PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP KEKERASAN FISIK DALAM BERPACARAN PADA DEWASA MUDA
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP KEKERASAN FISIK DALAM BERPACARAN PADA DEWASA MUDA
Untuk memenuhi tugas kripi
NURLAILA SANGAJI
1601265492
LA64
UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
FAKULTAS HUMANIORA
JURUSAN PSIKOLOGI
APRIL 2015
1.1 Latar Belakang
Dewasa kini pacaran merupakan suatu kata yang tak asing di dengar. Pacaran merupakan hubungan antara pria dan wanita yang di warnai keintiman dimana satu sama lain melibatkan perasaan (Suci M.A, 2012). Perasaan ini meliputi rasa senang, sedih, gelisah, takut, kecewa, dan marah. Menurut Tucker (2004) pacaran dimulai dari berkenalan, berteman dan kemudian pacaran. Pacaran di definisikan sebagai interaksi, termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit atau implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka saat ini (Straus, 2004). Pada hakikatnya tujuan dari berpacaran merupakan untuk saling berbagi tanpa harus menyakiti satu sama lain. Saling jatuh cinta merupakan hal yang manusiawi karena manusia dalam hidupnya selalu membentuk hubungan sosial dengan orang lain dimana hubungan sosial ini akan meningkat seiring dengan pertambahan usia manusia itu sendiri.. Pada masa kanak-kanak awal hubungan sosial yang terbentuk adalah hubungan sosial dengan keluarga, kemudian pada masa kanak-kanak menengah sampai akhir hubungan sosial yang terbentuk adalah pertemanan dengan sesama atau lawan jenisnya. Dalam hubungan sosial tersebut terdapat perubahan yang dramatik yang tadinya hubungan sesama teman dan hubungan orang tua anak menjadi hubungan mixed jender dan hubungan romantis, hubungan romantis ini sering juga disebut dengan pacaran. Pacaran merupakan salah satu kebutuhan dalam teori Maslow yakni:
Manusia memiliki beberapa kebutuhan dasar yang harus dipenuhi secara bertingkat dimana seseorang akan beranjak pada fase kebutuhan yang lebih tinggi ketika telah memenuhi kebutuhan dasar yang sekarang. Kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, tempat tinggal termasuk kebutuhan untuk mencintai serta memberi dan menerima perhatian ( Al-Adawiyah, 2004:74 )
Dalam melibatkan perasaan dalam berpacaran maka akan timbul emosi. Emosi yang hadir bisa bedampak positif maupun negatif. Dalam berpacaran setiap pasangan di tuntut untuk saling mampu mengendalikan emosinya untuk kebahagian satu sama lain. Saat berkomitmen untuk berpacaran maka seseorang telah siap jika di hadapkan pada masalah dalam suatu hubungan. Dalam menghadapi masalah apabila seseorang mampu mengendalikan emosinya maka itu akan berdampak baik bagi dirinya dan pasangan, namun begitupun sebaliknya apabila seseorang tidak dapat mengendalikan emosinya maka akan berdampak buruk pada hubungannya.
Untuk itu dalam berpacaran setiap pasangan harus memiliki kecerdasan emosional. Kecerdasan emosi menurut Daniel Goleman pada tahun 1995 di definisikan sebagai kesadaran diri, rasa percaya diri, penguasaan diri, komitmen dan itegritas seseorang, serta kemampuan seseorang dalam mengkomunikasikan, mempengaruhi, melakukan inisiatif perubahan dan menerimanya (Pratama, 2010). Menurut Salovey dan Mayer pada tahun 1997 (dalam Morgan, 2003) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi melibatkan kemampuan untuk mengetahui, menilai dan mengeksperikan emosi secara akurat; kemampuan untuk menggunakan emosi untuk berpikir; kemampuan untuk memahami dan memiliki pengetahuan tentang emosi; serta kemampuan untuk mengelola emosi untuk mengembangkan diri. Kecerdasan emosional merupakan hal yang sangat penting dalam suatu hubungan, namun untuk beberapa pasangan pada dewasa muda kecerdasan emosional salah di artikan dan memberikan dampak yang buruk.
