PENGARUH KEPRIBADIAN MENURUT TEORI BIG FIVE FACTOR TERHADAP SIKAP ALTRUISME PADA MAHASISWA BINA NUSANTARA

OLEH

MAZAYA DWINA PUTRI

1601242980

 

MATA KULIAH METODE PENELITIAN DAN PROPOSAL

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS HUMANIORA

BINUS UNIVERSITY

2015

 

 

DAFTAR ISI

BAB I. 3

PENDAHULUAN.. 3

1.1.1         Latar Belakang. 3

1.2.1         Rumusan Masalah. 5

1.2.2         Tujuan Penelitian. 6

1.2.3         Manfaat Penelitian. 6

1.2.3.1          Manfaat Teoritis. 6

1.2.3.2          Manfaat Praktis. 6

BAB II. 7

KAJIAN PUSTAKA.. 7

2.1        Perilaku Prososial 7

2.1.1         Pengertian Perilaku Prososial 7

2.1.2         Faktor yang Mendasari Seorang untuk Bertindak Prososial 8

2.1.3         Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial 8

2.1.4         Bentuk – Bentuk Perilaku Prososial 11

2.2        Kepribadian. 13

2.2.1         Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian. 13

2.2.2         Kepribadian Big Five. 16

2.2.3         Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality. 17

2.3        Hubungan Antar Kedua Variable. 20

DAFTAR PUSTAKA.. 21

 


BAB I

PENDAHULUAN

mazaya

1.1.1        Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan dengan orang lain dan tidak bisa hidup secara individual. Sebagai makhluk sosial hendaknya manusia saling tolong menolong satu sama lain dan mengadakan interaksi dengan orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Sarwono dan Meinarno (2009), pada zaman globalisasi saat ini di Indonesia banyak kota-kota besar sedikit demi sedikit mengalami perubahan sebagai akibat dari modernisasi. Jadi, tidak heran apabila di kota-kota besar tolong-menolong mengalami penurunan sehingga sekarang ini hanyalah terlihat sikap – sikap individualis.

Pada dasarnya manusia dalam memenuhi kebutuhanya tidak dapat lepas dari bantuan orang lain, jadi seseorang biasanya lebih menekankan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Hal ini akan mendorong munculnya perilaku peduli terhadap orang lain, dimana seseorang akan mudah memberikan pertolongan dengan sukarela kepada orang lain. Memberikan bantuan ataupun keuntungan pada orang lain tanpa mengharap imbalan apapun dalam psikologi disebut dengan altruisme.

Menurut Myers (dalam Ginintasasi, 2008) altruisme dapat dipengaruhi oleh tiga faktor antara lain sebagai berikut.

  • Faktor situasional merupakan faktor yang menggambarkan situasi, suasana hati, pencapaian reward perilaku sebelum dan pengamatan langsung tentang derajat kebutuhan yang ditolong serta beberapa pertimbangan yang akan mengantar dinamika diri sendiri untuk melakukan tindakan altruistik atau tidak seperti desakan waktu.
  • Faktor interpersonal mencakup jenis kelamin, kesamaan karakteristik, kedekatan hubungan, dan daya tarik antar penolong dan yang ditolong.
  • Faktor personal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri subyek yang menolong, mencakup perasaan subyek dan religiusitas subyek.
  • Beberapa penelitian psikologi sosial melihat bahwa pemberian bantuan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut (Sarwono, dalam Ginintasasi 2008).

Tampaknya ciri kepribadian tertentu mendorong orang untuk memberikan pertolongan dalam beberapa jenis situasi yang lain. Satow (Sears dkk, dalam Ginintasasi, 2008) mengamati bahwa orang yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial lebih cenderung untuk menyumbangkan uang bagi kepentingan amal daripada orang yang mempumnyai tingkat yang rendah untuk diterima secara sosial, tetapi hanya bila orang menyaksikannya. Orang yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh pujian dari orang lain sehingga bertindak lebih prososial agar mereka lebih diperhatikan.

David O. Sears (1994) menyatakan terdapat perbedaan individual dalam usaha memahami mengapa ada orang yang lebih mudah menolong dibandingkan orang lain, dan juga para peneliti menyelidiki karakteristik kepribadian yang relatif menetap maupun suasana hati dan psikologis yang mudah berubah akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku prososial.

