HUBUNGAN TINGKAT KONFORMITAS DENGAN PERILAKU SHOPPING ADDICTION PADA REMAJA PEREMPUAN
HUBUNGAN TINGKAT KONFORMITAS DENGAN PERILAKU SHOPPING ADDICTION PADA REMAJA PEREMPUAN
Disusun oleh:
Erzania F.M.Zahir
1601277952
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Setiap individu baik pria maupun perempuan sebelum memasuki masa dewasa, mereka pasti melalui masa remaja terdahulu. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Para ahli pendidikan sependapat bahwa masa remaja adalah mereka yang berusia 13-22 tahun. Seorang remaja sudah tidak dikatakan lagi anak-anak, namun masih belum cukup matang untuk dikatakan dewasa. Dalam masa remaja, sekalipun remaja sudah dapat berpikir secara abstrak dan logis, mereka tetap terpengaruh oleh faktor eksternal seperti tekanan dari kelompok yang bisa mempengaruhi sikapnya. Faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi adalah lingkungan, media sosial, dan lain-lain yang berasal dari luar dirinya. Dampak dari pengaruh eksternal ini dapat mempengaruhi gaya hidup nya (lifestyle) sendiri, remaja dipengaruhi oleh faktor eksternal untuk memilih memanfaatkan waktu dan uang yang dimilki nya.
Dikalangan remaja, perempuan lebih banyak terpengaruh dengan hal-hal seperti ini karena mereka lebih memiliki perasaan sensitif, emosi yang labil, dan tingkat konformitas yang tinggi sehingga mereka dapat membentuk pola gaya hidup yang baru. Mereka sedang mencari gaya pola hidup yang paling sesuai baginya dan inipun dilakukan melalui metode coba-coba walaupun melalui banyak kesalahan. Para remaja khususnya remaja perempuan dikisaran usia 17-22 tahun sangat rawan sekali dalam gaya hidupnya terutama yang mengarah pada gaya hidup bebas, hal ini dikarenakan sifat mereka yang rasa keingintahuannya masih sangat tinggi terhadap hal-hal yang belum mereka ketahui ( Ridwan, 2009).
Pada masa tersebut, remaja perempuan sedang berada pada tahap pencarian identitas sehingga mereka biasanya menciptakan sesuatu yang berbeda, baik dari sisi pakaian, gaya rambut, cara berdandan, maupun tingkah laku ( Ahmad 2010). Remaja perempuan umumnya membeli barang-barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan pribadi mereka tetapi mengarah ke kebutuhan psikologis mereka. Artinya, berbelanja atau shopping tidak hanya untuk sekedar mendapatkan produk yang diinginkan, melainkan telah menjadi sesuatu yang sifat nya wajib untuk mendapatkan kepuasan, berupa motif-motif sosial dan personal. Dengan adanya tujuan tersebut, maka remaja perempuan ingin menunjukkan bahwa mereka dapat mengikuti mode atau fashion yang sedang tren dalam menunjang penampilan mereka didepan teman-teman mereka atau didepan publik.
Berbelanja atau shopping lebih cenderung dilakukan oleh remaja perempuan. Berdasarkan observasi awal yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti, remaja perempuan tergolong mengikuti tren atau fashion masa kini. Perkembangan secara fisik yang dialami oleh remaja perempuan menuntut mereka memberikan perhatian yang besar terhadap penampilan, seperti menggunakan sepatu, celana, tas, baju yang menarik yang disesuaikan dengan trend masa kini. Perkembangan kepribadian remaja perempuan menunjukkan lebih adanya konformitas sosial dibandingkan dengan remaja laki-laki. Dengan berpenampilan menarik dan mengikuti tren masa kini lebih membuat mereka diterima dilingkungannya dan merupakan aset yang paling penting karena membuat mereka lebih percaya diri sehingga mudah diterima di lingkungannya. Dengan adanya fenomena tersebut diduga dapat mendorong terjadi kecenderungan shopping addiction pada remaja perempuan (Edwards, 1993).
Menurut Faber & O’Guinn dalam Edwards (1993), shopping addiction merupakan suatu aktivitas berbelanja yang bersifat abnormal, dimana konsumen memiliki kekuatan yang kuat, tidak terkontrol dan adanya keinginan berulang untuk berbelanja. Para shopping addiction cenderung tidak mampu mengendalikan keinginannya atau mengontrol diri nya untuk berbelanja sehingga akan melakukan apa saja secara berulang dan terus menerus agar keinginannya dapat terpenuhi, dan mereka juga tidak mampu mengontrol diri.
Menurut Arenson (2003) shopping addiction sama artinya dengan kegiatan berbelanja kompulsif yang selalu diikuti dengan emosi negatif seperti kemarahan dan stress yang mendorong orang tersebut untuk berbelanja lagi. Ketika kegiatan berbelanja itu berakhir, para shopping addiction akan merasakan suatu penyesalan atau depresi. Untuk menghilangkan penyesalan dan depresi yang dialami maka para shopping addiction akan pergi berbelanja lagi sehingga pola perilaku berbelanja akan terus berulang. Hal ini berkaitan dengan teori dari Arenson (2003) yang menyatakan bahwa brain chemistry merupakan suatu kunci yang mendorong kepada shopping addiction.