Seiring dengan bertambahnya usia maka konflik yang hadir dalam suatu hubungan akan bertambah, pada pasangan usia dewasa muda di sini mulai lebih di tuntut untuk bisa mengendalikan emosinya. Menurut Hurlock dalam Lemme tahun 1995 masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian terhadap pola – pola kehidupan baru dan harapan social baru dimana individu siap menerima kedudukan bersama dalam masyarakat bersama. Salah satu tugas perkembangan dewasa muda yaitu berkisar pada pembinaan hubungan intim dengan orang lain dan hubungan intim tersebut di antaranya dapat di peroleh melalui cinta.
Dalam kehidupan nyata, proses berpacaran tidak semulus apa yang di harapkan. Meluapkan emosi terjadi dalam bentuk verbal dan non verbal, namun ketika pasangan meluapkan emosinya dalam bentuk non verbal maka ini merupakan salah satu yang sangat perlu di hindari. Salah satu contohnya dalam detik.com yakni kasus yang pernah terjadi pada seorang penyanyi internasional, Rihanna. Ia mengalami kekerasan yang dilakukan oleh kekasihnya, Chris Brown, pada suatu malam saat mereka dalam perjalanan pulang dari sebuah acara di Los Angeles pada tahun 2009. Saat itu, Rihanna mengalami tindakan pemukulan, pencekikkan dan terdapat beberapa bekas gigitan pada tangannya karena diawali oleh pertengkaran ringan. Dalam beberapa pertengkaran sebelumnya, Rihanna juga sering mendapatkan perlakuan tersebut dari Chris Brown. Mereka telah berpacaran selama 1,5 tahun, hingga akhirnya Rihanna memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut. Kasus yang lain terjadi adalah kasus yang menimpa seorang mahasiswi bernama Leni Oktavia yang dituntut hukuman penjara selama 4 bulan. Padahal, tuduhan jaksa yang menyatakan dirinya menyiram air panas kepada mantan pacarnya adalah semata-mata karena alasan pembelaan diri atas perbuatan tidak senonoh pacarnya. Ia telah berpacaran selama 2 tahun dan ia cukup sering mendapatkan tindak kekerasan dari pacarnya, seperti di tampar, dijambak dan dicekik
Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pasangan dalam berpacaran disebut dengan dating violence. Beberapa dekade terakhir, kekerasan dalam pacaran atau dating violence telah menjadi persoalan kesehatan masyarakat (Hickman et al, 2004). Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope (dalam Murray, 2007) mendefiniskan dating violence sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Kekerasan dalam berpacaran merupakan tindakan yang di sengaja untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan melalui cara – cara fisik dan psikologis (dalam Jesica, 2007).
Menurut Komnas Perempuan Kekerasan dalam berpacaran biasanya di alami oleh perempuan walaupun sebenarnya kekerasan tidak hanya terjadi pada perempuan saja namun perempuan lebih banyak menjadi korban daripada laki – laki hal ini di karenakan adanya ketimpangan kekuasaan yang di anut oleh masyarakat luas. Dari uraian di atas menunjukan bahwa dewasa muda perlu memiliki kecerdasan emosional dalam hubungan dan patut diketahui bahwa kekerasan dalam pacaran bagaimanapun bentuknya adalah suatu hal yang tidak pantas terjadi. Hubungan yang terdapat kekerasan di dalamnya tidak hanya menghambat kesejahteraan pasangan, tapi juga dapat membahayakan kesejahteraan pasangan.
1.2 Kecerdasan Emosional
1.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia bukan saja perlu pintar dalam menghitung, menulis, dan membaca. Namun manusia juga perlu pintar dalam mengendalikan control dirinya sendiri. Kecerdasan menurut Spearman dan Jones yaitu suatu konsepsi tentang kekuatan atau power yang dapat melengkapi akal pikiran manusia dengan gagasan abstrak yang universal. Adapun kecerdasan emosional menurut Baharudin (1999) menyatakan bahwa” kecerdasan emosional adalah kemampuan atau keterampilan dalam mengendalikan diri, memiliki semangat dan ketekunan yang tinggi, mampu memotivasi dirinya dalam mengerjakan sesuatu, dan mampu berinteraksi dengan orang lain”
Kemudian menurut Salovey dan Mayer pada tahun 1997 (dalam Morgan, 2003) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi melibatkan kemampuan untuk mengetahui, menilai dan mengeksperikan emosi secara akurat; kemampuan untuk menggunakan emosi untuk berpikir; kemampuan untuk memahami dan memiliki pengetahuan tentang emosi; serta kemampuan untuk mengelola emosi untuk mengembangkan diri. Sementara menurut Chaplin (2009) mendefinisikan kecerdasan (intelligence) adalah kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif, kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, serta kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali.
