hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek pada mahasiswa Bina Nusantara

DESRIANA RIZKIA

1601277126

LATAR BELAKANG

 destriani

Salah satu masalah yang sering terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah perilaku menyontek yang dilakukan oleh peserta didik ketika mengerjakan tugas atau ujian. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi para peserta didik. Setiap orang pasti ingin mendapat nilai yang baik dalam ujian, dan sudah tentu berbagai macam dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Masalah menyontek selalu terkait dengan tes atau ujian. Banyak orang yang beranggapan menyontek adalah masalah yang biasa saja, namun ada juga yang memandang serius masalah ini. Menyontek merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering dan bahkan muncul menyertai aktivitas pendidikan dalam proses belajar sehari-hari, tetapi fenomena menyontek ini jarang mendapat pembahasan dalam wacana pendidikan di Indonesia.

Kenyataannya, tidak sedikit peserta didik yang menggunakan cara instan untuk mendapatkan prestasi belajar (nilai) yang baik, salah satunya adalah menyontek. Pertanyaan ini memang klasik dan sering di pertanyakan, “Mengapa siswa gemar menyontek?”. Tapi para guru, dosen dan otoritas pendidikan kita sampai hari ini masih terus memutar otak karena belum berhasil menemukan metode yang tepat untuk menghentikan kebiasaan menyontek para peserta didik. Bahkan, tidak sedikit pula dari pengelola pendidikan yang menganggap perilaku menyontek sebagai kelaziman yang tidak berimplikasi serius. Apalagi jika aksi menyontek dilakukan berkali-kali sampai-sampai para peserta didik tidak lagi percaya bahwa mereka mampu untuk menuntaskan dan mengerjakan tugas-tugas atau ujian dengan mengandalkan dirinya sendiri. (Amriel, dalam Kushartanti, 2009).

Di Indonesia, masalah menyontek juga sangat memprihatinkan, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Litbang Media Group pada tanggal 19 April 2007 di enam kota besar (Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan Medan) terhadap 480 responden dewasa, menunjukkan mayoritas anak didik di bangku sekolah maupun perguruan tinggi (hampir 70%) pernah melakukan kecurangan akademik dalam bentuk menyontek (Halida, dalam Sulistianigtyas, 2014). Shepred (dalam Yunnisa, 2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa 96% siswa SMU dan perguruan tinggi mengaku menyontek beberapa kali pada saat ujian. Menyontek sudah sedemikian menjadi sebuah kebiasaan atau budaya. (Smith & Nathan, dalam Yunnisa, 2012) juga menyatakan bahwa perilaku kecurangan akademis masih tinggi pada mahasiswa. Padahal selain dituntut untuk memiliki kemampuan akademis, mahasiswa dituntut untuk menanamkan nilai-nilai baik, memberikan standar perilaku dan mencetak karakter yang tentunya bertolak belakang dengan perilaku kecurangan akademis itu sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyontek berasal dari kata sontek yang berarti melanggar, menocoh, menggocoh yang artinya mengutip tulisan, dan lain sebagainya sebagaimana aslinya, menjiplak (KBBI). Anderman & Murdock (2006) memberikan definisi menyontek yaitu perilaku tidak jujur yang dilakukan oleh individu saat mengerjakan sebuah ujian. Baird (1980, Anderman & Murdock, 2006) meneliti berbagai metode kecurangan yang dilakukan dan dimanfaatkan oleh siswa. Ketika melihat kecurangan tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa mendapat informasi dari siswa lain, menyalin pekerjaan orang lain, plagiarisme, menyalin jawaban tes orang lain adalah perilaku yang paling banyak dan sering dilakukan oleh siswa. Secara rinci, Anderman & Murdock (2006) menggolongkan perilaku menyontek ke dalam tiga kategori : (1) memberi, mengambil atau menerima informasi tes atau ujian, (2) membuat catatan, (3) memanfaatkan kelemahan orang lain, prosedur, proses untuk mendapatkan keuntungan dalam tugas akademik

Fenomena menyontek yang sudah terjadi dari tingkat dasar sampai mengah tidak serta merta hilang pada saat yang bersangkutan sampai ke tingkat perguruan tinggi. Belajar di perguruan Tinggi merupakan pilihan strategis untuk mencapai tujuan indivisual bagi mereka yang inigin melanjutkan jalur formal yang lebih tinggi. Dapat dikatakan, kegiatan belajar di perguruan tinggi adalah suatu hak istimewa karena hanya orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan tertentu yang berhak belajar di lembaga pendidikan tersebut. Idealnya, individu yang mendapatkan hak istimewa tersebut mampu berbuat atau bertindak lebih baik daripada mereka yang tidak mendapatkan hak istimewa tersebut. Seorang mahasiswa diharapkan sudah memiliki kemandirian belajar yang baik. Namun, realita pendidikan menunjukkan tetap adanya perilaku menyontek pada mahasiswa.