Adapun penelitian sebelumnya tentang kepribadian dengan perilaku prososial yang dilakukan berjudul “Perbedaan Perilaku Prososial ditinjau dari Tipe Kepribadian pada Anggota Palang Merah Remaja” menyatakan bahwa orang dengan tipe kepribadian Ekstrovert memiliki kecenderungan perilaku prososial yang lebih tinggi (Susanto dalam Jannah, 2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa kepribadian merupakan aspek psikologi yang sangat penting dalam menentukan perilaku individu.

Banyak sekali para psikolog menggunakan tes – tes kepribadian untuk memperoleh gambaran yang utuh mengenai kepribadian individu. Salah satunya menggunakan five factor model atau big five factor. Big Five digunakan untuk  menggambarkan kepribadian seorang individu yang di deskripsikan dengan 5 kata atau label besar yaitu : Neuroticism (N), Extraversion (E), Openness (O), Agreeableness (A) dan Conscientiousness (C). Karena hal tersebut, kepribadian dapat mencerminkan kualitas yang ada pada diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut menolong orang lain pada berbagai situasi (Eisenberg, Spinrad, & Sadowsky, 2006; Mikulineer, & Shaver, 2005; Penner, 2002).

 

1.2.1        Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti ingin melihat apakah ada pengaruh big five factor terhadap perilaku altruisme pada mahasiswa Universtias Bina Nusanta. Dari fenomena – fenomena yang telah dikemukakan dan penelitian – penelitian sebelumnya, peneliti sangat tertarik untuk meneliti topik tersebut.

Maka, dapat dijabarkan rumusan masalah dalam penelitian ini:

  • Apakah ada pengaruh Neuroticism pada big five factor theory terhadap perilaku altruisme dikalangan mahasiswa Universitas Bina Nusantara?
  • Apakah ada pengaruh Extraversion pada big five factor theory terhadap perilaku altruisme dikalangan mahasiswa Universitas Bina Nusantara?
  • Apakah ada pengaruh Openness pada big five factor theory terhadap perilaku altruisme dikalangan mahasiswa Universitas Bina Nusantara?
  • Apakah ada pengaruh Agreeableness pada big five factor theory terhadap perilaku altruisme dikalangan mahasiswa Universitas Bina Nusantara?
  • Apakah ada pengaruh Conscientiousness pada big five factor theory terhadap perilaku altruisme dikalangan mahasiswa Universitas Bina Nusantara?
  • Apakah ada pengaruh tingkat usia terhadap perilaku prososial?

 

1.2.2        Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh aspek – aspek kepribadian big five dan aspek tingkat usia terhadap perilaku altruisme.

 

1.2.3        Manfaat Penelitian

Dari tujuan yang ingin dicapai, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teori maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan peneliti sebagai berikut :

 

1.2.3.1  Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya ranah psikologi sosial – kepribadian maupun klinis. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan data tambahan dan sumber bagi pengembangan studi big five factor dan perilaku altruisme.

1.2.3.2  Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan referensi bagi mahasiswa, para pendidik, maupun berbagai macam organisasi dalam mengetahui lebih lanjut lagi mengenai teori big five factor dan sikap altruisme.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1       Perilaku Prososial

2.1.1    Pengertian Perilaku Prososial

Chaplin (1995: 53) memberikan pengertian perilaku sebagai segala sesuatu yang dialami oleh individu meliputi reaksi yang diamati. Watson (1984: 272) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan yang memiliki konsekuensi positif bagi orang lain, tindakan menolong sepenuhnya yang dimotivasi oleh kepentingan sendiri tanpa mengharapkan sesuatu untuk dirinya. Kartono (2003: 380) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku sosial yang menguntungkan di dalamnya terdapat unsureunsur kebersamaan, kerjasama, kooperatif, dan altruisme. Perilaku prososial dapat memberikan pengaruh bagaimana individu melakukan interaksi sosial. Sears (1991: 61) memberikan pemahaman mendasar bahwa masing-masing individu bukanlah sematamata makhluk tunggal yang mampu hidup sendiri, melainkan sebagai makhluk social yang sangat bergantung pada individu lain, individu tidak dapat menikmati hidup yang wajar dan bahagia tanpa lingkungan sosial. Seseorang dikatakan berperilaku prososial jika individu tersebut menolong individu lain tanpa memperdulikan motif-motif si penolong, timbul karena adanya penderitaan yang dialami oleh orang lain yang meliputi saling membantu, saling menghibur, persahabatan, penyelamatan, pengorbanan, kemurahan hati, dan saling membagi. Myers (dalam Sarwono, 2002: 328) menyatakan bahwa perilaku prososial atau altruisme adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan kepentingan sendiri. Perilaku menguntungkan orang lain.

