ANNISA CHIKA – 1601285216

ANNISAC

1. Latar Belakang

 

Akhir – akhir ini masyarakat dikejutkan dengan maraknya peristiwa yang tidak bermoral yang dilakukan oleh anak – anak. Anak tidak lagi menjadi korban melainkan menjadi pelaku peristiwa tidak bermoral tersebut.

 

“Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat sebanyak 2.008 kasus kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah terjadi di sepanjang kuartal pertama 2012. Jumlah itu meliputi berbagai jenis kejahatan seperti pencurian, tawuran, dan pelecehan seksual yang dilakukan siswa SD hingga SMA. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait mengatakan, angka kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah cenderung meningkat setiap tahunnya. Dari data yang diperoleh Komnas PA, pada 2010 terjadi 2.413 kasus kriminal anak usia sekolah. Jumlah itu kemudian meningkat di 2011, yakni sebanyak 2.508 kasus.” (Afrianti & Ruqoyah, 2012)

 

Kasus diatas merupakan salah satu contoh dari perilaku anak sekarang ini. Anak tidak segan lagi untuk menyakiti fisik maupun perasaan orang lain. Masa kanak – kanak seharusnya dimanfaatkan untuk belajar mengenal lingkungannya, bagaimana mekanismenya, bagaimana perasannya dan bagaimana ia dapat menjadi bagian dari lingkungan. Tetapi pada kenyatannya, anak cenderung memperlihatkan perilaku yang kurang bermoral. Masalah ini sudah menjadi pembahasan di media cetak maupun elektronik sejak lama, dan jumlah kasusnya pun terus meningkat setiap tahunnya.

Borba (2001) Mendefinisikan kecerdasan moral yaitu kemampuan untuk memahami benar dan salah dan pendirian yang kuat untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilai moral, yang meliputi tujuh aspek yaitu 1. Empati, 2. Nurani, 3. Kontrol diri, 4. Rasa hormat, 5. Baik budi, 6. Toleran dan 7. Adil.

Piaget (1932) dalam Santrock (2002) menjelaskan bahwa pemahaman anak mengenai moral sudah muncul sejak usia 4 tahun. Kecerdasan moral dibangun sejak dini dengan bantuan keluarga terutama orang tua. Orang tua memberi pengaruh langsung pada anak untuk memberikan contoh serta membimbing dan menjelaskan nilai atau aturan moral yang berlaku di masyarakat.

Menurut Ainsworth dalam Belsky (1988) dalam Ervika (2005) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh ditahun-tahun awal kehidupannya. Intinya adalah kepekaan ibu dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan bayi, sesegera mungkin atau menunda, respon yang diberikan tepat atau tidak.

Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney & Dearing, 2002 dalam Eliasa, 2011). Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe, 2002 dalam Ervika, 2005). Kelekatan bukanlah ikatan yang terjadi secara alamiah. Ada serangkaian proses yang harus dilalui untuk membentuk kelekatan tersebut.

Menurut Jacobson dan Hoffman (1997) dalam Papalia, Olds & Feldman (2009), bila anak mendapatkan dasar aman dan dapat mempercayai respon orang tua, mereka akan merasa cukup percaya diri untuk melibatkan diri dari dunia mereka secara aktif. Anak dengan kelekatan tidak aman cenderung akan menunjukan emosi negative (rasa takut, distress, dan marah), sementara anak dengan kelekatan aman terlihat lebih ceria (Koshanska, 2002 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Antara usia 3 dan 5 tahun, anak dengan kelekatan aman akan tumbuh lebih ingin tahu, kompeten, empati, ulet dan percaya diri, lebih akur dengan anak lain, dna menjalin persahabatan yang erat dibandingkan anak dengan kelekatan tidak aman (Arend, Gove, Sroufe, Youngblade, Belsky, 1979 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Mereka berinteraksi lebih positif dengan orang tua, guru, dan teman sebaya, serta lebih mampu menyelesaikan konflik (Elicker, Verschueren, Marcoen, Schoefs, 1996 dalam Papalia, Olds, Feldmen, 2009).

