Fasya Nabilla – 1601267296

BAB I

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Self esteem (harga diri) merupakan penilaian individu tentang dirinya mencakup keberhargaan diri dan kompetensi diri. Menurut Branden (2005) self esteem adalah keyakinan dan kemampuan untuk bertindak dan menghadapi tantangan hidup ini, keyakinan dalam hak untuk bahagia, perasaan berharga, dan layak. Menurut Maslow, self esteem sebagai suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia. Kebutuhan akan self esteem oleh maslow dibagi menjadi dua bagian, yaitu : (1). Penghormatan atau penghargaan diri sendiri yang mencakup hasrat untuk memperoleh kompetensi, rasa percaya diri, kekuatan pribadi, edukasi, kemandirian dan kebebasan. Individu ingin mengetahui atau yakin bahwa dirinya berharga serta mampu mengatasi segala tantangan dalam hidupnya. (2). Penghargaan dari orang lain, antara lain prestasi. Dalam hal ini individu butuh penghargaan atas apa yang dilakukannya. Self esteem mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang dilingkungan sekitarnya. Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian orang lain terhadap dirinya sebagai orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga individu mempunyai self esteem (Burn,1993:46). Self esteem terbentuk melalui interaksi individu dengan lingkungan. Salah satunya lingkungan keluarga, jika lingkungan memberikan sesuatu yang menyenangkan, maka self esteem akan menjadi positif, tapi jika lingkungannya tidak menyenangkan maka self esteem akan menjadi negative, lebih lanjut dukungan orang tua, control orang tua, dan hubungan satu sama lain antara orang tua memberikan pengaruh langsung terhadap perkembangan self esteem remaja. Penelitian yang ada menunjukan bahwa self esteem berperan penting dalam kehidupan remaja. Individu yang memiliki self esteem rendah memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi ketika menghadapi ancaman/masalah dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki harga-diri tinggi. Kedua, orang-orang dengan harga diri yang rendah menganggap diri mereka sendiri sebagai   orang-orang yang kurang memiliki keterampilan yang baik untuk menangani suatu masalah. Akibatnya mereka kurang tertarik untuk mengambil langkah-langkah preventif dan memiliki kepercayaan fatalistik yang lebih banyak sehingga mereka menyakini bahwa mereka tidak dapat melakukan apapun juga untuk mencegah terjadinya masalah yang buruk dalam hidup mereka. Keyakinan mereka akan kemampuannya dalam memecahkan masalah rendah, sehingga mereka cenderung menarik diri atau lari dari masalah, bukan menghadapinya dengan bertanggung jawab.

DeSimone dkk (2005) menegaskan bahwa self esteem sangat berperan penting dalam mencegah remaja terlibat penyalahgunaan napza. Bush, dkk (2002). Mahasiswa adalah orang yang belajar diperguruan tinggi, secara administrasi mereka terdaftar sebagai murid diperguruan tinggi. Tetapi pengertian itu tidak hanya sebatas itu karena mahasiswa mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar terbatas secara administrasi. Mahasiswa adalah agen pembawa perubahan. Menjadi seorang mahasiswa itu merupakan suatu kebanggaan dan juga mempunyai tanggung jawab besar sebagai agen pembawa perubahan. Menjadi seorang mahasiswa akan memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Dijaman era globalisasi ini salah satu masalah yang berkembang dimasyarakat adalah penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika, Zat Adiktif lainnya).yang menjadi salah satu bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh berbagai masyarakat kalangan ekonomi atas maupun kalangan ekonomi menengah kebawah. Napza juga berkembang dengan cepat keseluruh latar belakang usia di Indonesia. Seperti salah satunya mahasiswa diseluruh penjuru Indonesia.