 

 

2.1.2    Faktor yang Mendasari Seorang untuk Bertindak Prososial

Dalam situasi tertentu, keputusan untuk menolong melibatkan proses pemikiran yang kompleks dan pengambilan keputusan yang rasional. Adapun beberapa faktor yang mendasari seorang untuk bertindak prososial yaitu (Hanianni, 2011):

  • Self-gain yaitu harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian, atau takut dikucilkan
  • Personal values and norms yaitu adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagaian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.
  • Empathy yaitu kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain.

 

2.1.3    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial

Faktor-faktor yang spesifik mempengaruhi perilaku prososial antara lain, karakteristik situasi, karakteristik penolong, dan karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan (Sears dkk, 1994: 61 dalam Dahriani, 2007: 38) :

  1. Faktor Situasional, meliputi :
  2. Kehadiran Orang Lain

Individu yang sendirian lebih cenderung memberikan reaksi jika terdapat situasi darurat ketimbang bila ada orang lain yang mengetahui situasi tersebut. Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan individu yang benar-benar memberikan pertolngan. Faktor ini sering disebut dengan efek penonton (bystander effect). Individu yang sendirian menyaksikan orang lain mengalami kesulitan, maka orang itu mempunyai tanggung jawab penuh untuk memberikan reaksi terhadap situasi tersebut.

 

  1. Kondisi Lingkungan

Keadaan fisik lingkungan juga mempengaruhi kesediaan untuk membantu. Pengaruh kondisi lingkungan ini seperti cuaca, ukuran kota, dan derajat kebisingan.

  1. Tekanan Waktu

Tekanan waktu menimbulkan dampak yang kuat terhadap pemberiaan bantuan. Individu yang tergesa-gesa karena waktu sering mengabaikan pertolongan yang ada di depannya.

  1. Penolong, meliputi :
  2. Suasana Hati

Individu lebih terdorong untuk memberikan bantuan bila berada dalam suasana hati yang baik, dengan kata lain, suasana perasaan posiif yang hangat meningkatkan kesediaan untuk melakukan perilaku prososial.

 

  1. Rasa Bersalah

Keinginan untuk mengurangi rasa bersalah bisa menyebabkan individu menolong orang yang dirugikannya, atau berusaha menghlangkannya dengan melkukan tindakan yang baik.

  1. Distres dan Rasa Empatik

Distres diri (personal disterss) adalah reaksi pribadi individu terhadap penderitaan orang lain, seperti perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang dialaminya. Sebaliknya, rasa empatik (emphatic concern) adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Distres diri terfokus pada diri sendiri yaitu memotivasi diri sendiri untuk mengurangi kegelisahan pada diri sendiri dengan membantu orang yang membutuhkan, tetapi juga dapat melakukannya denagn menghindari situasi tersebut atau mengabaikan penderitaan di sekitarnya. Sebaliknya, rasa empatik terfokus pada si korban yaitu hanya dapat dikurangi dengan membantu orang yang berada dalam kesulitan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

  1. Orang yang Membutuhkan Pertolongan, meliputi :
  2. Menolong orang yang disukai

Rasa suka awal individu terhadap orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik dan kesamaan. Karakteristik yang sama juga mempengaruhi pemberian bantuan pada orang yang mengalami kesulitan. Sedangkan individu yang meiliki daya tarik fisik mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menerima bantuan. Perilaku prososial juga dipengaruhi oleh jenis hubungan antara orang seperti yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, individu lebih suka menolong teman dekat daripada orang asing.

  1. Menolong orang yang pantas ditolong

Individu membuat penilaian sejauh mana kelayakan kebutuhan yang diperlukan orang lain, apakah orang tersebut layak untuk diberi pertolongan atau tidak. Penilaian tersebut dengan cara menarik kesimpulan tentang sebab-sebab timbulnya kebutuhan orang tersebut. Individu lebih cenderung menolong orang lain bila yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut.