Adapun menurut Goleman (1999) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, mengenali perasaan orang lain, kemampuan memotivasi, dan dalam hubungan dengan orang lain. Komponen kecerdasan emosional secara lebih rinci:
- Mengenali diri sendiri
Menurut Mu’tadin (2002), kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan suatu masalah.
Goelman (2006) menjelaskan emosi adalah kecenderungan untuk bertindak pada suatu perasaan dan pikiran dalam suatu keadaan biologis dan psikologis. Selanjutnya Goelman (2006) mengelompokan golongan emosi sebagai berikut : Amarah ( beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal, berang, tersinggung ) Kesedihan ( pedih, sedih, muram, suram, kesepian, putus asa, depresi berat ) takut ( cemas, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut, waspada, ngeri, takut sekali, fobia dan panic ) Kenikmatan ( bahagia, gembira, puas, riang, senang, takjub, terpesona, puas, senang, senang sekali) Cinta (penerimaan, persahabatan, kepercayaan, bakti, hormat, kasmaran ) Terkejut (takjub, terpana. Jengkel ( hina ,jijik, muak, mual, tidak suka, muntah ) Malu ( rasa salah, kesal hati, sesal, hina, aib )
Pada dasarnya mengenali diri sendiri merupakan kesadaran diri yang mampu mengontrol diri sendiri. Mampu mengetahui apa yang di rasakan, di pikirkan, dan di lakukan pada situasi tertentu dan kemudian mengambil keputusan yang tidak sebelah pihak atau tidak di dasarkan pada keinginan yang menyebabkan kerugian dimana akan menghasilkan pemikiran yang matang.
Kesadaran diri merupakan kemampuan manusia untuk secara akurat memahami diri sendiri dan tetap sadar terhadap emosi ketika emosi muncul. Dengan adanya kesadaran diri, keuntungannya adalah mampu mengenal dan memilah perasaan, mampu memahami dan mengetahui apa yang kita rasakan, mengetahui penyebab perasaan itu muncul, dan yang sangat penting mampu memahami dampak dari perilaku yang di hasilkan oleh diri sendiri. Ada beberapa cara untuk mengembangkan kekuatan dan kelemahan dalam pengenalan diri yaitu introspeksi diri, mengendalikan diri, membangun kepercayaan diri, mengenal dan mengambil inspirasi dari tokoh tokoh teladan, dan berpikir positif dan optimis tentang diri sendiri.
- Mengelola emosi yang baik pada diri sendiri
Menangani emosi sedemikian rupa sehingga menghasilkan hal yang positif dalam suatu hal, memiliki kepekaan terhadap kata hati namun sanggup menunda kenikmatan dalam suatu hal. Menurut Goleman pada tahun 2000 dalam Nuraini (2007) Pengendalian diri merupakan sikap hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan dan kebijakan yang terkendali, dan tujuannya adalah untuk keseimbangan emosi bukan menekan emosi karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Ketika seseorang memiliki pengaturan diri tandanya mampu mengendalikan emosi. Emosi merupakan reaksi yang di hasilkan tubuh pada situasi tertentu.
Menurut Santrock (2007) “ emosi adalah perasaan atau efek yang muncul ketika seseorang dalam status atau interaksi yang penting baginya, terutama bagi kesejahteraannya.” Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Ketika seseorang pintar dalam mengendalikan emosinya dan mampu mengendalikan hati individu yang lain maka orang tersebut memiliki tingkat emosional yang baik, dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya sosialnya.