Disamping itu, ada nya konformitas terhadap sesama remaja perempuan. Menurut Aronson (1992) konformitas merupakan faktor internal yang terbentuk dari limgkungan sosial remaja yang dapat mempengaruhi munculnya perilaku membeli impulsif pada remaja, karena konformitas muncul dalam pribadi remaja akibat pembelajaran dari lingkungan sosial remaja atau pengaruh dari pergaulan teman sebaya nya. Dan menurut Horney (Sarwono, 2004), remaja perempuan lebih mudah terpengaruh oleh bujukan teman untuk membeli sesuatu, remaja perempuan juga lebih emosional dalam melakukan pembelian sehingga lebih cenderung impulsif.
Remaja perempuan sering kali tergiur berbelanja barang-barang yang tidak sesuai dengan kebutuhannya karena melihat teman nya mempunyai barang baru yang tidak dimiliki dan cenderung melakukan pembelian secara tak terencana (unplanned purchase), yaitu melakukan pembelian yang terjadi secara spontan karena munculnya dorongan yang kuat untuk membeli dengan segera.
Disamping itu, karena pengaruh media sosial yang selalu menampilkan barang-barang yang membuat mereka yang melihatnya ingin membeli barang tersebut. Seperti contoh media sosial “ instagram “ yang berisi online-online shop yang selalu menampilkan barang-barang baru yang up to date sehingga para shopping addiction tergiur untuk membeli barang-barang tersebut. Dengan melihat fenomena ini, peniliti tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai Hubungan Tingkat Konformitas dengan Perilaku Shopping addiction pada Remaja Perempuan.
1.2 Rumusan Permasalahan
Apakah terdapat hubungan antara tingkat konformitas dengan perilaku shopping addiction pada remaja perempuan usia 17-22 tahun?
- Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat konformitas dengan perilaku shopping addiction pada remaja perempuan dan untuk menambah pengetahuan cara membuat penulisan ilmiah.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konformitas
2.1.1 Pengertian Konformitas
Baron & Byrne dalam Hurlock (1994) merumuskan konformitas adalah perubahan perilaku dan keyakinan sebagai hasil dari tekanan kelompok dimana tekanan itu bisa nyata atau bayangan saja. Individu akan melakukan tindakan sesuai dengan harapan-harapan kelompok sosial dimana perilaku tersebut merupakan perilaku tersebut merupakan ekspresi persetujuan pada norma-norma kelompok. Adapun norma-norma tersebut merupakan aturan-aturan mengenai perilaku yang dapat diterima dan diharapkan (Myres, 1998).
Pengertian lain dari konformitas juga dikemukakan oleh Myers (2012), merupakan suatu perubahan perilaku serta kepercayaan atau belief yang disebabkan oleh adanya tekanan kelompok yang dirasakan secara nyata atau hanya sebagai suatu imajinasi dari individu tersebut.
Santrock (2007) menambahkan bahwa konformitas terjadi saat individu mengadopsi sikap dan tingkah laku orang lain karena merasa adanya desakkan oleh orang lain yang dirasakan oleh individu secara nyata atau hanya bayangan saja, dan desakan ini cenderung sangat kuat selama masa remaja.
Menurut Hurlock (1980) konformitas terhadap standar kelompok terjadi karena adanya keinginan untuk diterima kelompok sosial. Semakin tinggi keinginan individu untuk diterima secara social maka semakin tinggi pula tingkat konformitasnya. Ada dua jenis konformitas (Sarwono, 2001) :
- Menurut (compliance) Konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju. Misalnya, turis asing memakai selendang dipinggangnya agar dapat masuk ke pura di Bali, menyantap makanan yang disuguhkan nyonya rumah walaupun tidak suka, memeluk cium rekan arab walaupun merasa risih. Kalau perilaku menurut ini adalah terhadap suatu perintah, namanya adalah ketaatan (obedience), misalnya anggota tentara yang menembak musuh atas perintah komandannya, dan mahasiswa baru memakai baju compang camping dalam acara perpeloncoaan atas perintah seniornya.
- Penerimaan (accept) Konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan social. Misalnya, berganti agama sesuai dengan keyakinannya sendiri, belajar bahasa daerah atau Negara dimana ia ditugaskan atau tinggal, memenuhi ajakan teman-teman untuk membolos.
2.2 Shopping Addiction
2.2.1 Pengertian Shopping Addiction
Menurut Faber dan O’Guinn dalam Edward (1993) definisi dari shopping addiction adalah perilaku berbelanja yang kronis, berulang yang telah menjadi respon utama dalam situasi atau perasaan negatif. Edward (1993) digunakan untuk mengklasifikasikan konsumen berdasarkan tingkat kompulsivitas dalam berbelanja. Ada tiga tingkatan yaitu :
- Low (bordering) Level
Konsumen dengan tingkat berbelanja ini adalah seorang yang berada diantara menghibur diri dan menghamburkan uang.\
- Medium (compulsive) Level
Konsumen dengan tingkat berbelanja ini sebagian besar berbelanja untuk menghilangkan kecemasan.