Mahasiswa adalah suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya sebagai mahasiswa karena adanya ikatan dan terdaftar secara resmi dalam perguruan tinggi, univeristas, institut ataupun akademi. Peneliti melihat bahwa umur mahasiswa yang mulai memasuki jenjang perkuliahan adalah umur 16 sampai 25 tahun. Mahasiswa merupakan individu yang berada dalam tahap perkembang dewasa awal (emerging adulthood), yang berada dalam rentan usia 18 – 25 tahun (Arnett, 2006, 2007, dalam Santrock, 2011). Istilah dewasa awal dengan suatu penekanan, masa dimana seseorang yang sedang berkembang berada dalam peralihan dari masa kanak-kanak / remaja menuju ke masa dewasa. Masa ini dimana sebagian orang sudah mampu mengambil keputusan, dewasa muda sudah memutuskan hal penting dalam hidup mereka dan sudah mengetahui setiap dampak baik atau buruk dari apa yang dilakukan. Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling melengkapi. Mereka cenderung memantapkan dan berpikir dengan matang terhadap sesuatu yang akan diraihnya, sehingga mereka memiliki pandangan yang realistik tentang diri sendiri dan lingkungannya. Pada jenjang ini sebutan awal dari siswa menjadi mahasiswa dengan sebutan tersebut sudah memiliki tanggung jawab yang lebih besar.

Menurut mahasiswa, menyontek merupakan perilaku yang wajar karena adanya banyak tekanan untuk mendapatkan nilai yang tinggi dan dikarenakan teman-teman mereka juga seringkali menyontek (Hurlock, dalam Yunnisa, 2012). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian tahun 1972, 93% mahasiswa menyatakan bahwa menyontek merupakan bagian yang normal dalam kehidupan (Smith, Ryan & Diggin, dalam Yunnisa, 2012). (McCabe & Trevino, dalam Anderman & Murdock 2006) menyatakan pula bahwa tingkat kecurangan di kalangan mahasiswa sangat tinggi yaitu mencapai 95%.

Seorang melakukan tindakan menyontek karena beberapa alasan. (Wiraman, dalam Rahmawati, Hardjono & Nugroho, 2014) mengungkapkan, bahwa salah satu penyebab yang berasal dari dalam diri mahasiswa untuk menyontek adalah merasa kurang yakin dan kompeten dalam memahami serta memenuhi tuntutan akademik yang ada di hadapan mereka. Keyakinan diri ini oleh Bandura disebut dengan efikasi diri (self-efficacy). Efikasi diri (self-efficacy) merupakan keyakinan diri seseorang dalam menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan dalam mencapai hasil yang diinginkan (Bandura, 1997). Efikasi diri (self-efficacy) dapat membuat mahasiswa lebih yakin dengan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas maupun mengerjakan ujian tanpa meminta bantuan orang lain untuk menyontek. Adanya keyakinan dan kemandirian yang dimiliki mahasiswa dalam mengerjakan ujian dapat mengukur sejauh mana kemampuan dirinya, sehingga dapat mendorong mahasiswa tersebut untuk lebih mengembangkan potensi yang dimilikinya. (Baron & Greenberg, dalam Rahmawati, et.al, 2014) menjelaskan, efikasi diri sebagai suatu keyakinan seseorang mengenai kemampuannya untuk melakukan tugas-tugas tertentu yang spesifik. Perilaku menyontek dapat terwujud tergantung pada self-efficacy yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa.

Self-efficacy yang dimiliki oleh mahasiswa dapat berpengaruh pada keyakinan diri dalam menyelesaikan tugas dan ujian. Tingkat self-efficacy yang dimiliki oleh mahasiswa akan menentukan keyakinan diri dalam mengerjakan tugas atau ujian. Jika self-efficacy tinggi, maka mahasiswa akan percaya dan punya keyakinan dengan kemampuannya dalam mengerjakan tugas atau mengahadapi ujian, tetapi jika sebaliknya maka mahasiswa tersebut akan memiliki keyakin diri yang rendah juga, sehingga akan melakukan perilaku menyontek. Hal ini sesuai dengan penjelasan (Pajares, Anderman & Murdock, 2006) jika mahasiswa memiliki self-efficacy tinggi maka ia akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi pula dalam mengerjakan tugas atau mengahadapi ujian sehingga menolak untuk menolak perilaku menyontek.

Peneliti melihat fenomena menyontek ini terjadi di salah satu universitas yaitu Univeristas Bina Nusantara. Universitas Bina Nusantara adalah salah satu universitas swasta Indonesia yang berlokasi di Jakarta, univeritas Bina Nusantara adalah universitas yang sudah sangat terkenal dengan mutu pendidikannya yang sangat baik dan berkualitas. Universitas Bina Nusantara menerapkan peraturan yang sangat ketat bagi semua mahasiswanya, salah satu dari peraturan tersebut adalah melarang adanya perilaku menyontek. Tetapi, perilaku menyontek masih saja terjadi dalam setiap pelaksanaan ujian, terbukti dengan adanya kumpulan nama-nama mahasiswa yang menyontek yang ditempel di papan pengumuman depan kantor akademis yang selalu ada disetiap semester, dengan berbagai macam laporan bentuk perilaku menyontek yang dilakukan oleh para mahasiswanya. Dengan adanya nama-nama tersebut, sudah dipastikan bahwa para mahasiswa yang namanya tercantum dinyatakan tidak lulus dan mendapatkan prestasi yang buruk dalam perkuliahannya. Walaupun univeritas Bina Nusantara sudah memberikan hukuman kepada para mahasiswa yang ketahuan menyontek dalam bentuk hukuman yang seperti ini, tidak mampu untuk memberikan efek jera terhadap mahasiswanya, faktanya yaitu selalu ada kumpulan nama-nama mahasiswa yang ditempelkan di papan pengumuman disetiap semester.

