hubungan antara intimasi dan kesiapan menikah pada masa dewasa awal
hubungan antara intimasi dan kesiapan menikah pada masa dewasa awal
Nabila Adnina Hilman
1601273866
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Pernikahan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia dan di anggap sakral karena pernikahan sewajarnya hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup. Pernikahan bukan hanya sekedar menyatukan dua individu menjadi satu dalam sebuah ikatan, namun pernikahan juga memiliki tujuan lain. Salah satu tujuan dari suatu pernikahan adalah untuk melanjutkan keturunannya. Setiap manusia memiliki hak melakukan pernikahan untuk melanjutkan keturunannya. Untuk melakukan pernikahan kesiapan kesiapan menikah sangat diperlukan.
Menurut Walgito (2000) ada beberapa faktor kesiapan menikah yaitu faktor fisiologis, social ekonomi, agama dan psikologis. Faktor psikologis dapat dilihat dari kedewasaan seseorang yang biasanya di tandai dengan kematangan emosi, toleransi atau kesiapan untuk berkorban, dapat saling memberi dan menerima kasih sayang, saling mempercayai, serta adanya keterbukaan dan komunikasi.
Sebuah pernikahan lazimnya dilakukan seseorang setelah seseorang memasukin masa dewasa awal. Menurut Arnett (2006, 2007, Santrock, 2011) Transisi dari masa remaja ke dewasa disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18 sampai 25 tahun. Di Negara – Negara berkembang pernikahan seringkali lebih dijadikan pertanda bagi seseorang untuk dinyatakan telah memasuki kedewasaan, dimana hal ini sering kali terjadi lebih awal di Amerika Serikat (Arnett, 2004. Santrock, 2011). Seperti di Indonesia, rata-rata umur ideal menikah bagi perempuan dan bagi laki-laki masing-masing adalah 22 tahun dan 25 tahun (BKKBN.go.id). Ditambahkan pula bahwa diantara kelompok umur perempuan 20-24 tahun lebih dari 56,2 persen sudah menikah (Resides BKKBN 2010)
Terdapat beberapa tugas pada masa dewasa awal menurut Hurlock (1980) yaitu bekerja, memilih pasangan, membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara dan mencari kelompok soial yang menyenangkan. Sama halnya dengan Hurlock, Santrock (2002) mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya dapat disimpulkan bahwa tugas dewasa awal adalah menikah dan bekerja. Ada hal lain yang harus diperhatikan dalam perkembangan masa dewasa awal, pada masa dewasa awal sering sekali melibatkan upaya untuk menyeimbangkan keintiman dan komitmen (Santrock, 2011)
Keintiman atau intimacy sendiri si tandai dengan keterbukaan diri dan berbagi pikiran-pikiran personal (Santrock, 2011). Menurut Sternberg (1986) dalam Santrock (2011) dalam triangular theory of love, intimacy adalah perasaan emosi yang mngandung kehangatan, kedekatan dan berbagi dalam sebuah relasi. Intimacy pada dasarnya mengandung pengertian sebagai elemen afeksi yang mendorong individu untuk selalu melakukan kedekatan emosional dengan orang yang dicintainya.
Dari data sebuah penelitian yang dilakukan kepada pasangan suami istri yang sudah menikah selama 0-5 tahun yang menjalani commuter marriage dengan menggunakan triangular theory of love, diperoleh hasil sebanyak 81,25% pasangan commuter marriage tipe adjusting couple memiliki komponen intimacy sedang yaitu dengan melakukan intensitas komunikasi dan menceritakan kegiatan sehari-hari (Jayanti, 2014). Menurut Stahmann (2004) Intimacy dibentuk dalam proses yang panjang dan biasanya dibutuhkan waktu yang panjang dan biasanya dimulai sejak sebelum menikah untuk mengembangkan pola dan perilaku yang berfungsi sebagai landasan bagi hubungan perkawinan dan keintiman dalam pernikahan, begitu pula dengan kesiapan menikah yang seiring dengan kencan yang berlangsung saat berpacaran (Blood, 1969) dalam Mahmudah (2012).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dilihat bahwa intimacy dan kesiapan menikah memiliki beberapa hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pernikahan. Hal tersebut memungkinkan adanya hubungan antara intimacy terhadap kesiapan menikah, yang pada akhirnya menarik peneliti untuk melakukan penelitian berjudul “hubungan intimacy terhadap kesiapan menikah pada dewasa awal”
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesiapan Menikah
Sebelum menjelaskan kesiapan menikah, makan akan terlebih dahulu dijelaskan pengertian pernikahan.
Pernikahan adalah ikatan atau komitmen emosional dan legal antara seorang pria dengan seorang waita yang terjalin dalam waktu yang panjang dan melibatkan aspek ekonomi, social, tanggung jawab pasangan, kedekatan fisik, serta hubungan seksual. (Regan, 2003; Olson & Defrain,2006; Seccombe & Warner, 2004)
Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa “pernikahan adalah hubungan abadi antara dua orang tang berlainan kelamin, yang diakui oleh Negara”. (Scholten, 1976;18).
