Hubungan Antara Griefing Dengan Job Performance Pada Karyawan
Lydia Handryani Tanumihardjo – 1601250370
BAB I
LATAR BELAKANG
Dalam menghadapi persaingan di era global, seorang pekerja dalam perusahaan dituntut untuk bekerja lebih efisien dan efektif sehingga dapat menghasilkan profit yang baik pula. Persaingan yang semakin ketat inipun dapat menyebabkan perusahaan untuk selalu dapat mengupayakan hal-hal yang mampu untuk meningkatkan daya saing demi kelangsungan perusahaan tersebut ke depannya. Perusahaan adalah sebuah organisasi yang terdiri dari orang-orang yang memiliki tujuan yang sama, yang disebut dengan pekerja atau karyawan. Hampir di semua perusahaan mempunyai tujuan yang sama yaitu memaksimalkan keuntungan perusahaan. Pengontrolan terhadap performa kerja sangat dibutuhkan untuk membuat pekerja perusahaan berjalan lebih baik lagi. Contohnya, membuat aturan, sistem dan struktur persusahaan. Tetapi, ada juga faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol oleh suatu perusahaan, contohnya sifat individu pekerja, motivasi pekerja, karakteristik pekerja, situasi dan kondisi yang sedang dialami oleh perusahaan maupun pekerjanya sendiri. Oleh karena itu, diperlukan konsen yang lebih mendalam dalam melihat kestabilan bekerja dari seorang pekerja. Salah satu variable yang bisa diteliti adalah situasi atau keadaan yang sedang dialami oleh pekerja dalam perusahaan. Situasi atau keadaan yang dimaksud adalah keadaan di mana muncul keadaan yang dapat mempengaruhi baik dari segi fisik maupun performanya. Salah satu faktornya adalah kondisi dimana pekerja tersebut mengalami duka.
Mengalami duka dalam pandangan umum adalah hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi tersebut dapat memunculkan banyak perasaan emosi negatif, baik yang muncul dari diri sendiri maupun di sekitarnya. Hal seperti inilah dapat membuat manusia mudah terjebak dalam berbagai gangguan emosi, seperti stres, depresi, frustasi, cemas terhadap sesuatu tanpa sebab yang jelas. Kemampuan masing-masing individu untuk menangani perasaan negatif yang muncul tersebut tidak selalu sama. Dalam menghadapai tekanan yang muncul akibat griefing dan membiarkannya terus menerus,hal ini dapat berakibat pada kondisi mental dan emosional dari individu, yang akhirnya akan mempengaruhi kinerjanya.
Rasa berduka (griefing) yang dibahas ini adalah suatu keadaan dimana individu dan keluarga mengalami kehilangan yang aktual atau potensial. Kehilangan ini dapat berupa orang, benda, fungsi, status, dan hubungan (Carpenito,1984 dalam Rothrock, 2000). Seperti fenomena yang sedang hangat terjadi, yaitu di mana ada seorang pemuda, yang berasal dari Singapura, mengobati luka hatinya dengan menghabiskan waktu dengan boneka. Menurut pemuda ini, boneka yang bernama Babe ini lebih mengerti, setia, tidak mengkhianati dan punya sentuhan yang berbeda dengan wanita-wanita nyata yang dia kenal. Ada juga seorang suami yang sampai mengawetkan jenazah istrinya selama hampir setahun dengan alasan tidak rela ditinggal oleh istrinya dan banyak hal lainnya. Dapat dilihat, ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi rasa duka akibat kehilangan tersebut.
Oleh sebab itu, dengan fenomena yang ada, menjadi landasan penulis untuk memberikan konsen yang lebih, terutama dibidang industri dan organisasi. Dimana, penelitian penulis ini bertemakan tentang bagaimana orang yang berduka (independent variable) terutama apabila yang dialami oleh pekerja bisa atau tidak berpengaruh pada job performance-nya (dependent variable), yang akan dievaluasi dengan menggunakan metode self appraisal. Dengan mengetahui dampak yang muncul akibat griefing dengan performa kerja ini, akan sangat penting bagi perusahaan untuk menetapkan kebijakan selanjutnya.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Grief
2.1.1 Pengertian Grief
Parkes & Stroebe, dkk (1988) bahwa grief sebagai respon emosional yang disebabkan oleh kehilangan, karena hal tersebut merupakan pengalaman emosional yang pribadi pada setiap individu yang mengalami kehilangan.