Perguran tinggi, sebagai institusi pendidikan tertinggi dituntut untuk menghasilkan lulusan berkualitas. Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan tersebut sudah tercapai, maka diadakan evaluasi, ujian atau tes. Mahasiswa merupakan individu yang seharusnya sudah punya pemikiran yang lebih baik, punya pandangan yang lebih luas untuk suatu tindakan yang dilakukan berdampak baik atau buruk bagi dirinya, dan mampu menjadi untuk mandiri dalam belajar, tetapi faktanya juga para mahasiswa ini masih tetap melakukan perilaku menyontek yang seharusnya tidak lagi dilakukan seorang mahasiswa dan semua pengukuran dan penilian tersebut menjadi tidak valid ketika adanya perilaku menyontek pada saat ujian atau tes berlangsung. Dari hasil uraian diatas, peniliti ingin melihat apakah ada hubungan antara perilaku menyontek dengan self-efficacy pada mahasiswa di perguruan tinggi Bina Nusantara.

 

Rumusan Masalah

Berdasarkan pada penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah yang dapat dirumuskan yaitu apakah ada hubungan antara perilaku menyontek dengan efikasi diri (self-efficacy) yang dilakukan oleh mahasiswa di Universitas Bina Nusantara?

 

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengetahui hubungan antara perilaku menyontek dengan efikasi diri (self-efficacy) mahasiswa di Universitas Bina Nusantara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

VARIABEL

 

 

Menyontek

Dalam artikel yang ditulis oleh (Alhadza, dalam Kushartanti, 2009) kata menyontek sama dengan cheating. Beliau mengutip pendapat Bower (1975) mendefinisikan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak baik untuk tujuan yang baik yaitu mendapatkan keberhasilan dalam akademis atau menghindari kegagalan dalam akademis. Deighton menyatakan cheating adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara yang tidak jujur. Menurut Ormode (dalam, Chotim. M, & Sunawan, 2006) cara menjawab tes yang tidak jujur yang dilakukan oleh peserta didik biasanya berupa perilaku menyontek, akibatnya soal tes yang diberikan tidak akan bisa mengukur peserta didik sebab kinerja yang ditunjukkan bukan berdasarkan kemampuan mereka sendiri. Chotim. M, & Sunawan (2006) mendefinisikan menyontek adalah tindakan yang memanfaatkan informasi yang berasal dari lembar jawab orang lain, membuat lembar catatan materi yang terkait dalam ujian tersebut dan bentuk contekkan lain yang sama terkaitnya dengan bentuk contekkan dalam bentuk lembaran .

Kibler (1992, dalam Yunnisa, 2012) menyatakan bahwa kecurangan akademis umumnya mengacu pada berbagai bentuk kecurangan yaitu perilaku menyontek dan plagiat yang dihasilkan dari peserta didik yang memberikan dan menerima bantuan yang tidak sah pada saat ujian, tes dan tugas akademis yang lain; atau menerima reputasi akademis yang baik dalam hasil pekerjaan yang dilakukan padahal hal tersebut bukan miliknya.

Dalam hal ini, Jones, Taylor, Irvin dan Faircloth (dalam Yunnisa, 2012) mendefinisikan menyontek sebagai berikut:

  1. Memberi atau menerima informasi selama ujian berlangsung.
  2. Menggunakan bahan yang tidak sah (seperti catatan) selama ujian; penyebaran bahan ujian, isi atau kunci jawaban.
  3. Mengambil ujian atau menulis hasil ujian peserta didik yang lain atau meminta seseorang untuk mengerjakan ujiannya (termasuk kerja bersama dan atau kelompok pada saat ujian take-home).

Dari beberapa pernyataan yang diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku menyontek adalah suatu tindakan yang tidak sah atau tidak benar yang dilakukan oleh para peserta didik, dimana saat mereka mengerjakan tes, ujian, atau tugas akademis para peserta didik tidak mengandalakan usaha mereka sendiri, tetapi dengan memanfaatkan dan menggunakan cara-cara yang tidak jujur seperti membuat catatan kecil, mengandalkan informasi dari orang lain, untuk mencapai keberhasilan akademis yang ingin mereka capai. Menyontek didefinisikan sebagai mengikuti sebuah ujian melalui cara yang tidak jujur dalam menjawab soal-soal dan melanggar aturan dan kesepakatan yang ada.

 

Bentuk perilaku menyontek

            Dalam perilaku menyontek terdapat bentuk-bentuk perilaku yang dilakukan oleh para peserta didik. Hetherington dan Feldman (Anderman dan Murdock,2006) mengelompokkan empat bentuk perilaku menyontek, yaitu:

  1. Individualistic-opportunistic merupakan perilaku dimana peserta didik mengganti suatu jawaban ketika ujian atau tes tersebut sedang berlangsung dengan menggunakan catatan ketika guru atau pengawas keluar dari kelas.
  2. Independent- planned adalah menggunakan catatan ketika tes atau ujian berlangsung, atau membawa jawaban yang telah lengkap disusun atau telah dipersiapkan dengan menulisnya terlebih dulu sebelum ujian dilaksanakan.
  3. Social-active merupakan perilaku menyontek dimana peserta didik menyalin, melihat atau meminta jawaban dari peserta didik yang lain.
  4. Social-passive adalah mengizinkan peserta didik yang lain melihat atau menyalin jawabannya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hetherington, (1964; Anderman & Murodock, 2006) diketahui bahwa 59% memperlihatkan perilaku menyontek dengan cara 41% dalam bentuk Individualistic-opportunistic, 27% dalam bentuk Individual-planned, 16% merupakan bentuk Social-active dan 14% tergolong Social-passive.