Napza adalah singkatan dari narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Napza (Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif Lain) adalah istilah kedokteran untuk sekelompok zat yang jika masuk ke dalam tubuh menyebabkan ketergantungan (adiktif) dan berpengaruh pada kerja otak (psikoaktif). Narkoba atau Napza adalah obat, bahan, dan zat bukan makanan, yang jika diminum, dihisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan berpengaruh pada kerja otak (susunan saraf pusat) dan sering menyebabkan ketergantungan. Akibatnya kerja otak berubah (meningkat atau menurun); demikian pula fungsi vital organ tubuh lain (jantung, pernafasan, dll.). Menurut pengungkapan yang dilakukan oleh Dirtipid Narkotika Mabes Polri peredaran ganja dan sabu mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini membuktikan adanya peralihan modus operandi atau tren penyalahgunaan narkotika. “Sepanjang periode 2013-2014 terjadi peningkatan dalam peredaran sebesar 105,71% untuk sabu dan 260,39 % ganja,” ujar Direktur Tipid Narkotika, Brigjen Anjan Pramuka Putra dalam rilis laporan pengungkapan narkotika di kantornya Jl MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur 2014 (news.detik.com). Beja (dalam Budiharto, 2005) memaparkan tentang penyebaran dan peredaran napza di DIY sebagai berikut : 1. Tahun 1999 jumlah perkara yang terungkap 67 kasus dengan julah tersangka 93 orang, 46 diantaranya adalah mahasiswa, 5 pelajar. 2. Tahun 2000 jumlah perkara yang terungkap 162 kasus dengan jumlah tersangka 191 orang, 72 diantaranya mahasiswa, 15 pelajar. 3. Tahun 2001 jumlah perkara yang terungkap 170 kasus dengan jumlah tersangka 199 orang, 50 diantaranya mahasiswa, 24 pelajar. 4. Tahun 2002 jumlah perkara yang terungkap 186 kasus dengan jumlah tersangka 208 orang, 92 diantaranya mahasiswa, 14 pelajar. 5. Tahun 2003 jumlah perkara yang terungkap 207 kasus dengan jumlah tersangka 245 orang, 118 diantaranya mahasiswa, 9 pelajar. 6. Bulan Januari s/d Maret 2004 jumlah perkara yang sudah terungkap sebanyak 48 kasus dengan jumlah tersangka 54 orang, 21 diantaranya mahasiswa/pelajar (Humanitas,2007).

Berdasarkan pengertian diatas dapat diasumsikan bahwa self esteem sangat mempengaruhi mahasiswa dalam penyalahgunaan napza, semakin rendahnya self esteem maka semakin besar kemungkinan seseorang menggunakan napza dan semakin tinggi self esteem maka kemungkinan seseorang menggunakan napzapun mengecil. Dari fenomena tersebut peneliti tertarik untuk membuat penelitian yang berjudul “perbedaan self esteem pada mahasiswa laki-laki dan perempuan yang menggunakan napza”

  • Pertanyaan Penelitian

Apakah terdapat perbedaan self esteem terhadap pengguna napza laki-laki dan perempuan?

  • Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan self esteem terhadap pengguna napza laki-laki dan perempuan.

  • Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan self esteem pada mahasiswa laki-laki dan perempuan yang menggunakan napza.

  • Manfaat Praktis
  1. Penelitian ini berguna untuk memecahkan masalah praktis. Bagi peneliti, diharapkan peneliti mendapatkan informasi mengenai perbedaan self esteem pada mahasiswa laki-laki dan perempuan yang menggunakan napza.
  2. Bagi subjek penelitian, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi mengenai perbedaan self esteempada mahasiswa laki-laki dan perempuan yang menggunakan napza.
  • Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya juga mengembangkan teori-teori yang telah ada. Serta bermanfaat juga bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Self Esteem

Variable independent (bebas) pada penelitian ini adalah self esteem.

Rosenberg (1965) mendefinisikan self-esteem sebagai perasaan penerimaan diri (self-acceptance), penghargaan diri (self-respect dan self-worth) dan evaluasi diri yang positif yang dikonseptualisasikan sebagai karakteristik yang relatif menetap. Baron dan Byrne (dalam Geldard, 2010) mengatakan bahwa self-esteem merupakan penilaian inidividu terhadap diri sendiri dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain dalam menjadi pembanding. Menurut Atwater dan Duffy (2002) self-esteem adalah evaluasi pribadi terhadap diri sendiri yang menghasilkan perasaan berharga yang terkait dengan konsep diri. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi self-esteem adalah suatu penilaian atau evaluasi individu terhadap dirinya sendiri yang relatif menetap, penerimaan pada diri yang diekpresikan melalui perilaku dan sikapnya terhadap diri sendiri serta meliputi berbagai karakteristik baik positif maupun negatif yang menghasilkan perasaan berharga.

