennya tidak pernah merasa cemas. Soalnya merasa cemas itu sungguh tidak menyenangkan. Kalau sedang cemas, orang sering susah menggambarkan apa yang dirasakannya. Paling yang dikatan untuk menggambarkan kecemasan adalah ‘Aduh kok tiba-tiba perasaanku gak enak gini ya ?’. Kadang kecemasan digambarkan dengan perasaan gemas -tapi gemas bukan karena ada yang lucu- yang bercampur juga dengan perasaan kesal, seperti ‘Iiiih…lama banget sih hasilnya’. Kecemasan itu seperti perasaan yang bercampur aduk jadi satu, sering tidak jelas. Memang ketidaknyamanan yang dirasakan terkait kecemasan seringkali terasa samar dan sulit untuk digambarkan secara tepat, tetapi yang jelas kecemasan itu selalu berupa perasaan (Shiota & Kalat, 2012).
Sebenarnya untuk menilai seseorang itu cemas atau tidak lebih mudah dengan melihat perilakunya. Orang yang cemas itu terlihat dari wajahnya yang tegang, tapi bukan tegang yang pakai mengkerut ya karena itu sudah berbeda artinya, yaitu marah. Ketegangan di wajah biasanya disertai dengan sering menarik nafas panjang. Kemudian bisa saja disertai dengan berjalan mondar mandir, duduk tapi sambil menunduk dan menggerak-gerakkan kaki, atau memegang kepala sambil menunduk.
Kecemasan sendiri mengacu pada harapan umum bahwa ‘sesuatu yang buruk akan terjadi’ (Shiota & Kalat, 2012). Sedangkan Freud (Feist, Feist, & Roberts, 2013) menekankan kecemasan sebagai keadaan merasa, afek, kondisi tidak menyenangkan yang disertai oleh sensasi fisik untuk memperingatkan orang terhadap adanya bahaya. Berdasarkan kedua penjelasan tentang kecemasan tersebut dapat diperoleh dua kesimpulan, yaitu bentuk kecemasan dan fungsi kecemasan.
Ketika membicarakan tentang bentuk kecemasan, maka dapat dikatakan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan. Kecemasan sendiri merupakan suatu bentuk emosi, meskipun bukan merupakan bagian dari emosi dasar. Kecemasan sendiri digolong sebagai emosi yang negatif (Rachman, 1998). Sebagai bentuk emosi negatif, kecemasan erat kaitannya dengan ketakutan dan bahkan bahkan keduanya sering digunakan secara bergantian. Sama halnya dengan kecemasan, takut merupakan kombinasi dari ketegangan dan antisipasi terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan. Namun takut berbeda dengan kecemasan dalam hal penyebab, durasi, dan maintenance-nya. Takut digunakan untuk menjelaskan reaksi emosi pada bahaya khususyang dipersepsikan, yaitu ancaman yang bisa diidentifikasikan, seperti ular berbisa.
Sedangkan berdasarkan pengertiannya, kecemasan memiliki fungsi yang bermanfaat, yaitu memberi peringatan akan adanya bahaya. Dengan merasa cemas, maka orang yang menjadi waspada dan berupaya agar ancaman bahaya tidak terjadi atau sesuatu yang buruk tidak terjadi. Misalnya saja ketika seorang mahasiswa merasa cemas menghadapi ujian akhir, karena nilai ujian tengah semesternya tidak memuaskan. Ia merasa cemas apabila nilai yang diperolehnya dalam ujian akhir jelek dan membuatnya tidak lulus mata kuliah tersebut. Kecemasan mendorongnya untuk bersikap waspada dengan mengantisipasi mendapat nilai jelek saat ujian akhir. Maka ia pun berupaya bertanya pada dosen atau teman tentang materi yang dianggapnya sulit.
Sebenarnya terdapat tiga jenis kecemasan menurut Freud (Feist, Feist, & Roberts, 2013), yaitu kecemasan neurotik, kecemasan moral, dan kecemasan realistik. Kecemasan neurotik merupakan kecemasan yang muncul tanpa diketahui bahaya yang mengancamnya. Seseorang bisa saja merasa cemas dengan ketika bertemu dosen, meskipun ia tidak memiliki pengalaman atau mendengar pengalaman yang tidak menyenangkan dengan dosen tersebut. Kecemasan ini bisa bersumber dari ketidaksadarannya. Kecemasaan moral berasal dari konflik yang terjadi antara ego (prinsip realitas) dan superego (moral dan kondisi ideal). Kecemasan moral ini dapat terjadi ketika seorang anak merasa gagal untuk menjalankan prinsip moral yang dipegangnya, seperti merasa gagal untuk merawat orang tuanya yang telah berumur. Kecemasan realistik ini merupakan kecemasan yang erat kaitannya dengan takut. Kecemasan ini didefinisikan sebagai perasaan yang tidak menyenangkan, perasaan yang tidak spesifik melibatkan kemungkinan adanya bahaya. Contoh dari kecemasan realistik ini adalah merasa cemas berkendara saat hujan lebat, sehingga pandangan mata menjadi tidak jelas.
Apabila melihat ketiga jenis kecemasan menurut Freud (Feist, Feist, & Roberts, 2013) tersebut, maka kecemasan realistik merupakan kecemasan yang wajar dialami dalam kehidupan sehari-hari. Menilik fungsinya, maka kecemasan ini perlu untuk dimiliki dan dibiarkan saja terjadi dalam kehidupan, meskipun merasa cemas itu sangatlah tidak nyaman. Namun perlu diingat, jangan juga terus menerus mudah merasa cemas dan bahkan cemas secara berlebihan, karena dapat menyebabkan masalah dalam kehidupan. Kecemasan yang berlebihan akan membuat terus kepikiran dan akhirnya tidak bisa berkonsetrasi pada apa yang sedang dikerjakan. Banyak orang merasa stres karena memiliki kecemasan yang tidak tepat atau berlebihan. Bahkan kecemasan merupakan fitur utama dari banyak masalah psikologis (Shiota & Kalat, 2012). Untuk mengantisipasi kecemasan yang tidak tepat atau berlebihan, maka ada baiknya sering melakukan relaksasi agar dapat mengendalikan kecemasan tersebut. Apabila hal tersebut belum berhasil dilakukan, maka perlu digali persoalan-persoalan yang tidak disadari yang berpotensi menimbulkan ketegangan dalam diri.
Referensi
Feist, J., Feist, G. J., & Robert, T-A. 2013. Theories of Personality. 8th Edition. New York McGraw Hill.
Rachman, S. 1998. Anxiety. UK : Psychology Press.
Shiota, M. N., & Kalat, J. W. 2012. Emotion. 2nd Edition. USA : Wadsworth, Cengage Learning.

Ditulis oleh Rani Agias Fitri, M. Si., Psikolog (rfitri@binus.edu)

Tentang penulis :

Rani Agias Fitri merupakan psikolog Klinis yang mengikuti pelatihan souldrama. Dalam pengembangan keilmuwannya, ia tertarik untuk mendalami tentang trait kepribadian dan kesehatan mental melalui penelitian-penelitian yang dilakukannya.