Sedangkan Duvall & Miller (1985) menyatakan bahwa pernikahan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak dan saling mengetahui tugas masing – masing sebagai suami dan istri.
Kesiapan menurut Dalyono (2005: 52) adalah kemampuan yang cukup baik fisik dan mental. Kesiapan fisik berarti tenaga yang cukup dan kesehatan yang baik, sementara kesiapan mental, memiliki minat dan motivasi yang cukup untuk melakukan suatu kegiatan”.
Kesiapan menurut kamus psikologi adalah “Tingkat perkembangan dari kematangan atau kedewasaan yang menguntungkan untuk mempraktikkan sesuatu” (Chaplin, 2006: 419). Dikemukakan juga bahwa “kesiapan meliputi kemampuan untuk menempatkan dirinya jika akan memulai serangkaian gerakan yang berkaitan dengan kesiapan mental dan jasmani”
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesiapan menikah adalah kesediaan individu untuk mempersiapkan diri untuk melakukan ikatan lahir batin antara perempuan dan laki-laki dalam waktu yang panjang, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak dan saling mengetahui tugas masing – masing sebagai suami dan istri, yang melibatkan aspek social, tanggung jawab, psikologis serta ekonomi.
2.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah
Menurut Walgito (2000) ada beberapa fakto yang mempengaruhi kesiapan menikah, yaitu:
- Faktor Fisiologis
Faktor fisiologis berkaitan dengan 3 hal yaitu kesehatan, keturunan dan sexual fitness.
- Kesehatan
Keadaan kesehatan seseorang dalam suatu perkawinan merupakan gfaktor penting dan merupakan faktor esensial dalam perkawinan.
- Keturunan
Hal ini juga menjadi penting karena dalam suatu pernikahan kedua belah pihak suami dan istri berharap untuk memiliki keturunan.
- Sexual Fitness
Hal ini berhubungan dengan apakah pasangan dapat melakukan hubungan seksual secara wajar.
- Faktor Sosial Ekonomi
Faktor ini adalah faktor yang perlu untuk mendapat pertimbangan yang lebih walaupun ada beberapa pihak yang menganggap hal ini adalah faktor yang tidak mutlak.
- Faktor Agama dan Kepercayaan
Sebaiknya dalam pernikahan pasangan memiliki agama yang sama yang bertujuan untuk meminimalkan munculnya perbedaan yang berhubungan dengan agama.
- Faktor Psikologis
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam faktor psikologis ini adalah, kematangan emosi, toleransi, sikap saling perhatian, saling mengerti kebutuhan masing-masing pihak, dapat saling menyayangi, mempercayai satu sama lain, memiliki keterbukaaan dalam hal komunikasi dan kesiapan diri untuk lepas dari orang tua untuk hidup mandiri.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menikah.
2.2 Intimacy
Intimacy dapat diartikan sebagai sebuah proses berbagi diantara dua orang yang sudah saling memahami sebebas mungkin dalam pemikiran, perasaan dan tindakan (Masters,1992). Sedangkan menurut Olson & Defrain (2006) Intimacy adalah kedekatan dan persasaan hangat yang dimiliki dengan orang – orang tertentu.
Intimacy merupakan inti dari hubungan yang dipenuhi dengan rasa kasih sayang yang dapat ditemui dalam hubungan dengan orangtua, saudara, kekasih, atau teman dekat (Stenberg, 1986). Menurut Erickson dalam Santrrock (2011) intimacy sebagai proses menemukan diri sendiri sekaligus peleburan diri sendiri di dalam diri orang lain; keintiman juga membutuhkan komitmen terhadap orang lain.
Menurut Sternberg dalam triangular theory of love menjelaskan bahwa pasangan yang memiliki intimacy yang tinggi sangat memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan pasangannya, menghormati dan menghargai satu sama lain, dan memiliki tingkat saling pengertian yang tinggi. Serta mereka mempunyai rasa saling memiliki, selalu ingin berbagi, saling memberi dan menerima dukungan emosional dan berkomunikasi secara intim. Sebuah hubungan mencapai keintiman emosional dimana kedua pihak saling terbuka, saling mengerti, saling mendukung dan tidak ada rasa takut ditolak ketika berbicara tentang apapun.
Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa intimacy adalah kedekatan antara dua orang yang dipengaruhi oleh kasih sayang, saling menghormati dan menghargai satu sama lain sehingga dapat membuat seseorang menemukan peleburan dirinya sendiri di dalam diri orang lain.
2.3 Hipotesa
Hipotesa yang dimiliki sementara oleh peneliti adalah terdapat hubungan antara intimasi dan kesiapan menikah pada masa dewasa awal.
Comments :