Berdasarkan uraian diatas, kelekatan (attachment) antara orang tua dan anak memberi dampak yang cukup signifikan pada perilaku anak di masa depan. Jika anak memiliki kelekatan yang baik atau secure attachment dengan orang tuanya, maka diyakini anak tersebut akan berkembang lebih optimal dan memiliki perilaku yang positf. Hal tersebut memungkinkan adanya hubungan antara kelekatan orangtua-anak dengan kecerdasan moral, yang pada akhirnya penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk membuktikan hipotesa tersebut dengan judul “hubungan kelekatan orangtua-anak terhadap kecerdasan moral anak”.

 

2. Definisi Terminologi

2.1.1 Definisi Kelekatan (Attachment)

 

Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertamakalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby, kemudian dilengkapi oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969 (Eliasa, 2011). Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney & Dearing, 2002 dalam Eliasa, 2011)

Bowlby (1958)menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu (Eliasa, 2011)

Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut kelekatan. Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan adalah hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan figure lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth, 1978 dalam Ervika, 2005).

Menurut Maccoby (1980) dalam Ervika (2005) seorang anak dapat dikatakan lekat pada orang lain jika memiliki ciri-ciri antara lain:

  1. Mempunyai kelekatan fisik dengan seseorang
  2. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat
  3. Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali
  4. Orientasinya tetap pada figur lekat walaupun tidak melakukan interaksi. Anak memperhatikan gerakan, mendengarkan suara dan sebisa mungkin berusaha mencari perhatian figur lekatnya.

 

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kelekatan adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal balik, bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.

2.1.2 Pola Kelakatan (Attachment)

 

Bowlby (1988) dalam Yessy dalam Hermasanti (2009) terdapat tiga pola kelekatan, yaitu pola secure attachment (aman), anxious resistant attachment (cemas ambivalen), dan anxious avoidant attachment (cemas menghindar).

 

  1. Pola kelekatan aman (secure attachment) adalah pola yang terbentuk dari interaksi 
orang tua dengan anak. Anak merasa percaya terhadap orang tua sebagai figur yang selalu mendampingi, sensitif, dan responsif, penuh cinta serta kasih sayang saat mereka mencari perlindungan dan kenyamanan, dan selalu membantu atau menolongnya dalam menghadapi situasi yang menakutkan dan mengancam. Anak yang mempunyai pola ini percaya adanya responsivitasdan kesediaan orang tua bagi dirinya.

 

  1. Pola cemas ambivalen (anxious resistant attachment) adalah pola yang terbentuk dari 
interaksi orang tua dengan anak. Anak merasa tidak yakin bahwa orang tuanya selalu ada dan cepat membantu saat anak membutuhkannya. Akibatnya, anak mudah mengalami kecemasan untuk berpisah, cenderung bergantung, menuntut perhatian, dan cemas ketika bereksplorasi dalam lingkungan. Pada pola ini, anak mengalami ketidakpastian sebagai akibat dari orang tua yang tidak selalu membantu pada setiap kesempatan dan juga adanya keterpisahan.

 

  1. Pola anxious avoidant attachment (cemas menghindar)
Pola anxious avoidant attachment adalah pola yang terbentuk dari 
orang tua dengan anak. Anak tidak memiliki kepercayaan diri karena saat mencari kasih sayang, anak tidak direspons atau bahkan ditolak. Pada pola ini, konflik lebih tersembunyi sebagai hasil dari perilaku orang 
tua yang secara konstan menolaknya ketika anak mendekat untuk mencari kenyamanan atau perlindungan.

 

 

 

 

2.1.3 Faktor Kelekatan (Attachment)

 

Kelekatan tidak muncul secara tiba-tiba, ada faktor- faktor yang menjadi penyebab munculnya kelekatan. Ainsworth (1973) dalam Feeny & Noller (1996)mengembangkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kelekatan, yaitu individual experience, genetic consitution, dan culture influence.