- Mengenali perasaan orang lain
Mengenali perasaan orang lain berarti ikut serta berempati dalam mengenali perasaan dan keinginan orang lain. Empati sangat berkaitan dengan kesadaran emosional. menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), empati merupakan keadaan mental yang mempengaruhi jiwa seseorang sehingga menganggap pikirannya sama dengan pikiran orang lain. Empati adalah kemampuan seseorang dalam menghayati perasaan seseorang. Seseorang tidak hanyut dalam suasana orang lain, tetapi memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Pada dasarnya empati hadir semenjak seseorang di lahirkan, namun belum aja jaminan pasti bahwa empati ini mampu berkembang dengan baik seiring bertambahnya usia seseorang (Borba, 2008). Semua orang dapat berempati, karna kunci utama dalam empati yaitu melibatkan diri dalam keadaan orang lain.
- Kemampuan memotivasi
Motivation merupakan dorongan dan motivasi. Motivasi merupakan perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi yang mencapai tujuan. Menurut Goleman (2000) dalam Nuraini (2007) Motivasi didefinisikan sebagai suatu konsep yang digunakan jika menguraikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku atau segala sikap yang menjadi pendorong timbulnya suatu perilaku. Dengan kata lain, motivasi merupakan dorongan, penggerak, dan penuntun untuk menuju sasaran yang membantu untuk pengambilan keputusan.
- Hubungan dengan orang lain
Ketika seseorang mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain maka orang tersebut memiliki kemampuan untuk menangani dan mengendalikan emosi dengan baik pula. Menurut Jones (1996) dalam Melandy dan Aziza (2006), kemampuan membina hubungan dengan orang lain adalah serangkaian pilihan yang dapat membuat anda mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang yang berhubungan dengan anda atau orang lain yang ingin anda hubungi. Untuk menjalin hubungan yang baik seseorang harus mampu mengenali dirinya sendiri, mengenali perasaan orang lain dan mengelola emosi dalam berbagai situasi
Kecerdasan emosional petama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog bernama Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire Amerika untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas ini antara lain (Nuraini, n.d):
- Empati (kepedulian)
- Mengungkapkan dan memahami perasaan
- Mengendalikan amarah
- Kemandirian
- Kemampuan menyesuaikan diri
- Disukai
- Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi
- Ketekunan
- Kesetiakawanan
- Keramahan
- Sikap hormat
1.2.2 Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah kekerasan yang melibatkan kontak langsung dan dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi, cedera, atau penderitaan fisik lain atau kerusakan tubuh. Misalnya tindakan memukul, menampar, dan menjambak, menyudutkan rokok, menggunakan alat untuk melakukan kekerasan. Kekerasan yang dapat meninggalkan bekas pada tubuh korban dan biasanya dilakukan karena anda tidak menuruti keinginan pasangan. Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan.
1.3 Dewasa Muda
1.3.1 Pengertian Dewasa Muda
Masa dewasa muda di mulai sekitar usia 18 sampai 22 tahun dan berakhir pada usia 35 sampai 40 tahun (Lemme, 1995). Menurut Lemme, masa dewasa adalah masa yang di tandai dengan adanya ketidaktergantungan secara finansial dan orang tua serta adanya rasa tanggung jawab terhadap tindakan – tindakan yang di lakukan. Pada generasi terdahulu berpandangan bahwa jika anak laki-laki dan perempuan mencapai usia dewasa secara syah, maka hari-hari kebebasan tiba untuk menerima tanggung jawab mereka telah berakhir dan saatnya telah tiba untuk menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa (Elizabeth B.Hurlock. 2009).
Definisi Masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memaikan peran baru, seperti suami/istri, orang tua, dan pencari nafkah, keinginan-keingan baru, mengembangkan sikap-sikap baru, dan nilai-nilai baru sesuai tugas baru ini (Hurlock, 1996). Dalam tahun-tahun pertama dewasa awal, banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang. Masalah baru-baru ini berbeda dengan masalah-masalah yang sudah pernah di alami sebelumnya. Anak-anak muda telah dihadapkan dengan banyak masalah dan mereka belum siap untuk menghadapinya. Penyesuaian diri terhadap masalah-masalah dewasa dini atau muda ini menjadi lebih intensif dengan diperpendeknya masa remaja, masa transisi menjadi dewasa sangat pendek sehingga anak-anak muda hampir tidak memiliki waktu untuk peralihan menjadi dewasa.
