Pada tanggal 27 Juli – 1 Agustus 2015 dan  1-6 Februari 2016 yang lalu, Salah satu dosen rumpun clinical and developmental psychology, Pingkan C. B. Rumondor, S.Psi., M.Psi. berkesempatan menjadi peserta EMDR Supervisory Training di Ratchaburi dan Chiangmai, Thailand. Training tersebut adalah bagian dari suatu rangkaian proyek kemanusiaan di bawah nama “Mekong Project” yang dijalankan oleh Asosiasi EMDR Cambodia. Proyek ini didanai oleh EMDR Humanitarian Assisstance Program (HAP) Germany, sebuah organisasi non profit yang memiliki misi mempromosikan dan mengembangkan EMDR dalam membantu komunitas yang terkena dampak trauma psikologis (Mattheß & Sodemann, 2014).

Apakah yang dimaksud dengan trauma? Apa pula yang dimaksud dengan EMDR? Apa kaitannya dengan trauma? Ikuti terus serial tulisan ini untuk mendapatkan penjelasannya.

Tulisan terdiri merupakan bagian dari serial tulisan. Seri pertama akan menjelaskan sekilas mengenai Trauma, seri kedua akan menjelaskan mengenai EMDR dan kaitannya tentang tauma, sementara seri ketiga akan menceritakan pengalaman mengikuti supervisory training di Chiangmai.

Trauma

American Psychological Association dalam buku DSM 5 (2013) mendefinisikan trauma sebagai kondisi dimana seseorang mengalami ancaman kematian, luka yang serius, atau kekerasan seksual. Kondisi ini bisa dialami sendiri, atau menyaksikan seseorang berada dalam kondisi tersebut. Bisa juga mengetahui bahwa salah satu anggota keluarga atau teman depat mengalami ancaman-ancaman tersebut. Selain itu, kondisi saat seseorang secara terus menerus menyaksikan peristiwa traumatik juga disebut trauma. Mudahnya, trauma adalah satu kondisi dimana seseorang mengalami kejadian yang membuatnya terancam kehilangan nyawa, atau harga dirinya.

Contoh pengalaman traumatik dimana keselamatan fisik seseorang terancam antara lain: kecelakaan kendaraan bermotor, bencana alam, seperti tsunami atau gempa bumi, pengeboman (seperti kejadian di Starbucks Thamrin beberapa waktu yang lalu, dan konflik bersenjata (seperti di Aceh). Sementara, contoh kondisi dimana harga diri seseorang direngut antara lain pemerkosaan, atau pelecehan seksual pada anak. Selain itu, relawan atau petugas polisi yang sering terpapar melihat korban bencana alam, atau sering mendengar cerita dari anak yang mengalami kekerasan seksual juga bisa dibilang mengalami pengalaman traumatik.

Tsunami di Aceh, salah satu bentuk peristiwa traumatik
Tsunami di Aceh, salah satu bentuk peristiwa traumatik

Melihat definisi dari trauma di atas, kita bisa melihat bahwa di Indonesia, banyak kejadian yang berpotensi menjadi peristiwa traumatik bagi seseorang, seperti: bencana alam, bom, konflik bersenjata, pemerkosaan atau pelecehan seksual. Maka tak heran Indonesia menjadi salah satu negara yang disasar oleh EMDR HAP Germany untuk diberikan bantuan (Mattheß & Sodemann, 2014). Setelah seseorang terpapar terpapar pada kondisi trauma, biasanya akan tampil beberapa respon berikut ini:

  1. Gejala intrusi
Tidak bisa tidur karena mimpi buruk..
Tidak bisa tidur karena mimpi buruk..

 Gejala intrusi ini muncul dalam bentuk kenangan buruk tentang peristiwa traumatik yang muncul tiba-tiba. Biasanya saat kenangan ini muncul, maka orang tersebut akan merasakan juga perasaan, pikiran, bahkan sensasi tubuh yang seolah sama persis seperti hari kejadian, meskipun kejadian traumatik yang ‘asli’ sudah berlalu beberapa bulan bahkan beberapa waktu yang lalu.