2.1.2 Tahapan Pada Grief
Menurut Sanders (1998), tahapan-tahapan grief terdiri dari 5 tahapan diantaranya (1) Shock, (2) Awareness of Lost , (3) Conservation (Withdrawal), (4) Healing, dan (5) Renewal. Berikut penjelasan pada setiap tahap :
- Shock
Beberapa karakteristik dari tahap ini adalah timbulnya rasa tidak percaya diri (disbelief), munculnya kebingungan ( confusion) , gelisah ( restlessness ), rasa tidak berdaya ( helplessness). Terjadinya shock ini dapat disebabkan oleh beberapa cara, diantaranya : karena ada faktor salah satunya adalah kelekatan (attachment). Perasaan shock yang dirasakan dapat menyebabkan orang menjadi tidak berdaya. Ia akan merasa terluka ketika berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Pada tahap ini, psychological distancing, yaitu mekanisme yang melindungi seseorang pada saat tertekan dapat muncul.
- Awareness of Lost
Pada karakteristik ini lebih menekankan pada kecemasan yang muncul akibat terjadinya perpisahan, konflik berupa emosional, stress yang berkepanjangan, timbulnya perasaan yang sensistif secara berlebihan , rasa marah (anger), bahkan munculnya rasa bersalah (guilt). Pada fase ini, orang akan merasakan rasa emosi yang muncul akan berubah-ubah. Periode ini juga dapat mengaktivasikan bagian simpatetik pada system saraf otonom , yaitu melepaskan jumlah adrenalin yang besar. Hal ini dapat menyebabkan orang menjadi kesulitan tidur, bahkan duduk diam dalam waktu tertentu.
- Conservation / Withdrawal
Karakteristik dari pada tahap tiga ini antara lain menarik diri ( withdrawal ), putus asa ( despair), lelah ( fatigue ), dan grief work . Fase ini di mana tubuh mengarahkan untuk tidur, tidak banyak bergerak dan membutuhkan waktu untuk sendiri. Reaksi ini merupakan salah satu langkah yang positif, meskipun terlihat seolah orang tersebut masih mengalami depresi yang berat. Pada fase ini, individu akan terus menerus memikirkan dan mengingat kembali peristiwa ataupun melakukan grief work yang merupakan pusat dari tahap ketiga. Semakin sering orang yang berduka membicarakan kehilangan tersebut, maka akan terasa semakin nyata.
- Healing
Karakterisik dari tahap keempat ini adalah mengambil kendali (taking control ), membentuk identitas baru (forming a new identity ), memaafkan dan melupakan ( forgiving and forgetting ), mencari makna ( searching for meaning ), dan menutup lingkaran peristiwa (closing the wound ). Pada tahapan ini, individu akan mulai mengambil alih tentang dirinya, membantu dirinya sendiri untuk bangkit kembali. Selain itu, individu akan berusaha untuk membentuk peran yang baru. Dalam fase ini, individu juga berusaha untuk memaafkan dan melupakan peristiwa yang menyakitkan tersebut. Individu juga mulai menyadari bahwa da hal yang penting, yang harus ia perhatikan. Seseorang mulai membangunnya, salah satunya dengan bekerja dan menyibukkan diri dengan pekerjaan tersebut.
- Renewal
Pada fase ini, terbentuk beberapa karakteristik pada individu, antara lain : membangun kesadaran diri yang baru (developing self awareness), menerima tanggung jawab ( accepting responsibilities), dan berfokus pada kebutuhan dalam diri sendiri ( focusing on inner needs) , serta mulai memperhatikan hal-hal di luar dirinya. Pada tahapan ini, individu memiliki potensi untuk dapat mengembangkan kekuatan yang baru, yang akan mempengaruhi aspek kehidupannya. Individu merasakan ia mempunyai tanggung jawab untuk membahagiakan dirinya sendiri.