 

 

 

 

 

Tabel Bentuk Perilaku Menyontek berdasarkan tingkat pendidikan ( Anderman & Murdock, 2006 )

Usia Peneliti Bentuk Perilaku Menyontek
TK – Kelas 8 Brandes (1986) 1. Menyalin hasil orang lain disaat tes berlangsung2. Melakukan plagiat
Syer & Shore (2001) 1. Menyalin atau membuat data yang dibuat oleh orang lain
Sekolah Menengah Brandes (1986) 1. Menyalin hasil orang lain disaat tes berlangsung2. Menggunakan catatan kecil pada saat tes berlangsung
Perguruan Tinggi Hetherington & Feldman (1964) 1. Individual-planned2. Social-active

3. Individualistic-opportunistic

4. Social-passive

 

Baird (1980) 1. Menyontek saat kuis2. Menyontek saat tes
Baird (1980) 1. Memperoleh informasi tes dari siswa lainnya2. Memungkinkan atau mengizinkan orang lain untuk menyalin pekerjaannya

3. Menyalin tugas orang lain

4. Melakukan plagiat

Haines, Diekhoff, LaBeff & Clark (1986) 1. Menyontek saat kuis2. Menyontek saat ujian kenaikkan kelas atau kelulusan

3. Menyontek saat ujian

Davis, Grover, Becker & McGregor (1992) 1. Menyalin pekerjaan orang lain2. Menggunakan catatan
Franklyn-Stokes & Newstead (1992) 1. Mengutip suatu materi tanpa menyantumkan referensi atau sumber2. Memungkinkan atau mengizinkan orang lain untuk menyalin hasil pekerjaan

3. Menyalin coursework dengan pengetahuan yang lain

4. Doing another’s coursework

Genereaux & McLeod (1995) 1. Memberikan jawaban untuk menjawab soal ujian2. Menerima jawaban untuk menjawab soal ujian
Hollinger & Lanza-Kaduce (1996) 1. Taking information2. Tendering information

3. Plagiarism

4. Misrepresentation

Newstead, Franklyn-Stokes, & Armstead (1996) 1. Mengutip materi dari sumber lain tanpa mengakui penulisnya2. Memalsukan refrensi / daftar pustaka

3. Mengubah data

Norton, Tilley, Nestead & Franklyn-Stokes (2001) 1. Menyalin materi dari sumber lain tanpa menyantumkan sumber asli2. Membuat data baru
Alhers-Schmidt & Burdsal (2004) 1. Passive cheating
Dawkins (2004) 1. Menyalin dari internet
Robinson, Amburgey, Swank & Faulkner (2004) 1. Menyalin dari siswa lain saat ujian2. Membuat jawaban untuk disalin oleh siswa lain

3. Menerima jawaban dari orang lain yang sudah selesai menyelesaikan ujian

4.Berkolaborasi pada pekerjaan dibawa pulang ketika tidak diizinkan

Bennet (2005) 1. Melakukan plagiat, meliputi :a)      Menyalin sebagian kalimat

b)      Menyalin sebagian besar kalimat

c)      Menyalin paragraf secara keseluruhan

d)     Menyalin sebagian paragraf

2. Menyantumkan refrensi yang tidak sesuai

3. Melakukan kerjasama ketika tidak diperbolehkan

 

Faktor-faktor perilaku menyontek

Menyontek tidak akan dilakukan oleh siswa apabila siswa tersebut tidak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Banyak faktor-faktor yang mampu mempengaruhi siswa untuk melakukan perilaku menyontek yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor tersebut antara lain :

 

  1. Faktor Intern(dari dalam diri)

 

1 . Kurang percaya diri dalam mengerjakan sesuatu atau Self-efficacy.

Hal ini paling sering di alami oleh siswa yang tidak belajar saat akan menghadapi sebuah ujian atau test. Siswa yang tidak belajar saat akan menghadapi ujian atau test tentunya akan merasa kurang percaya diri dan kurang yakin akan kebenaran jawaban yang dimilikinya, sehingga muncul dorongan akan keiingin tahuan akan jawaban yang benar yang kemudian menyebabkan kebanyakan siswa melakukan perilaku menyontek dengan berbagai cara agar mengetahui kebenaran jawaban dari soal yang diujikan (Palupi, Hasyim & Yanzi, 2013).

 

 

  1. Sudah menjadi kebiasaan siswa

Banyak siswa yang menjadikan perilaku tersebut sebagai hal yang biasa dan dijadikan insting untuk bertahan dalam mempertahankan atau meraih prestasi belajar. siswa yang menjadikan perilaku menyontek sebagai suatu kebiasaan akan membuat siswa tersebut sulit

untuk melepaskan perilaku menyontek dalam diri mereka (Palupi, et.al, 2013).

 

  1. Sifat malas pada diri siswa

Salah satu alasan yang sering juga menjadi faktor untuk siswa melakukan perilaku menyontek yaitu sifat malas untuk belajar secara teratur dan tidak mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin sebelum menghadapi ujian. Sifat malas membuat siswa tidak siap menghadapi ujian. Selain itu, kebiasaan belajar yang hanya terjadi ketika akan menghadapi ujian atau disebut SKS (Sistem kebut semalam) menimbulkan akibat siswa tidak mampu menguasai seluruh materi yang akan diujikan dengan optimal (Palupi, et.al, 2013).