 

  1. Individual Experience

Kulitas kelekatan antara orang tua – anak bergantung pada perilaku caregiver atau pengasuhnya. Gaya kelekatan berhubungan dengan berbagai indeks kualitas kepedulian. Indeks kualitas kepedulian yang dimaksud seperti responsivitas saat menangis, waktu pemberian makanan, sensitivitas, psychological accessibility, kerjasama, dan penerimaan.

 

  1. Genetic Constitution

Perbedaan individu berdasarkan kualitas kelekatan berasal dari perbedaan karakteristik anak disamping adanya pengaruh dari perilaku caregiver atau pengasuh.

 

  1. Cultural Influences

Berdasarkan penelitian, gaya kelekatan pada delapan negara menunjukan perbedaan yang cukup signifikan.

2.2 Kecerdasan Moral

2.2.1 Definisi Kecerdasan Moral

 

Kecerdasan moral didefinisikan oleh Borba (2001) sebagai kemampuan untuk memahami benar dan salah dan pendirian yang kuat untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilai moral.

 

2.2.2 Aspek Perkembangan Kecerdasan Moral

 

Borba (2001) menjabarkan kecerdasan moral anak dalam tujuh aspek. Ketujuh aspek tersebut yaitu :

  1. Empati (emphaty) 
Anak yang memiliki empati cenderung sensitif, menunjukkan kepekaan pada kebutuhan dan perasaan orang lain, membaca isyarat nonverbal orang lain dengan tepat dan bereaksi dengan tepat, menunjukkan pengertian atas perasaan orang lain, berperilaku menunjukkan kepedulian ketika seseorang diperlakukan tidak adil, menunjukkan kemampuan untuk memahami sudut pandang orang lain, mampu mengidentifikasi secara verbal perasaan orang lain.

 

  1. Nurani (conscience)
Anak yang memiliki tingkat nurani tinggi cenderung berani mengakui kesalahan dan mengucapkan kata maaf, mampu mengidentifikasi kesalahannya dalam berperilaku, jujur dan dapat dipercaya, jarang membutuhkan teguran atau peringatan dari seseorang yang berwenang untuk berperilaku benar, mengakui konsekuensi atas perilakunya yang tidak patut/salah, tidak melimpahkan kesalahan pada orang lain.

 

  1. Kontrol diri (self-control)
Anak dengan kontrol diri cenderung menunggu giliran dan jarang memaksakan pendapatnya atau menyela; mampu mengatur impuls dan dorongan tanpa bantuan orang dewasa; mudah kembali tenang ketika frustrasi/kecewa atau marah; menahan diri dari agresi fisik; jarang membutuhkan peringatan, bujukan, atau teguran untuk bertindak benar.

 

  1. Rasa Hormat (respect)
Anak dengan rasa hormat cenderung memperlakukan orang lain dengan penuh penghargaan meskipun berbeda, menggunakan nada bicara yang sopan dan menahan diri untuk tidak membicarakan teman/orang lain di belakang dan perilaku lancang, memperlakukan diri dengan penuh penghargaan, menghargai privasi orang lain.

 

  1. Baik budi (kindness)
Anak dengan karakter kindness yang kuat cenderung mengucapkan komentar yang baik yang mampu membangun semangat pada orang lain tanpa bujukan, sungguh-sungguh peduli ketika orang lain diperlakukan tidak adil, memperlakukan binatang dengan lembut; berbagi, membantu, dan menghibur orang lain tanpa mengharapkan imbalan, menolak untuk menjadi bagian dari orang-orang yang mengintimidasi dan mengejek orang lain, selalu menunjukkan kebaikan hati dan perhatian pada orang lain dengan contoh dari orangtua/guru berikan.