Gejala intrusi juga muncul dalam bentuk mimpi buruk yang berisi potongan gambar saat kejadian, atau perasaan yang terkait dengan peristiwa tersebut. Mimpi buruk ini membuat seseorang yang mengalami peristiwa traumatik menjadi sulit tidur.

Gejala intrusi berikutnya ialah rasa tertekan (distress) yang muncul saat melihat atau mendengar sesuatu yang mirip dengan kejadian traumatik. Misalnya seorang prajurit yang trauma karena teman dekatnya meninggal karena bom di medan perang, akan merasa cemas saat mendengar suara keras. Hal ini karena suara keras tersebut mengingatkannya pada kejadian traumatik.

Selain itu, gejala intrusi juga ditunjukkan dari reaksi fisiologis saat melihat, mendengar, atau terpikir tentang hal yang terkiat dengan kejadian fisiologis. Kembali pada contoh si prajurit, selain ia merasa cemas, jantungnya juga berdebar keras, dan sekujur tubuhnya menjadi lemas, sulit bergerak.

  1. Gejala menghindar (avoidance)
Menghindari membicarakan peristiwa traumatik
Menghindari membicarakan peristiwa traumatik

Setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik, ada kecenderungan menghindari hal-hal yang ada hubungannya dengan peristiwa tersebut. Baik menghindari untuk mengingat lagi kenangan tentang peristiwa tersebut, atau pikiran dan perasaan yang terkait peristiwa itu maupun menghindari stimulus yang bisa memicu kenangan tentang peristiwa tersebut. Akibatnya, mereka cenderung tidak sulit menceritakan kembali peristiwa tersebut saat diminta untuk mengingat dan menceritakan. Selain itu, mereka juga cenderung menghindar dari lokasi kejadian, orang, maupun situasi yang terkait dengan kejadian. Misalnya, saat si prajurit menolak untuk kembali ke kota tempat rekannya terbunuh. Meskipun saat ini lokasi tersebut sudah aman.

  1. Perubahan dalam pikiran dan perasaan terkait dengan persitiwa traumatik

    Pikiran negatif tentang diri sendiri..
    Pikiran negatif tentang diri sendiri..

Seseorang yang mengalami kejadian traumatik seringkali sulit untuk mengingat kembali aspek-aspek penting dari kejadian tersebut. Selain itu, mereka juga memiliki pikiran negatif tentang diri sendiri dan dunia. Misalnya pikiran bahwa “Saya orang jahat” atau “Saya tidak patut dicintai”. Pikiran negatif tersebut kemudian bisa tergeneralisasi ke aspek lain dalam hidup mereka, tidak hanya terkait dengan peristiwa traumatik. Selain itu, ia juga bisa memiliki pikiran yang kurang tepat tentang kejadian tersebut. Misalnya, Ibu Ana yang pernah mengalami kecelakaan mobil bisa jadi berpikir bahwa kejadian tersebut adalah salahnya. Meskipun pada kenyataannya, penyebab kejadian tersebut adalah truk yang tidak menyetir dengan hati-hati.

Selain pikiran, kejadian traumatik juga bisa membuat seseorang senantiasa merasakan perasaan negatif, seperti ketakutan, marah, merasa bersalah, merasa malu, bahkan merasa ngeri. Selain itu, mereka menjadi merasa jauh dan terasing dari orang lain, sulit merasakan perasaan positif seperti bahagia, puas, dicintai. Seseorang yang mengalami kejadian traumatik juga bisa menjadi tidak berminat lagi pada hal-hal yang biasanya mereka minati.