 

  1. Tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi

Tekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada siswa mengenai hasil studi berupa nilai yang diperoleh siswa dalam ujian dengan harus mendapatkan nilai yang tinggi. Tekanan yang besar untuk mendapatkan nilai yang baik dari berbagai pihak membuat siswa semakin terdorong untuk melakukan perilaku menyontek karena mereka dituntut untuk mendapatkan nilai prestasi yang baik dalam tes/ujian. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Keller (dalam, Yunnisa, 2012) yang melaporkan bahwa sekitar 69% siswa berpendapat bahwa tekanan untuk memperoleh nilai yang baik merupakan motif utama yang mendorong perilaku menyontek.

 

  1. Kecemasan

Studi yang dilakukan oleh Michaels & Meithe (1989; Anderman & Murdock, 2006) menyatakan bahwa siswa yang menyontek memiliki tingkat kecemasan yang tinggi akan kegagalan . Secara konsisten, beberapa studi lain juga menyebutkan bahwa kecemasan yang berlebihan akan memberikan stimulus pada otak untuk tidak dapat bekerja secara optimal dan sesuai dengan kemampuan. Keadaan ini yang dapat mendorong siswa untuk menyontek demi menciptakan ketenangan dan menurunkan kecemasan pada dirinya disaat mengerjakan ujian.

 

  1. Faktor Eksternal (dari luar diri atau lingkungan) :

 

  1. Pengaruh kelompok sebaya

Crown dan Spiller (dalam Yunnisa,2012) melihat adanya indikasi yang konsisten bahwa mahasiswa akan menyontek apabila ia melihat mahasiswa lain melakukannya, atau jika mereka mempersepsikan bahwa tindakan tersebut merupakan hal yang wajar serta dapat diterima oleh teman-temannya. Para mahasiswa meyakini bahwa menyontek adalah perilaku normal dalam hidup karena mereka melihat di sekitar mereka setiap orang juga menyontek (Houston & Baird, dalam Yunnisa, 2012).

 

  1. Pengawasan selama ujian/tes

Menurut Diekhoff (Anderman dan Murdock,   2006) perilaku menyontek mahasiswa dipengaruhi oleh situasi kelas yang menyebabkan mereka dapat dengan mudah mencari alasan dan membenarkan perilaku mereka. (Newstead, Franklyn-Stokes & Armstead, dalam Yunnisa, 2012) menyatakan bahwa perilaku menyontek mungkin dapat terjadi karena adanya suatu kondisi atau keadaan yang memungkinkan untuk dilakukan. Mahasiswa akan melakukan perilaku menyontek jika mereka merasa ada kesempatan untuk melakukannya dan kemungkinannya sangat kecil ketahuan dari pengawas selama ujian berlangsung. Misalnya, pengawasan yang longgar saat ujian, maka perilaku menyontek akan semakin meningkat (Murdock, Angela & Kohlbardt; Anderman & Murdock, 2006).

 

  1. Jenis materi kuliah

Umumnya, menyontek terjadi pada mata kuliah yang membutuhkan konsentrasi, daya ingat yang tinggi, dan pemahaman yang cepat. Banyak mahasiswa menyontek disaat mereka dihadapkan dengan ujian yang dimana mata kuliah tersebut memiliki materi yang banyak dan cukup sulit untuk dimengerti dan dipahami. Biasanya bentuk perilaku menyontek yang dilakukan oleh para mahasiswa dengan faktor ini adalah mereka membuat catatan pada kertas kecil, didalamnya berisi materi-materi ujian yang mereka anggap susah untuk hafalkan dan diingat.

 

 

Tabel Tabel Faktor Lain Dari Perilaku Menyontek

Beberapa Faktor-faktor internal dan eksternal lain yang mungkin mengarahkan individu kepada perilaku menyontek. Menurut Baird (1980), Davis et al. (1992) dan Heterington & Feldman (1964) adalah sebagai berikut:

 

Peniliti Faktor Eksternal Faktor Internal
Baird ·         Tingkat kesulitan tes·         Pengawasan ujian

·         Posisi tempat duduk

·         Jadwal ujian

·         Kecurangan tes

·         Tingkat kepentingan tes

·         Harapan kesuksesan·         Pengalaman akan kegagalan

·         Nilai yang rendah

·         Rasa malas siswa

·         Kesadaran kinerja sesama siswa

 

Davis et.al ·         Pertanyaan dalam bentuk pilihan ganda·         Kondisi ruangan kelas

·         Keuntungan ekonomis

·         Ketidaksukaan terhadap guru·         Keinginan untuk membantu teman
Hetherington & Feldman ·         Tes yang diberikan sulit·         Kurangnya pengawasaan saat ujian berlangsung

·         Pegaturan kelas yang tidak terorganisir dengan baik

·         Keinginan untuk dapat diterima dan disukai didalam lingkungan sosial

 

 

 

 

 

Efikasi Diri (Self-Efficacy)

Bandura (2001, dalam Feist, 2011) mendefinisikan efikasi diri sebagai “keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan”. Manusia yang yakin bahwa mereka dapat melakukan sesuatu mempunyai potensi untuk mengubah kejadian di lingkungannya, akan lebih mungkin untuk bertindak dan lebih mungkin untuk menjadi sukses daripada manusia yang mempunyai efikasi diri yang rendah. Efikasi merujuk pada keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perilaku. Menurut Bandura (1994, dalam Feist, 2011), keyakinan manusia mengenai efikasi diri (self-Efficacy) mempengaruhi bentuk tindakan yang akan mereka pilih untuk dilakukan, sebanyak apa usaha yang akan mereka berikan ke dalam aktivitas ini, selama apa mereka akan bertahan dalam menghadapi rintangan dan kegagalan, serta ketangguhan mereka mengikuti adanya kemunduran. Bandura menekankan bahwa kepercayaan diri (self-efficacy) mengacu pada keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengarahkan motivasi, sumber kognitif, dan serangkaian kegiatan yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan suatu situasi.