 

  1. Toleran (tolerance)
Anak yang toleran cenderung menunjukkan toleran pada orang lain tanpa menghiraukan perbedaan; menunjukkan penghargaan pada orang dewasa dan figur yang memiliki wewenang; terbuka untuk mengenal orang dari berbagai latar belakang dan keyakinan yang berbeda dengannya; menyuarakan perasaan tidak senang dan kepedulian atas seseorang yang dihina; mengulurkan tangan pada anak lain yang lemah, tidak membolehkan adanya kecurangan; menahan diri untuk memberikan komentar yang akan melukai hati kelompok atau anak lain; fokus pada karakter positif yang ada pada orang lain meskipun ada perbedaan di antara mereka; menahan diri untuk tidak menilai orang lain.

 

  1. Adil (fairness)
Anak yang memiliki sense of fairness yang kuat : sangat senang atas kesempatan yang diberikan untuk berbuat membantu orang lain, tidak menyalahkan orang lain dengan semena-mena, rela berkompromi untuk memenuhi kebutuhan orang lain, berpikiran terbuka, berlaku sportif dalam pertandingan olahraga, menyelesaikan masalah dengan cara damai dan adil, bermain sesuai aturan; mau mengakui hak orang lain yang dapat menjamin bahwa mereka patut diperlakukan dengan sama dan adil.
Berdasarkan paparan di atas, disimpulkan bahwa pendapat Borba mengenai aspek perkembangan kecerdasan moral anak lebih tepat digunakan untuk mengetahui sejauh mana kapasitas anak berpikir dan berperilaku moral. Sesuai dengan yang dikemukakan Borba, perkembangan kecerdasan moral anak meliputi beberapa aspek kebajikan yaitu empati, nurani, kontrol diri, respek, baik budi, toleran dan adil.

 

2.2.3 Faktor Kecerdasan Moral

 

Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Moral Anak (Berns, 2007 dalam Pranoto, 2009) berpendapat bahwa ada tiga keadaan yang berpengaruh terhadap perkembangan moral seseorang, yaitu: situasi, individu, dan sosial. Tiga keadaan tersebut yaitu:

 

  1. Konteks situasi

Konteks situasi meliputi sifat hubungan antara individu dan yang terkait dengan apakah ada orang lain yang melihatnya, pengalaman yang sama sebelumnya, dan nilai sosial atau norma di masyarakat tempat tinggal (Berns, 2007 dalam Pranoto, 2009)

 

  1. Konteks individu
  2. Temperamen

Perkembangan moral mungkin dipengaruhi oleh temperamen individu, karakteristik bawaan seseorang sensitif terhadap berbagai pengalaman dan kemampuan bereaksi pada variasi interaksi sosial.

 

  1. Kontrol diri

Perkembangan moral mungkin juga dipengaruhi oleh kontrol diri, yaitu kemampuan untuk mengatur dorongan, perilaku, dan emosi.

 

  1. Harga diri (self-esteem)

Pada anak, harga diri belum berkembang secara sempurna. Konsep yang lebih tepat untuk menggambarkannya adalah self-worth. Pada anak usia prasekolah, nilai diri anak belum dapat didasarkan pada penghargaan realistik. Anak mampu membuat penilaian atas kompetensinya namun belum mampu memilah nilai pentingnya (Harter, 1999 dalam Papalia dkk, 2003).

 

  1. Umur dan kecerdasan

Penalaran moral berkaitan secara signifikan dengan usia dan IQ (Kohlberg dkk, dalam Berns, 2007). Semakin bertambah usia anak maka penalaran moral anak pun berkembang 
sesuai dengan tahapannya. Seiring dengan berubahnya kemampuan anak dalam menangkap dan mengerti, anak-anak bergerak ke tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi. Penelitian oleh Wellman, Larkey dan Somerville (1979) menunjukkan bahwa pada anak usia 5 tahun lebih mampu memahami kriteria moral dan memberikan moral judgment yang lebih tepat dibandingkan anak usia 3 dan 4 tahun meskipun pada anak usia 3-4 tahun sudah menunjukkan kesadaran atas kriteria moral.