2.1.4 Reaksi Pada Grief
Kehilangan dapat menimbulkan reaksi duka pada seseorang. Menurut Dacey & Travers (2002), membagi ekspresi duka kedalam empat macam, yaitu:
- Ekspresi Fisik, contohnya adalah kehilangan selera makan, sulit tidur, sakit pada dada, terlalu sensitif pada suara, depersonalization, kehilangan energi.
- Ekspresi Kognitif, contohnya adalah kebingungan, ketidak percayaan, ketergantungan pada kenangan tentang almarhum .
- Ekspresi Afektif, contohnya lelah, takut, cemas, menderita, bersalah, marah, depresi, penyangkalan dan dorongan untuk melakukan usaha bunuh diri.
- Ekspresi dalam bentuk tingkah laku, contohnya perubahan perilaku keseharian dari seseorang, yang aktif secara sosial menjadi menutup diri terhadap orang lain.
2.2 Job Performance
2.2.1 Pengertian Job Performance
Menurut Gibson, dkk (2003: 355), job performance adalah hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja kefektifan kinerja lainnya. Untuk melihat hasil dari pekerjaan tersebut, tentu saja ada aspek-aspek yang bisa diukur di dalamnya. Begitu juga yang diungkapkan oleh Irawan (2002:11), bahwa kinerja (performance) adalah hasil kerja yang bersifat konkret, dapat diamati, dan dapat diukur.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Job Performance
Menurut A. Dale Timple (1992), mengatakan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja tersebut. Yang terbagi atas 2 bagian yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
- Faktor Internal (Disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat dasar dari diri orang tersebut. Seperti halnya faktor-faktor individual seperti kemampuan, keahlian, latar belakang, persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi seorang pekerja. Semuanya berasal dari dalam dirinya. Misalkan,bagaimana pekerja tersebut berprilaku pada saat mengalami duka. Apakah motivasinya akan berubah dan sikapnya menjadi pemurung.atau apakah pekerja tersebut menjadi lambat dalam menyelesaikan tugasnya, sedangkan aslinya adalah seorang yang rajin dalam bekerja dan menyelasaikan tugasnya tepat waktu.
- Faktor Eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti misalkan struktur, aturan, sistem yang dibuat oleh perusahaan.
2.2.3 Metode Penilaian Job Performance
Metode yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian kinerja adalah dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi masa lalu dan masa depan (Mathis dan Jackson, 2006). Pada penelitian ini, akan menggunakan metode yang berorientasi pada masa depan . Metode penilaian kinerja berorientasi masa depan berfokus pada kinerja masa mendatang dengan mengevaluasi potensi karyawan dengan salah satunya menggunakan metode self appraisal atau dikenal dengan nama metode penilaian diri sendiri. Metode self-appraisal merupakan teknik penilaian kinerja yang dilakukan sendiri oleh pekerja, terutama yang berkaitan dengan potensi yang dimiliki. Apabila pekerja menilai diri sendiri, sikap mempertahankan diri umumnya ditunjukkan pada saat penilaian dilakukan oleh atasan, tidak akan muncul, dan sebaliknya upaya untuk menganalisis potensi diri dan mengembangkannya akan lebih terlihat. Disamping itu, hasil self-appraisal juga berguna bagi lembaga untuk mengetahui area kelemahan kopetensi pegawai dalam proses analisis kebutuhan. Manfaat paling menonjol dari metode ini adalah keterlibatan pekerja dalam proses penilaian dan komitmen mereka terhadap proses pengembangan (Yudan Murphy, 1993, London dan Wohlers, 1991, Campbell dan Lee, 1998)
2.3 Hubungan Antar Variabel
Hubungan antar variable di maksud pada penelitian ini adalah hubungan variabel kausalitas. Yang menjelaskan bahwa rasa berduka (independent variable) berhubungan dan/atau mempengaruhi dengan job performance (dependent variable).
2.4 Hipotesis
- H1= Adanya pengaruh antara rasa berduka terhadap performa kerja pekerja di perusahaan. H0 = Tidak adanya pengaruh antara rasa berduka terhadap performa kerja pekerja di perusahaan.
- H1 = Pekerja yang sedang mengalami rasa berduka akan mengalami penurunan performa dalam bekerja di perusahaan. H0 = Pekerja yang sedang mengalami rasa berduka tidak akan mengalami penurunan performa dalam bekerja di perusahaan.
Comments :