Kepercayaan diri (self-efficacy) memiliki kemungkinan untuk berubah dikarenakan efikasi diri (self-efficacy) merupakan integrasi dari hasil belajar, pengalaman, dan masukkan. Selanjutnya, Siswa dengan tingkat self-efficacy tinggi akan lebih memiliki kepercayaan akan kemampuan yang mereka miliki untuk mencapai tujuan dan mampu untuk bertahan lebih lama dalam kondisi yang sulit (Pajares, Anderman dan Murdock, 2006).

 

Komponen Efikasi Diri (Self-Efficacy)

Bandura (1997) membagi self-efficacy menjadi tiga komponen, yaitu Magnitude, Strenght dan Generality.

  1. Magnitude (tingkat kesulitan tugas), yaitu mengacu kepada derajat tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh individu. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan perilaku yang akan dicoba individu berdasarkan ekspektasi efikasi pada tingkat kesulitan tugas. Individu dengan Magnitude yang tinggi akan merasa yakin dirinya mampu untuk mengerjakan tugas sesulit apapun tugas tersebut. Sedangkan individu dengan Magnitude yang rendah maka akan merasa dirinya tidak yakin untuk mampu mengerjakan tugas tersebut dan cendrung untuk mengindari tugas tersebut meskipun tugas yang diberikan mudah dan sederhana.
  2. Strenght (kekuatan keyakinan), yaitu berkaitan dengan kekuatan pada tingkat keyakinan individu atas kemampuannya untuk meraih keberhasilan dalam setiap tugas. Pengharapan yang kuat pada individu akan mendorongnya untuk tetap gigih berusaha dan bertahan demi mencapai tujuan dan keberhasilan dalam tugas walaupun yang dihadapi sulit sekalipun dan mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang menunjang. Sebaliknya pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan kemampuan diri akan mudah menyerah bila dihadapkan dengan kesulitan dan hambatan dalam pengerjaan tugas.

 

  1. Generality (generalitas), yaitu hal yang berkaitan dengan cakupan luas bidang tingkah laku dimana individu merasa yakin terhadap kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, tergantung pada pemahaman kemampuan dirinya yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi. Sebagian orang mempersepsikan bahwa mereka dapat menghasilkan perilaku tertentu dalam situasi tertentu juga, di sisi lain ada orang yang mampu beradaptasi apapun situasinya. Individu yang memiliki generality self-efficacy yakin dengan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas tertentu meskipun berada dalam situasi yang tidak diduga sebelumnya.

 

Dari ketiga komponen self-efficacy di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy akan menentukan seberapa besar usaha yang akan dilakukan dan ditunjukkan oleh seseorang untuk mengerjakan suatu aktivitas, berapa lama waktu yang akan dihabiskan dan seberapa kemampuan untuk bertahan terhadap situasi yang berbeda. Semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki seseorang maka semakin besar pula usaha, waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk menyelesaikan tugas tertentu.

Mahasiswa dengan self-efficacy yang tinggi akan cenderung lebih suka untuk belajar dan berusaha untuk mencapai keberhasilan dibandingkan dengan mahasiswa dengan self-efficacy yang rendah walaupun para mahasiswa mempunyai tingkat kemampuan yang sebenarnya setara dan sama (Bandura, 1997).

 

 

 

 

 

Sumber-sumber Self-efficacy

Bandura (1997) menyatakan bahwa terdapat empat sumber informasi dalam penilaian self-efficacy dalam bidang pendidikan, yaitu experience/enactive attainment (pengalaman pribadi), vicarious experience (pengalaman mengamati orang lain), verbal persuasion (bujukan lisan), dan psychological arousal (keadaan fisiologis).

 

Pengalaman pribadi (Enactive attainment)

Pengalaman pribadi memberikan pengaruh yang paling kuat terhadap self-efficacy seseorang. Keberhasilan seseorang dalam mengerjakan tugas akan memberikan peningkatan untuk self-efficacy yang dimilikinya. Sedangkan kegagalan yang dialami seseorang dalam mengerjakan tugas akan memberikan penuruan derajat keyakinan diri pada diri orang tersebut.

Pengalaman mengamati orang lain (Vicarious experience)

Pengalaman dalam mengamati orang lain yang memiliki keberhasilan dalam mengerjakan suatu tugas akan dapat meningkatkan keyakinan individu bahwa mereka dapat mengerjakan tugas dan memiliki kemampuan yang sama seperti role-model-nya (Bandura, 1997). Besar atau kecilnya pengaruh role-mode terhadap self-efficacy seseorang sangat bergantung dari bagaimana seseorang tersebut merasa mirip dengan model yang ditirunya untuk kemudian membandingkan dengan dirinya (seberapa banyak kesamaan yang ada).