Menurut Heatherton dan Polivy (1991) self-esteem, dapat dikonstruk menjadi komponen utama yakni :

  1. Performance self-esteem mengacu pada kompetensi umum seseorang meliputi kemampuan intelektual, performa hasil sekolah, kapasitas diri, percaya diri, self-efficacy dam self agency.
  2. Social self-esteem mengacu pada bagaimana seseorang mempercayai pandangan orang lain menurut mereka. Apabila orang lain terutama significant others menghargai mereka maka akan memiliki social self-esteem yang tinggi. Seseorang dengan social self-esteem yang rendah akan merasakan kecemasan ketika berada di publik dan akan sangat khawatir mengenai image mereka dan bagaimana orang lain memandang mereka.
  3. Physical (Appearance) self-esteem mengacu pada bagaimana seseorang melihat fisik mereka meliputi skills, penampilan menarik, body image dan juga stigma mengenai ras dan etnis.

Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem:

  1. Lingkungan Keluarga Tempat sosialisasi pertama adalah lingkungan keluarga. Perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis biasanya terdapat pada anak yang memiliki self-esteem yang tinggi (Monks, 2004).
  2. Lingkungan Sosial Lingkungan sosial dimana individu berada turut mempengaruhi pembentukan self-esteem. Individu mulai menyadari bahwa dirinya. Berharga sebagai individu dengan lingkungannya. Penilaian masyarakat terhadap individu akhirnya mempengaruhi konsep diri yakni self-esteem (Sriati, 2008). Hubungan dengan teman dan keluarga juga dapat mempengaruhi self-esteem. Selain itu, pernikahan dan hubungan yang saling mendukung juga mampu meningkatkan self-esteem (Orth, Robins, dan Trzesniewski, 2010). Kehilangan kasih sayang, penghinaan dan dijauhi teman akan menurunkan self-esteem. Sebaliknya pengalaman, keberhasilan, persahabatan dam kemasyhuran akan meningkatkan selfesteem. Hubungan dengan sesama anggota masyarakat dengan budaya, ras dan agama yang berbeda dapat turut mempengaruhi self-esteem. (Monks, 2004).
  3. Faktor Psikologis Penerimaan diri akan mengarahkan individu untuk mampu menentukan arah dirinya pada saat mulai memasuki hidup bermasyarakat sebagai anggota masyarakat yang sudah dewasa. (Monks, 2004).
  4. Demografis (Gender, Usia dan Etnis) Perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan yang terkait dengan pola pikir, cara berpikir serta cara bertindak (Monks, 2004). Hal ini paling banyak terjadi pada usia remaja dan dewasa sedangkan tidak berpengaruh besar pada usia tua. Etnik juga berpengaruh terhadap self-esteem (Orth, Robins, dan Trzesniewski, 2010).
  5. Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi yang meliputi tingkat pendidikan, pendapatan, dan gengsi pekerjaan. Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi self-esteem karena status dan kekayaan dapat mempengaruhi persepsi seseorang tentang nilai dirinya (Orth, Robins, dan Trzesniewski, 2010).

2.2 NAPZA

NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan (BNN, 2004). NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi (Kemenkes RI, 2010).

NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok.

  1. Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari “cengkraman”-nya. Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III. a. Narkotika golongan I adalah : narkotika yang paling berbahaya. Daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain. b. Narkotika golongan II adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain. c. Narkotika golongan III adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein dan turunannya. 2. Psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa (psyche).

Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997, psikotropika dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu :

  1. Golongan I adalah : psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya. Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.
  2. Golongan II adalah : psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan sebagainya.
  3. Golongan III adalah : psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam, dan sebagainya.
  4. Golongan IV adalah : psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah nitrazepam (BK, mogadon, dumolid), diazepam, dan lain-lain. 3 bahan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya :
  5. Rokok
  6. Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan.
  7. Thinner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin, yang bila dihisap, dihirup, dan dicium, dapat memabukkan. Jadi, alkohol, rokok, serta zat-zat lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan juga tergolong NAPZA (Partodiharjo, 2008).

Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya “enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai secara salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat. Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasa ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik ( Sumiati, 2009). Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu (Sumiati, 2009):

  1. Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau menghentikan penggunaan NAPZA tertentu yang biasa ia gunakan, ia akan mengalami gejala putus zat. Selain ditandai dengan gejala putus zat, ketergantungan fisik juga dapat ditandai dengan adanya toleransi.
  2. Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan NAPZA tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang sangat kuat untuk menggunakan NAPZA tersebut walaupun ia tidak mengalami gejala fisik.