 

  1. Pendidikan

Melalui pendidikan anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan pemikiran kritis yang dimiliki anak. Pemikiran kritis dapat dibangun melalui kebiasaan berdiskusi untuk meningkatkan perkembangan penalaran moral. Anak yang dibiasakan dan diberi kesempatan untuk berdialog dapat membantu meningkatkan kapasitas moral.

 

  1. Interaksi sosial

Beberapa penelitian percaya bahwa moral berkembang karena interaksi sosial, misalnya karena diskusi atau dialog (Walker, Taylor, Younis dalam Berns, 2007). Interaksi anak dengan orang lain memungkinkan adanya komunikasi yang terbuka dan dialog, anak memiliki kesempatan mengutarakan pandangan-pandangannya, 7) Emosi; Menurut Jerome Kagan dalam Berns (2007) pada sebagian besar orang, moral lebih berkaitan dengan emosi daripada penalaran atau pikiran. Individu termotivasi untuk berperilaku moral ketika kondisi emosinya diwarnai perasaan yang menyenangkan dibanding perasaan yang tidak menyenangkan.

 

  1. Konteks sosial
  2. Keluarga

Borba (2001) berpendapat bahwa untuk membangun budaya moral harus dimulai dari rumah. Moralitas dibangun atas dasar cinta, kasih sayang dari orangtua baik ayah kepada anak maupun ibu kepada anak. Lebih lanjut, Pratt dkk dalam Noe (2008) menyatakan bahwa orangtua yang responsif akan meningkatkan kematangan penalaran moral anak.

 

  1. Teman sebaya

Anak yang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kelompok teman sebaya dapat lebih mengembangkan penalaran dan perilaku moral.

 

  1. Sekolah

Sekolah mempengaruhi perkembangan moral melalui program pembelajaran dan para stafnya (Kohlberg, Sadker dalam Berns 2007).

 

  1. Media massa

Hasil penelitian tentang pengaruh televisi dan pertimbangan moral pada anak menunjukkan bahwa anak yang banyak menghabiskan waktunya untuk menonton televisi menunjukkan level penalaran moral yang lebih rendah (Rosenkoetter dkk, 1999 dalam Berns, 2007). Anak melakukan identifikasi melalui model dalam televisi, anak menerima sikap dan perilaku tokoh dalam televisi dan pada akhirnya anak meniru.

 

  1. Masyarakat

Beberapa ahli percaya bahwa perkembangan moral dipengaruhi oleh ideologi budaya dalam masyarakatnya. Anak belajar budi pekerti melalui proses yang alami di dalam keluarga yang tentunya diwarnai oleh nilai-nilai filosofis budaya yang diyakini oleh keluarga.

 

3. Relasi antar variable

ANNISAC2

Kecerdasan moral menurut pendapat Borba (2001) yaitu kemampuan anak untuk memahami benar dan salah dan pendirian yang kuat untuk merasakan, berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilai moral yang didasarkan atas ketaatan akan aturan dan hukuman dari orang dewasa, yang meliputi tujuh aspek moral yaitu 1. Empati, 2. Nurani, 3. Kontrol diri, 4. Rasa hormat, 5. Baik budi, 6. Toleran, 7. Adil.

Pranoto (2009) berpendapat bahwa perkembangan moral merupakan suatu proses yang terus menerus berkelanjutan sepanjang hidup. Meningkatnya kapasitas moral anak dan didukung dengan lingkungan yang kondusif, sehingga anak berpotensi menguasai moralitas yang lebih tinggi (Pranoto, 2009). Menurut Borba (2001) Ketika anak berhasil menguasai satu kebajikan, kecerdasan moralnya semakin meningkat dan anak mencapai tingkat kecerdasan moral yang lebih tinggi.

Mulyadi (1997) dalam Azhar dan Putri (2009) mengemukakan bahwa anak-anak sebagai generasi yang unggul pada dasarnya tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka memerlukan lingkungan yang subur yang sengaja diciptakan untuk itu sehingga dapat mengarahkan dan membimbing mereka agar dapat tumbuh dan berkembang kepribadiannya secara wajar, yang juga nantinya akan memungkinkan potensi mereka dapat tumbuh dengan optimal (Azhar & Putri, 2009).