- High (addicted) Level
Pada tingkatan ini juga seseorang yang berbelanja sebagaian besar untuk menghilangkan kecemasan, tetapi pada addicted level ini seseorang memiliki perilaku berbelanja yang ekstrim.\
Adapun penyebab shopping addiction menurut O’Connor (2005) adalah pengaruh sosial sangat mempengaruhi psikologis dan sikap berbelanja seseorang hingga membuat seseorang menjadi shopaholic. Compulsive buying biasanya memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, tingkat berkhayal yang tinggi, dan tingkat depresi, kecemasan dan obsesi yang tinggi. Dalam shopping addiction terdapat suatu siklus menurut Edward (1993) yang menjadi penyebab shopping addiction yaitu spending cycle. Tahapan spending cycle yaitu :
- Bermula dengan perasaan kekosongan dalam diri seseorang, self esteem (harga diri) yang rendah dan perasaan incompleteness (ketidaklengkapan).
- Lingkungan di sekitarnya yang memberikan sinyal bahwa apabila seseorang memiliki sesuatu maka orang tersebut menjadi penting, berharga, dan disukai. Sinyal ini datang dari keluarga, teman, teman kerja, media dan lainnya yang mempengaruhi seseorang.
- Seseorang akan berbelanja untuk mendapatkan perasaan sukses dan membagi cerita kepada lingkungan yang akan kagum pada dirinya.
- Ketika tagihan datang maka ia akan merasa tidak memiliki kekuatan lagi dan merasakan incompleteness. Sehingga akan berulang ke tahap awal.
Sedangkan menurut Siregar (2010), shopping addiction disebabkan oleh faktor yang berasal dari diri sendiri, pelaku shopping addiction biasanya meiliki kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi. Mereka merasa kurang percaya diri dan kurang dapat berfikir positif tentang diri nya sendiri sehingga beranggapan bahwa berbelanja bisa membuat diri nya lebih merasa baik.
- Hubungan Antar Variabel
Seringkali kita merasa bahwa apa yang kita lakukan dalam sebuah kelompok atau pertemanan adalah yang semestinya kita lakukan dan yang diinginkan atas pertimbangan untuk kebaikan diri sendiri. Tetapi tanpa kita sadari bahwa tindakan yang kita lakukan tersebut atas dasar pengaruh dari luar diri kita yakni kelompok atau teman sekeliling kita. Hal tersebut kita lakukan untuk menghidar dari tindakan penyimpangan terhadap kelompok juga agar tidak mendapat sanksi sosial seperti ejekan dan rasa ketidaknyamanan dalam bergaul. Tindakan tersebut adalah bentuk-bentuk penyesuaian yang kita lakukan dalam suatu kelompok yang disebut konformitas. Menurut Myers (2005) konformitas adalah perubahan perilaku ataupun keyakinan agar sama dengan orang lain. Myers (2005) menambahkan bahwa konformitas pada kelompok mampu membuat individu berperilaku sesuai dengan keinginan kelompok dan membuat individu melakukan sesuatu yang berada di luar keinginan individu itu tersebut. Salah satu contoh nya adalah menjadi seorang shopping addict (Baron & Byrne, 2005). Baron & Byrne (2005) menyatakan bahwa,
Rook dan Fisher (Haq, 2013) berpendapat bahwa shopping addiction merupakan kecenderungan konsumen untuk membeli secara spontan, reflek, tiba-tiba, dan otomatis. Sedangkan menurut Schiffman dan Kanup (Haq, 2013) menyebutkan bahwa shopping addiction merupakan keputusan yang emosional atau desakan menurut hati. Demikian pula Loudon dan Bitta (1993) menjelaskan bahwa shopping addiction juga dipengaruhi proses irasional yang mendesak kepuasan secara spontan.
Menurut Herabadi (2003), terdapat beberapa aspek yang ada dalam sebuah perilaku shopping addiction. Aspek-aspek ini sekaligus menjadi pemicu perilaku terjadinya pembelian secara impulsif. Aspek-aspek yang mempengaruhi perilaku shopping addiction adalah:
- Aspek kognitif : berkaitan dengan adanya kekurangan atau bahkan tidak adanya perencanaan dan pertimbangan dalam pembuatan keputusan dalam pembelian.
- Aspek afektif : berkaitan dengan kesenangan dan ketertarikan untuk membeli, adanya dorongan untuk membeli, sulit untuk meninggalkan barang yang akan dibeli, dan terkadang timbul penyesalan setelah membeli suatu barang.
- Hipotesis
Berdasarkan tinjauan daftar pustaka diatas, dapat di tarik hipotesis yaitu adanya hubungan tingkat konformitas dengan perilaku shopping addiction pada remaja perempuan. Semakin naik nya tingkat konformitas remaja perempuan maka dapat terjadi perilaku shopping addiction.
Comments :