Ada beberapa tahapan pemakaian NAPZA yaitu sebagai berikut :

  1. Tahap pemakaian coba-coba (eksperimental) Karena pengaruh kelompok sebaya sangat besar, remaja ingin tahu atau coba-coba. Biasanya mencoba mengisap rokok, ganja, atau minum-minuman beralkohol. Jarang yang langsung mencoba memakai putaw atau minum pil ekstasi.
  2. Tahap pemakaian sosial Tahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan (saat berkumpul atau pada acara tertentu), ingin diakui/diterima kelompoknya. Mula-mula NAPZA diperoleh secara gratis atau dibeli dengan murah. Ia belum secara aktif mencari NAPZA.
  3. Tahap pemakaian situasional Tahap pemakaian karena situasi tertentu, misalnya kesepian atau stres. Pemakaian NAPZA sebagai cara mengatasi masalah. Pada tahap ini pemakai berusaha memperoleh NAPZA secara aktif.
  4. Tahap habituasi (kebiasaan) Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap pemakaian teratur (sering), disebut juga penyalahgunaan NAPZA, terjadi perubahan pada faal tubuh dan gaya hidup. Teman lama berganti dengan teman pecandu. Ia menjadi sensitif, mudah tersinggung, pemarah, dan sulit tidur atau berkonsentrasi, sebab narkoba mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-citanya semula hilang. Ia sering membolos dan prestasi sekolahnya merosot. Ia lebih suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.
  5. Tahap ketergantungan Ia berusaha agar selalu memperoleh NAPZA dengan berbagai cara. Berbohong, menipu, atau mencuri menjadi kebiasaannya. Ia sudah tidak dapat mengendalikan penggunaannya. NAPZA telah menjadi pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga dan teman-teman rusak. Pada ketergantungan, tubuh memerlukan sejumlah takaran zat yang dipakai, agar ia dapat berfungsi normal. Selama pasokan NAPZA cukup, ia tampak sehat, meskipun sebenarnya sakit. Akan tetapi, jika pemakaiannya dikurangi atau dihentikan, timbul gejala sakit. Hal ini disebut gejala putus zat (sakaw). Gejalanya bergantung pada jenis zat yang digunakan. Orang pun mencoba mencampur berbagai jenis NAPZA agar dapat merasakan pengaruh zat yang diinginkan, dengan risiko meningkatnya kerusakan organ-organ tubuh. Gejala lain ketergantungan adalah toleransi, suatu keadaan di mana jumlah NAPZA yang dikonsumsi tidak lagi cukup untuk menghasilkan pengaruh yang sama seperti yang dialami sebelumnya. Oleh karena itu, jumlah yang diperlukan meningkat. Jika jumlah NAPZA yang dipakai berlebihan (overdosis), dapat terjadi kematian (Harlina, 2008).

2.3 Mahasiswa

Menurut Sarwono (1978) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun. Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat yang sering kali syarat dengan berbagai predikat. Pengertian Mahasiswa menurut Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) adalah merupakan insane-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannyadengan perguruan tinggi ( yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan di harapkan menjadi calon-calon intelektual. Mahasiswa dapat dikatakan sebagai remaja yang sedang bertransisi menuju tahap dewasa muda. Masa dewasa muda dimulai sekitar usia 18-22 tahun dan berakhir pada usia 35 sampai 40 tahun (Lemme, 1995). Lebih lanjut Lemme menjelaskan bahwa masa dewasa adalah masa yang ditandai dengan adanya ketidaktergantungan financial dan orang tua serta adanya rasa tanggung jawab terhadap tindakan tindakan yang dilakukan. Sejalan dengan yang dikatakan Lemme, Hurlock (dalam Lemme, 1995) menegaskan kembali mengenai tanggung jawab tersebut, bahwa individu dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. Pada usia dewasa muda ini, orang telah memiliki pekerjaan yang stabil, keluarga, dan hubungan percintaan, dikarakteristikan dengan pencapaian prestasi puncak dan memiliki kontrol akan diri sendiri dan lingkungannya (Erickson & Levinson dalam Orth, Robins, dan Trzesniewski, 2010 ). Selama tugasnya ini, individu meningkatkan posisi pekerjaan dalam status dan kekuasaan, di mana hal ini dapat meningkatkan self-esteem. Menurut Crocker dan Wolfe (Dannefer, 1984 dalam Orth, Robins, dan Trzesniewski, 2010), self esteem yang positif akan didapat apabila individu mampu melihat dan mengenal dirinya sendiri pada masa perkembangan, dari pada adanya penghargaan dari luar dirinya. Jika seseorang mempunyai self esteem yang negatif maka dapat berdampak ke penyalahgunaan napza.