 

2.1.4    Bentuk – Bentuk Perilaku Prososial

Secara konkrit, pengertian perilaku prososial meliputi tindakan berbagi (sharing), kerjasama (cooperation), menolong (helping), kejujuran (honesty), dermawan (generiousity) serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain (Mussen dalam Dayakisni, 1988: 15). Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan yang mendorong seseorang untuk berinteraksi, bekerjasama, dan menolong orang lain tanpa mengharapkan sesuatu untuk dirinya.

Mussen, dkk (1989: 360) menyatakan bahwa aspek-aspek perilaku prososial meliputi:

  • Berbagi Kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka dan duka.
  • Kerjasama Kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan.
  • Menolong Kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan.
  • Bertindak jujur Kesediaan untuk melakukan sesuatu seperti apa adanya, tidak berbuat curang.
  • Berderma Kesediaan untuk memberikan sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan.

Bringham (1991: 277) menyatakan aspek-aspek dari perilaku prososial adalah:

  • Persahabatan Kesediaan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan orang lain.
  • Kerjasama Kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapai suatu tujuan.
  • Menolong Kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan.
  • Bertindak jujur Kesediaan untuk melakukan sesuatu seperti apa adanya, tidak berbuat curang.
  • Berderma Kesediaan untuk memberikan sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan.

Salah satu bentuk cinta terhadap orang lain adalah dengan memberikan pertolongan orang lain (Nashori, 2008). Istilah menolong erat kaitannya dengan istilah altruisme. Altruistic as behaviour, pemahamannya adalah menolong orang lain, membuat orang lain senang. Tetapi membuat orang lain senang didasari oleh dua faktor. Yang pertama bila individu tidak peduli siapa yang ditolong, darimana asalnya, individu hanya sekedar menolong saja. Hal ini muncul ketika individu melihat orang lain tidak nyaman, maka individu tersebut menolongnya, hal ini disebut eksosentris. Kedua adalah apabila individu yang menolong mendapatkan keuntungan dari individu yang ditolong, hal ini dinamakan endosentris (Pelokang, 2008).

Bierhoff (2002) mengatakan bahwa tingkah laku prososial merupakan bagian dari tingkah laku menolong (helping) dan tingkah laku altruis merupakan bagian dari tingkah laku prososial.

Berdasarkan kepada pengertian dari Bierhoff tersebut, maka penolong mempunyai makna lebih luas, dibandingkan dengan prososial dan altruisme. Bila dibuat kedalam gambar, maka hubungan dari ketiga istilah tersebut adalah sebagai berikut :

 

 

 

 

 

 

 

 

Altruisme menurut Baron & Byrne (2005) yaitu tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain. Altruisme ini juga merupakan kebalikan dari sifat egois yang hanya mementingkan diri sendiri, sehingga menolong lebih menguntungkan kepentingan orang lain (Myers dalam Sarwono 1999). Banyak perilaku prososial yang bukan Altruisme (Taylor et.al, 2009), tetapi perilaku Altruisme merupakan perilaku prososial.

 

2.2         Kepribadian

Kepribadian merupakan pola khas seseorang dalam berpikir, merasakan dan berperilaku yang relatif stabil dan dapat diperkirakan (Dorland, 2002). Kepribadian juga merupakan jumlah total kecenderungan bawaan atau herediter dengan berbagai pengaruh dari lingkungan serta pendidikan, yang membentuk kondisi kejiwaan seseorang dan mempengaruhi sikapnya terhadap kehidupan (Weller, 2005). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepribadian meliputi segala corak perilaku dan sifat yang khas dan dapat diperkirakan pada diri seseorang, yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap rangsangan, sehingga corak tingkah lakunya itu merupakan satu kesatuan fungsional yang khas bagi individu itu.

 

2.2.1    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian.

Menurut Purwanto (2006) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian antara lain:

 

 

  1. Faktor Biologis

Faktor biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan keadaan jasmani, atau seringkali pula disebut faktor fisiologis seperti keadaan genetik, pencernaan, pernafasaan, peredaran darah, kelenjar-kelenjar, saraf, tinggi badan, berat badan, dan sebagainya. Kita mengetahui bahwa keadaan jasmani setiap orang sejak dilahirkan telah 9 menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan. Hal ini dapat kita lihat pada setiap bayi yang baru lahir. Ini menunjukkan bahwa sifat-sifat jasmani yang ada pada setiap orang ada yang diperoleh dari keturunan, dan ada pula yang merupakan pembawaan anak/orang itu masing-masing. Keadaan fisik tersebut memainkan peranan yang penting pada kepribadian seseorang.