 

Bujukan lisan (Verbal Persuasion)

Verbal Persuasion merupakan perkataan atau dukungan dari orang lain yang menyatakan bahwa ia memiliki kemampuan. Keyakinan seseorang dapat meningkat atau menurun dipengaruhi juga dari pesan-pesan yang disampaikan oleh orang lain tersebut. Dukungan mampu mendorong self-efficacy seseorang sedangkan kritik yang menjatuhkan dapat mengahambat self-efficacy seseorang. Dukungan yang sesuai dengan kemampuan individu yang bersangkutan bisa membantu meningkatkan keyakinan dirinya untuk berhasil menyelesaikan tugas. Sedangakan dukungan yang diberikan adalah kritikan yang bersifat berlebihan akan memperbesar terjadinya kegagalan dalam menyelsaikan tugas karena menurunnya keyakinan dalam diri individu tersebut.

 

Keadaan Fisiologis (Psychological Arousal)

Seseorang menjadikan keadaan fisiologisnya sebagai sumber informasi untuk memberikan sumber penilaian terhadap kemampuan dirinya sehingga berguna dalam melihat apakah tujuan yang akan dicapai sulit, sedang atau mudah. Bandura (1997) menjelaskan bahwa dalam batasan tertentu seseorang bisa mengetahui seberapa efektif performanya sehubungan dengan kondisi fisik yang dialami. Mood merupakan hal yang mempengaruhi self-efficacy. Untuk mood yang positif dapat meningkatkan self-efficacy, sebaliknya untuk mood yang negatif dapat menurunkan self-efficacy seseorang. Mood yang postitif ataupun negatif yang dialami sangat bergantung pada kondisi fisik seseorang (Bandura, 1997). Seseorang yang berada dalam kondisi yang baik akan bisa merasa optimis akan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas, tetapi ketika rasa lelah mulai mendera, perasaan ragu akan muncul.

Emerging Adulthood

Emerging adulthood merupakan sebuah konsep tahap perkembangan yang jelas dan nyata serta memiliki karakteristik perubahan dan eksplorasi dari arah hidup. Menurut Arnett (2006; Santrock, 2012) transisi masa dari remaja ke dewasa disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18 sampai 25 tahun. Pada titik ini dalam perkembangan mereka, banyak individu masih mengeksplorasi jalur karier yang ingin mereka ambil, ingin menjadi individu seperti apa, dan gaya hidup seperti apa yang akan mereka inginkan. Pada tahap emerging adulthood Jeffry Arnett (2006; Santrock, 2012) mendeskripsikan lima ciri dari orang yang beranjak dewasa (emerging adulthood) sebagai berikut :

 

  1. Eksplorasi indentitas

Ciri-ciri pertama pada tahap emerging adulthood adalah eksplorasi identitas, yang pada masa ini sudah mulai untuk mencoba kemungkinan-kemungkinan di hidup mereka dalam area yang bervariasi.Beranjak adalah masa di mana di dalam sebagian besar individu mengalami perubahan penting yang menyangkut identias. Para dewasa muda memutuskan siapa mereka dan apa yang mereka inginkan dari pekerjaan, pendidikan dan cinta.

 

Arnett (2000) menyatakan pada tahap ini individu merasa tepat untuk self-exploration, yang dimana emerging adulthood menjadi lebih mandiri daripada saat mereka remaja. Dalam tahap ini mereka tidak bergantung dengan orangtua dan orangtua sudah lebih memberikan kebebasan serta kepercayaan dalam menjalani tanggung jawab sendiri, seperti memilih jurusan apa yang diminati pada saat kuliah, mampu belajar mandiri dalam menyelesaikan masalah, mengetahui pola dan cara belajar yang baik untuk menghadapi ujian-ujian yang dihadapi saat kuliah. emerging adulthood memiliki kesempatan dalam mencoba banyak hal dan pilihan.

Dalam jalur pendidikan , para dewasa awal mencoba berbagai kemungkinan yang akan mempersiapkan mereka untuk
berbagai jenis pekerjaan di masa depan. Mahasiswa sering mengubah jurusan lebih dari sekali, terutama dalam dua tahun pertama mereka ketika mereka mencoba pada kemungkinan masa depan kerja dan mengejar yang lain.

 

  1. Ketidakstabilan

Perubahan tempat tinggal sering terjadi selama masa dewasa awal, sebuah masa di mana juga sering terjadi ketidakstabilan dalam hal relasi romantis, pekerjaan dan pendidikan. Orang-orang dewasa muda baik pergi ke perguruan tinggi atau hidup dengan teman-teman atau pasangan romantis. Ketidakstabilan yang terjadi terutama dalam hal pendidikan terkadang membuat individu tersebut sedikit sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, seperti suasana universitas, teman-teman , para dosen dan peraturan-peraturan baru yang ada didalam universitas tersebut.

 

  1. Terfokus pada diri sendiri (Self-Focused)

Menurut Arnett (2006; Santrock, 2011), individu yang berada di masa beranjak dewasa “cendrung terfokus pada diri sendiri, dalam arti mereka kurang terlibat dalam kewajiban sosial, melakukan tugas dan berkomitmen terhadap orang lain, serta mengakibatkan mereka memiliki otonomi yang besar dalam mengatur kehidupannya sendiri”. Dalam kriteria ini mengungkapkan fakta bahwa selama masa anak-anak hingga remaja, individu lebih banyak tergantung dan terlibat dengan orang lain. Tetapi pada tahapan ini individu sudah mampu mandiri, mampu membuat keputusan sendiri dan juga mampu mencukupi kebutuhan sendiri (Arnett, 2000).