2.4 Hipotesis

Penelitian yang ada menunjukkan bahwa harga diri berperan penting dalam kehidupan remaja. DeSimone dkk (2005) menegaskan bahwa harga diri sangat berperan penting dalam mencegah remaja terlibat penyalahgunaan napza. Bush, dkk (2002) Menurut Rosen dkk (1982) kesulitan ini terjadi karena adanya dua jenis persepsi-diri negatif dasar yaitu pertama, orang-orang dengan harga diri rendah memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi ketika menghadapi ancaman/masalah dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki harga-diri tinggi. Kedua, orang-orang dengan harga diri yang rendah menganggap diri mereka sendiri sebagai   orang-orang yang kurang memiliki keterampilan yang adekuat/baik untuk menangani suatu masalah. Akibatnya mereka kurang tertarik untuk mengambil langkahlangkah preventif dan memiliki kepercayaan fatalistik yang lebih banyak sehingga mereka menyakini bahwa mereka tidak dapat melakukan apapun juga untuk mencegah terjadinya masalah yang buruk dalam hidup mereka. Keyakinan mereka akan kemampuannya dalam memecahkan masalah rendah, sehingga mereka cenderung menarik diri atau lari dari masalah, bukan menghadapinya dengan bertanggungjawab. Kebutuhan berprestasi merupakan salah satu motif yang berperan penting pada remaja. Kebutuhan berprestasi yang tinggi akan mendorong remaja untuk berfokus pada pencapaian prestasi. Remaja yang memiliki motivasi berprestasi tinggi ketika menghadapi masalah akan melakukan tindakan-tindakan yang positif untuk memecahkan masalahnya. Mereka cenderung memilih cara-cara konstruktif dan menghindari kompensasi negatif ketika menghadapi suatu masalah (Wenar & Kering, 2000). Remaja juga mudah sekali dipengaruhi oleh kelompok-sebayanya. Hal ini dikarenakan remaja ingin diterima oleh lingkungan sebayanya. Apalagi masa remaja merupakan masa dimana orientasi sosialnya banyak terpusat di lingkungan sebayanya. Mereka ingin diakui oleh lingkungan sebayanya dan memiliki pengaruh dikalangan sebayanya. Untuk bisa diterima oleh lingkungannya remaja kemudian melakukan apa yang dianggap hebat oleh lingkungan sebayanya. Pengaruh negatif kelompok sebaya ini bisa menjerumuskan remaja pada penyalahgunaan napza. Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa harga diri merupakan faktor yang memperkuat individu untuk tergoda dalam penyalahgunaan napza. Mengapa harga-diri yang rendah akan menimbulkan dampak negatif bagi remaja. Menurut Rosen dkk (1982) dampak negatif dari harga diri yang rendah ini terjadi karena adanya dua jenis persepsi-diri negatif dasar yaitu pertama, remaja dengan harga diri rendah memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi ketika menghadapi ancaman/masalah dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki harga-diri tinggi. Kedua, orang-orang dengan harga diri yang rendah menganggap diri mereka sendiri sebagai   orang-orang yang kurang memiliki keterampilan yang adekuat/baik untuk menangani suatu masalah. Akibatnya mereka kurang tertarik untuk mengambil langkah-langkah preventif dan memiliki kepercayaan fatalistik yang lebih banyak sehingga mereka   menyakini bahwa mereka tidak dapat melakukan apapun juga untuk mencegah terjadinya masalah yang buruk dalam hidup mereka. Keyakinan mereka akan kemampuannya dalam memecahkan masalah rendah, sehingga mereka cenderung menarik diri atau lari dari masalah, bukan menghadapinya dengan bertanggung jawab.