Salah satu faktor yang mempengaruhi kecerdasan moral anak adalah faktor sosial, dimana didalamnya terdapat peran keluarga. Menurut Borba (2001) Lingkungan keluarga terutama orangtua adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh seorang anak, sehingga dengan demikian para orangtua memegang peranan penting untuk menciptakan lingkungan tersebut guna merangsang segenap potensi anak agar dapat berkembang secara maksimal. Suasana penuh kasih sayang, mau menerima anak sebagaimana adanya, menghargai potensi anak, memberi rangsangan yang kaya untuk segala aspek perkembangan anak, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik, semua itu merupakan jawaban nyata bagi tumbuhnya generasi unggul di masa yang akan datang (Borba, 2001 dalam Azhar & Putri, 2009).

Relasi yang dimiliki oleh orang tua dan anak mengacu pada kelekatan. Mc Cartney dan Dearing (2002) dalam Eliasa (2011) mendefinisikan kelekatan sebagai suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua. Jadi kelekatan merupakan salah satu unsur penting dalam membangun lingkungan yang kondusif dan menunjang bagi tumbuh kembang anak.

Monks (2004) dalam Hermasanti (2009) mengungkapkan, bahwa kelekatan individu dengan figur lekat menjadi awal kemampuan individu dalam kemampuan sosial dan menjadi dasar perkembangan individu pada setiap masa pertumbuhan. Gordon dalam Saarni (1999) dalam Hermasanti (2009) menyatakan bahwa bagaimana corak perilaku individu kelak sangat dipengaruhi oleh bagaimana kelekatan yang terjadi antara orang tua dan individu tersebut. Pengalaman kelekatan menjadi sumber informasi untuk belajar mengenai individu itu sendiri Hermasanti (2009). Hal ini menunjukan bahwa pola kelekatan antara orang tua dan anak memberikan kontribusi terhadap proses terbentuknya kecerdasan moral pada anak.

 

4. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas, dugaan sementara pada penelitian ini adalah, adanya hubungan antara kelekatan orangtua-anak terhadap kecerdasan moral anak.

 

 

Daftar Pustaka

Afrianti, D. & Ruqoyah, S. (2012, Mei 11) 2.008Kasus Kriminal Dilakukan Anak-anak. http://metro.news.viva.co.id/news/read/312779-2-008-kasus-kriminal-dilakukan-anak-anak. Diunduh pada 27 April 2015.

 

Azhar, M. H & Putri, D. E. (2009). Kecerdasan Moral Pada Anak Yang Mengalami Deviasi Mothering. Jurnal Psikologi. Volume 2, No. 2. 97-99

 

Borba, M. (2001) The Step-By-Step Plan to Building Moral Intelligence.

http://micheleborba.com/Pages/7virtues.htm

 

Dewi, A. A. A & Valentina, T. D. (2013). Hubungan Kelekatan Orangtua-Remaja dengan Kemandirian pada Remaja di Smkn 1 Denpasar. Jurnal Psikologi. Volume. 1, No. 1, 181-184.

 

Ervika, E. (2005) Kelekatan (Attachment) Pada Anak. Skripsi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Eliasa, E. I. (2011) Pentingnya Kelekatakan Orang Tua Dalam Internal Working Model Untuk Pembentukan Karaktr Anak. Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Feeney, J., Noller, P. (1996). Adult Attachment. USA. Sage Publicaton

Hermasanti,W. K (2009) Hubungan Antara Pola Kelekatan Dengan Kecerdasan Emosi Pada Remaja Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Karanganyar. Skripsi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Papilia, D.E, Olds. S.W & Feldman, R.D. (2009). Human Development (10th ed) B. Marswendy (Trans). Jakarta. Salemba Humanika.

Pranoto, Y. K. S. (2009) Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah. Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

Santrock, J. W. (2002) Life – span development : perkembangan masa hidup jilid 1. Jakarta. Erlangga.