 

  1. Faktor Sosial

Faktor sosial yang dimaksud di sini adalah masyarakat ; yakni manusia-manusia lain disekitar individu yang bersangkutan. Termasuk juga kedalam faktor sosial adalah tradisi-tradisi, adat istiadat, peraturan-peraturan, bahasa, dan sebagainya yang berlaku dimasyarakat itu. Sejak dilahirkan, anak telah mulai bergaul dengan orang-orang disekitarnya. Dengan lingkungan yang pertama adalah keluarga. Dalam perkembangan anak, peranan keluarga sangat penting dan menentukan bagi pembentukan kepribadian selanjutnya. Keadaan dan suasana keluarga yang berlainan memberikan pengaruh yang bermacam-macam pula terhadap perkembangan kepribadian anak.

  1. Faktor Kebudayaan

Perkembangan dan pembentukan kepribadian pada diri masing – masing orang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana seseorang itu dibesarkan. Beberapa aspek kebudayaan yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian antara lain:

  • Nilai-nilai (Values)

Di dalam setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai hidup yang dijunjung tinggi oleh manusia-manusia yang hidup dalam kebudayaan itu. Untuk dapat diterima sebagai anggota suatu masyarakat, kita harus memiliki kepribadian yang selaras dengan kebudayaan yang berlaku di masyarakat itu.

  • Adat dan Tradisi.

Adat dan tradisi yang berlaku disuatu daerah, di samping menentukan nilai-nilai yang harus ditaati oleh anggota-anggotanya, juga menentukan pula cara-cara bertindak dan bertingkah laku yang akan berdampak pada kepribadian seseorang.

  • Pengetahuan dan Keterampilan

Tinggi rendahnya pengetahuan dan keterampilan seseorang atau suatu masyarakat mencerminkan pula tinggi rendahnya kebudayaan masyarakat itu. Makin tinggi kebudayaan suatu masyarakat makin berkembang pula sikap hidup dan cara-cara kehidupannya.

  • Bahasa

Di samping faktor-faktor kebudayaan yang telah diuraikan di atas, bahasa merupakan salah satu faktor yang turut menentukan cirri-ciri khas dari suatu kebudayaan. Betapa erat hubungan bahasa dengan kepribadian manusia yang memiliki bahasa itu. Karena bahasa merupakan alat komunikasi dan alat berpikir yang dapat menunukkan bagaimana seseorang itu bersikap, bertindak dan bereaksi serta bergaul dengan orang lain.

  • Milik Kebendaan (material possessions)

Semakin maju kebudayaan suatu masyarakat/bangsa, makin maju dan modern pula alat-alat yang dipergunakan bagi keperluan hidupnya. Hal itu semua sangat mempengaruhi kepribadian manusia yang memiliki kebudayaan itu.

 

2.2.2    Kepribadian Big Five

  1. Feist dan G.J Feist (2009) menyatakan bahwa big five adalah salah satu kepribadian yang dapat baik memprediksi dan menjelaskan perilaku. Suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia dengan melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu dimensi “Big Five Personality”.

Dimensi Big Five pertama kali diperkenalkan oleh Goldberg pada tahun 1981. Dimensi ini tidak mencerminkan perspektif teoritis tertentu, tetapi merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam menjelaskan dirinya sendiri dan orang lain. Taksonomi Big Five bukan bertujuan untuk mengganti sistem yang terdahulu, melainkan sebagai penyatu karena dapat memberikan penjelasan sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava, 1999). Big Five disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari. Pendekatan ini disebut Goldberg sebagai Fundamental Lexical (Language) Hypothesis; perbedaan individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan satu istilah yang terdapat pada setiap bahasa (dalam Pervin, 2005). Big Five Personality atau yang juga disebut dengan Five Factor Model oleh Costa & McRae dibuat berdasarkan pendekatan yang lebih sederhana.

Di sini, peneliti berusaha menemukan unit dasar kepribadian dengan menganalisa kata-kata yang digunakan orang pada umumnya, yang tidak hanya dimengerti oleh para psikolog, namun juga orang biasa (Pervin, 2005).