1.3.2 Tugas Perkembangan Dewasa Muda (teori Erikson)
Tugas perkembangan dewasa muda berdasarkan teori Erikson (dalam Papalia et,all, 2009) di katakan kematangan perkembangan psikososial dewasa muda dapat tercapai ketika mampu melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini seseorang di harapkan mampu mempersiapkan dan membina hubungan yang dekat ataupun ikatan yang baik dengan teman sebaya, menggabungkan diri dalam suatu kelompok, dan mempersiapkan untuk membentuk komitmen dengan lawan jenis. Dan secara umum, tugas perkembangan masa dewasa awal meliputi:
- Pekerjaan
Seorang individu diharapkan sudah mendapatkan suatu pekerjaan yang layak ketika ia berada pada masa dewasa dini sehingga ia bisa dianggap mampu dan mempunyai peran atau posisi dalam masyarakat.
- Pengakuan Sosial
Masa ini adalah masa dimana seseorang ingin mendapatkan legalitas dan pengakuan dari masyarakat/kelompok sekitarnya. Ia menerima tanggungjawab sebagai warga Negara dan akan bergabung dengan komunitas social yang cocok dengannya.
- Keluarga
Pada masa ini seseorang mulai mencari dan memilih pasangan hidup yang cocok, lalu menikah, mempunyai anak, kemudian membina rumah tangga. Ia mempunyai peran baru yaitu sebagai orang tua.
1.4 Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Kekerasan Fisik dalam Berpacaran pada Dewasa Muda
Usia dewasa muda merupakan usia dimana seseorang di tuntut untuk mampu mengendalikan emosi secara rasional. Pada usia muda pengambilan keputusan sangat perlu di pertimbangkan secara matang. Pasangan dewasa muda yang melakukan kekerasan fisik merupakan pasangan yang kurang mengontrol emosinya, hal ini di sebabkan kurangnya mengenali diri sendiri, mengenali perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri dan kurangnya memiliki ikatan yang baik dengan pasangan dalam berhubungan. Kecerdasan emosional di perlukan untuk semua pasangan, bukan saja untuk pria ataupun untuk peremupan.
Kecerdasanya emosional sangat penting untuk keduanya. Bagi pelaku keuntungan dari mengontrol emosi adalah tidak akan terjadi kekerasan fisik dalam berpacaran, karena ketika seseorang mampu mengontrol emosinya maka orang tersebut mampu memilih tindakan yang baik dan menghindari tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Untuk korban kekerasan dalam berpacaran, kecerdasan emosional juga sangat penting. Karena jika korban memiliki kecerdasan emosi yang baik seharusnya ketika pasangan melakukan kekerasan, sebaiknya langsung di tindak lanjuti ke pihak yang berwajib agar sang pelaku menjadi jera atas tindakan yang di lakukan. Selain itu korban seharusnya tegas dalam mengambil keputusan, ketika mengalami kekerasan, maka memberhentikan hubungan pacaran adalah hal yang perlu di lakukan agar tidak terulang kembali tindak kekerasan.
Adapun strategi bertahan menurut Bowker (1986) yaitu strategi berbicara seperti mencoba berbicara pada pasangan dalam pandangan-pandangan yang salah, strategi perjanjian yaitu korban mencoba berbicara tentang kekerasan yang dialami agar tidak melakukannya kembali. Strategi mengancam tanpa kekerasan yaitu korban akan melaporkan tindak kekerasan tersebut kepada orang tua atau teman dekatnya. Strategi bersembunyi yaitu jika korban mengalami kekerasan maka ia akan bersembunyi sementara dari pasangan terlebih dahulu dan mencegah cidera tetapi di luar dugaan korban tidak bisa bersembunyi karena pelaku begitu dekat dengan korban dan terjadilah kekerasan. Strategi passive defence yaitu korban mencoba melindungi anggota tubuh atau melindungi dari serangan apapun dari pelaku, strategi menghindar yaitu dimana korban sudah mengetahui sebelum kekerasan menimpa dirinya korban sudah lebih dulu menghindar atau menjauhi pelaku, strategi menyerang balik yaitu apabila mampu melawan dan mencoba melakukan hal yang sama pada pasangan.
1.5 Hipotesis (Ha)
Hipotesis yang di gunakan dalam penelitian ini adalah:
“Adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan kekerasan fisik dalam
berpacaran pada dewasa muda”
Comments :