  1. Merasa seperti berada/di peralihan (Feeling in-between)

Banyak orang di masa beranjak dewasa tidak menganggap dirinya sebagai remaja ataupun sepenuhnya sudah dewasa dan berpengalaman.

  1. Usia dengan berbagai kemungkinan, sebuah masa di mana individu memiliki peluang untuk mengubah mereka.

Arnett (2006; Santrock, 2011) mendeskripsikan dua cara di mana masa beranjak dewasa merupakan usia yang memiliki berbagai kemungkinan : (1) banyak orang yang sedang beranjak dewasa yang optimis dengan masa depannya, dan (2) bagi mereka yang mengalami kesulitan ketika bertumbuh besar, masa beranjak dewasa merupakan sebuah kesempatan untuk mengarahkan kehidupan mereka ke arah yang lebih positif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KETERKAITAN ANTAR VARIABEL

 

Setiap orang pasti ingin mendapatkan nilai yang baik dalam ujian, sudah tentu setiap orang akan melakukan berbagai macam cara untuk mrendapatkan dan mencapai tujuan keberhasilan akademik tersebut, baik dengan cara yang mudah ataupun dengan cara yang susah. salah satu cara yang mudah untuk dilakukan dalam mencapai tujuannya adalah dengan menyontek. Menyontek adalah salah satu fenomena pendidikan yang sering terjadi dan bahkan muncul menyertai aktivitas pendidikan dalam proses belajar sehati-hari. Akan tetapi, fenomena menyontek ini jarang mendapatkan pembahasan dalam wacana pendidikan di Indonesia. Menurut penelitian Shephred (dalam Yunisa, 2012) menemukan bahwa 96% siswa SMU dan perguran tinggi mengaku beberapa kali melakukan perilaku menyontek saat ujian berlangsung. Perilaku menyontek sudah menjadi sebuah kebiasaan atau budaya yang kerap di benarkan dalam dunia pendidikan. Hal ini sangat disayangkan, karena betapa pentingnya sebuah pendidikan menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang.

Fenomena menyontek yang terjadi dari jenjang pendidikan di tingkat dasar sampai menengah atas tidak serta merta hilang begitu saja pada saati individu yang bersangkutan sudah sampai ke tingkat pendidikan di perguruan tinggi. McCabe & Trevino (Anderman & Murdock, 2006) juga menyatakan bahwa tingkat kecurangan di kalangan mahasiswa sangat tinggi, yaitu mencapai 95%. Mahasiswa menyatakan bahwa menyontek sudah menjadi suatu hal yang wajar. Kenapa wajar? Karena mahasiswa memiliki banyak tekanan dalam menjalani pendidikannya, terutama tekanan untuk mendapatkan nilai yang tinggi dan prestasi akademik yang baik. Smith, Ryan & Diggin (dalam Yunisa, 2012) melakukan penelitian di tahun 1972, mereka menyatakan bahwa perilaku menyontek merupakan bagian yang normal. Seorang mahasiswa diharapkan sudah memiliki kemandirian belajar yang baik. Namun, realita pendidikan menunjukkan tetap adanya perilaku menyontek pada mahasiswa.

Perilaku menyontek tidak serta muncul tanpa ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut terbagi menjadi 2 yaitu faktor dalam diri atau Internal dan faktor diluar diri atau Eksternal. Wiraman (Rahmawati, Hradjono, & Nugroho, 2014) mengungkapkan bahwa salah satu penyebab mahasiswa melakukan perilaku menyontek adalah mereka yang merasa kurang yakin dalam memahami serta memenuhi tuntutan akademik yang ada dihadapan mereka. Keyakinan yang kurang dimiliki oleh siswa dalam memahami dan memenuhi tuntutan akademik dapat disebut self-efficacy.

Self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan akan kemampuan seorang individu untuk mengatur dan melaksanakan serangkaian aktifitas atau tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan atau mengerjakan suatu tugas tertentu. Bandura (Anderman & Murdock, 2006) self-efficacy adalah keyakinan diri seseorang dalam menyelesaikan suatu tugas dan permasalahan dalam mencapai hasil yang diinginkan. Perilaku menyontek dapat terwujud tergantung pada self-efficacy yang dimiliki oleh masing-masing individu. Pajares (Anderman & Murodck, 2006) menyatakan bahwa jika mahaasiswa yang memiliki self-efficacy tinggi maka ia akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi pula dalam menghadapi ujian, sebaliknya jika mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang rendah maka ia akan memiliki rasa percaya tinggi yang rendah dalam menghadapi ujian.

Self-efficacy memiliki tiga komponen di dalamnya, yaitu magnitude, strenght, dan generality. Dalam penelitian ini, self-efficacy akan lebih fokus kepada magnitude. Magnitude mengacu pada tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh individu. Perilaku menyontek cendrung muncul ketika para mahasiswa dihadapkan dengan soal-soal ujian yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Sedangkan perilaku menyontek akan dilihat secara keseluruhan, baik untuk bentuk perilaku menyontek maupun intensitas menyontek yang dilakukan oleh para mahasiswa.

 

MAHASISWA

 

SELF-EFFICACY

MAGNITUDE

 

BENTUK DAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HIPOTESIS

 

Ho = Tidak terdapat hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek pada mahasiswa Bina Nusantara

Ha = Terdapat hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek pada mahasiswa Bina Nusantara