2.2.3    Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa big five personality terdiri dari lima tipe atau faktor. Terdapat beberapa istilah untuk menjelaskan kelima faktor tersebut. Namun, di sini kita akan menyebutnya dengan istilah-istilah berikut:

1.Neuroticism (N)

  1. Extraversion (E)
  2. Openness to New Experience (O)
  3. Agreeableness (A)
  4. Conscientiousness (C)

Untuk lebih mudah mengingatnya, istilah-istilah tersebut di atas disingkat menjadi OCEAN (Pervin, 2005). Untuk lebih jelasnya, kelima faktor di atas akan dipaparkan pada Gambar 2.3.1 yang didapat dari hasil penelitian Costa dan McRae (1985;1992).

 

 

 

 

Karakteristik dengan skor tinggi Sifat Karakteristik dengan skor rendah
Kuatir, cemas, emosional, merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak beralasan. Neuroticism (N) Mengukur penyesuaian Vs ketidakstabilan emosi. Mengidentifikasi kecendrungan individu akan distress psikologi, ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan respon coping yang tidak sesuai. Tenang , santai, tidak emosional, tabah, nyaman, puas terhadap diri sendiri.
Mudah bergaul, aktif, talkative, person-oriented, optimis, menyenangkan, kasih sayang, bersahabat. Extraversion (E) Mengukur kuantitas dan intensitas interaksi intrapersonal, level aktivitas, kebutuhan akan stimulasi, kapasitas kesenangan. Tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri, task –oriented, pemalu, pendiam.
Rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif, original, imajinatif, tidak ketinggalan jaman. Openness (O) Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru, Senang mengetahui sesuatu yang tidak familiar. Openness (O) Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru, Senang seni, kurang analitis.
Berhati lembut, baik, suka menolong, dapat dipercaya, mudah memaafkan, mudah untuk dimanfaatkan, terus terang. Agreeableness (A) Mengukur kualitas orientasi interpersonal seseorang, mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan. Sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam, mudah marah, manipulatif.
Teratur, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, tekun. Conscientiousness (C) Mengukur tingkat keteraturan seseorang, ketahanan dan motivasi dalam mencapai tujuan. Berlawanan dengan ketergantungan, dan kecendrungan untuk menjadi malas dan lemah Tidak bertujuan, tidak dapat dipercaya, malas, kurang perhatian, lalai, sembrono, tidak disiplin, keinginan lemah, suka bersenang-senang

Gambar 2.3 2 Karakteristik sifat – sifat Five Factor Model

 

 

2.3       Hubungan Antar Kedua Variable

Adanya ciri kepribadian tertentu yang mendorong individu untuk memberikan pertolongan dalam beberapa jenis situasi dan tidak dalam situasi yang lain (Sears dkk, 1994: 61 dalam Dahriani, 2007: 38). Misalnya, individu yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial, lebih cenderung memberikan sumbangan bagi kepentingan amal, tetapi hanya bila orang lain menyaksikannya. Individu tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh pujian dari orang lain sehingga berperilaku lebih prososial hanya bila tindakan itu diperhatikan. Dengan menggunakan dasar teori kepribadian Big Five, peneliti dapat menyimpulkan domain trait mana yang dapat dikatakan sebagai pribadi altruistik. Karena seperti yang sudah dijelaskan diatas, teori Big Five yang paling tepat menggambarkan traits yang sering kali tampak dalam perilaku sehari – hari.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aronson, E., Wilson. T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6th edition). Singapore:

Pearson Prentice Hall.

Bierhoff, H. W. (2002). Prosocial behaviour. New York: Psychology Press.

Yahaya, Azizi. et. all.,. (2004). Psikologi sosial alam remaja. Ebook. Skudai Johor: University

Teknologi Malaysia. terdapat dalam http://books.google.com/books?id=iGF5nKOmpjUC&pg=PA219&dq=tingkah+laku+menolong&hl=en&ei=_X0cTb2UKsiIrAe9_Y3QCw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=4&sqi=2&ved=0CDEQ6AEwAw#v=onepage&q=tingkah%20laku%20menolong&f=true. Diakses tanggal 20 April 2015.

Sarwono, S. W. ( 2002 ). Psikologi sosial individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai

Pustaka

Beaumont & Stout. (2003). Five factor constellations and popular personality types. Psychology

106.

Pervin, A Lawrence dkk. (2005). Personality theory and research. New York: Jhon Wiley &

Sons, Inc