  1. Perubahan dalam arousal dan reactivity terkait dengan peristiwa traumatik
Mudah terkejut..
Mudah terkejut..

Seseorang yang mengalami peristiwa traumatik menjadi lebih mudah marah, dan cenderung menjadi kurang hati-hati (reckless). Mereka juga mudah terkejut dan sulit berkonstentrasi. Misalnya, saat melihat sosok truk yang mirip dengan truk yang pernah menabrak, Ibu Ana bisa sangat terkejut dan kemudian marah-marah pada supir truk tersebut meskipun truk tersebut berada pada jarak yang aman. Selain itu, mengalami peristiwa traumatik juga dapat membuat seseorang sulit jatuh tertidur, dan jika mereka tidur, biasanya bangun dalam kondisi masih lelah. Hal ini terkait dengan adanya mimpi buruk serta pikiran negatif yang menghantui. Sehingga tidur bukan lagi menjadi kegiatan yang menenangkan dan relaks.

PTSD: Post Traumatic Stress Disorder
PTSD: Post Traumatic Stress Disorder

Jika seeorang yang mengalami peristiwa traumatik mengalami minimal satu dari empat kelompok gejala di atas selama 1 bulan, dan gejala-gejala tersebut mengganggu pekerjaan serta kehidupan sehari-harinya, maka dapat dikatakan ia mengalami posttraumatic stress disorder (PTSD). Orang dengan PTSD sangat disarankan untuk mencari bantuan professional (psikologi klinis atau psikiater) untuk membantu mereka mengurangi gejala yang dialami.

Apakah setiap orang yang mengalami peristiwa traumatik pasti mengalami PTSD? Ternyata, tidak semua orang yang mengalami peristiwa traumatik mengalami PTSD. Sebagai contoh, mari kita amati apa yang terjadi di Aceh pasca tsunami tahun 2004. Seperti yang dipaparkan dr. Fazia, survey yang dilakukan oleh Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) bekerja sama dengan IOM (International Organization for Migration) dan Universitas Harvard pada 2006 menemukan bahwa 34% masyarakat Aceh mengalami gangguan stres pascatrauma (Ira Erlina, 2010, dalam Fazia, 2015). Selain itu, pada 2007 juga dilakukan penelitian pada 14 kabupaten di Aceh dan ditemukan bahwa 10% masyarakat mengalami gangguan stres pasca trauma (Widyatmoko, 2008, dalam Fazia, 2015). Hal ini berarti sekitar 90% masyarakat Aceh pulih secara alami dari gejala stres pasca kejadian traumatik. Contoh kasus di Aceh menyiratkan bahwa manusia memiliki mekanisme alamiah untuk ‘menyembuhkan diri’ dari gejala stres pasca peristiwa traumatik.

Lalu bagaimana dengan mereka yang masih mengalami gejala PTSD lewat dari 1 bulan setelah mengalami peristiwa traumatik? Intervensi psikologi apa yang bisa diberikan untuk membantu mereka? Nantikan tulisan selanjutnya tentang EMDR, salah satu terapi untuk PTSD.

Referensi:

APA. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. American Psychiatric Association: Washington DC.

Fazia. (2015). Tsunami dan Post Traumatic Stress Disorder. Dalam tribunnew.com. Diunduh dari : http://aceh.tribunnews.com/2015/12/26/tsunami-dan-post-traumatic-stress-disorder pada 24 Februari 2016.

Mattheß, H;, Sodemann, U. (2014). Trauma-Aid, Humanitarian Assistance Program Germany. Journal of EMDR Practice and Research, Vol. 8. No. 4., pp. 225-232. DOI: http://dx.doi.org/10.1891/1933-3196.8.4.225

Tentang penulis:

Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi., Psikolog ialah seorang psikolog klinis dewasa yang tertarik dengan isu hubungan romantis baik pacaran maupun pernikahan, serta trauma. Telah mengikuti workshop Couple and Family Therapy, serta sertifikasi terapis EMDR, dan sertifikasi alat ukur kepribadian Lumina. Bisa dihubungi di prumondor@binus.edu.