Hubungan Stress dan Prilaku Merokok

oleh : MEGARINI

1601263921

 

Latar belakang

megarini

Mahasiswa binus terdiri dari berbagai suku di Indonesia. Tidak hanya berasal dari kota Jakarta atau pun pulau jawa saja namun di luar kota pun mahasiswa BINUS banyak. Mereka yang tinggal di luar kota akan jauh dengan orang tua sehingga mereka ngekos atau mengontrak di dekat daerah kampus BINUS. Mahasiswa yang ngekos yang jauh dari orang tua kehidupannya dapat berbeda dengan disaat dia dekat dengan oaring tua. Mahasiwa yang memilki tugas-tugas kuliah dapat mempengaruhi perilaku mahasiswa tersebut. Adanya pemahaman di dalam pergaulan bahwa anak laki-laki yang tidak merokok adalah anak mami, anak kuper dan anak tidak gaul. Pemahan tersebut akan mengubah perilaku mahasiswa tersebut dapat berprilaku merokok setelah mendapat pemahaman tersebut. Perilaku merokok tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja namun wanita pun sekarang sudah ada beberapa diantaranya menunjukan perilaku merokok di tempat kampus. Perilaku merokok dapat terjadi karena banyak faktor. Ada beberapa faktor yang menunjukkan kenapa mahasiswa tersebut menunjukan perilaku merokok. Ada banyak alasan yang melatarbelakangi perilaku merokok pada remaja secara umum menurut Kurt Lewin, bahwa perilaku merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-faktor dari dalam diri, juga disebabkan faktor lingkungan. Selain faktor perkembangan remaja dan kepuasan psikologis, masih banyak faktor dari luar individu yang berpengaruh pada proses pembentukan perilaku merokok (Erikson,1989).

Menurut Lewin (Nasution, 2007) mengungkapkan bahwa “Perilaku merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan individu.” Maksud dari pernyataannya tersebut artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-faktor dari dalam diri, juga disebabkan faktor lingkungan. Pendapat lain dikemukakan oleh Laventhal (Nasution, 2007, h. 8) mengatakan bahwa, “Merokok merupakan tahap awal dilakukan dengan teman-teman (46%), seorang anggota keluarga bukan orang tua (23%), dan orang tua (14%).” Hal ini juga mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Komasari dan Helmi (dikutip dalam Nasution, 2007, h. 8) yang mengatakan bahwa, “Ada tiga faktor penyebab perilaku merokok pada remaja, yaitu kepuasan psikologis, sikap permisif orang tua terhadap perilaku merokok remaja, dan pengaruh teman sebaya.” Faktor-faktor lain yang menyebabkan perilaku merokok di kalangan remaja adalah: Faktor coba-coba. Menurut Oskamp (Nasution, 2007) menyatakan bahwa setelah mencoba rokok pertama, seorang individu menjadi ketagihan merokok, Faktor lingkungan sosial. Lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap, kepercayaan, dan perhatian individu pada perokok. Foktor lingkung bisa terjadi karena Pengaruh keluarga Menurut Baer dan Corado (Nasution, 2007) mengungkapkan bahwa pengaruh yang paling kuat adalah bila orang tua sendiri atau salah satu anggota keluarga menjadi figur contoh yaitu sebagai perokok berat, maka anak-anaknya akan mungkin sekali untuk mencontohnya.Pengaruh teman. Menurut Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa semakin banyak fakta yang menunjukkan perilaku remaja merokok, maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Pengaruh iklan. Menurut Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa, “Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada di dalam iklan tersebut..Faktor psikologis. Menurut Sarafino (Nasution, 2007) mengatakan bahwa, “Merokok dapat bermakna untuk meningkatkan konsentrasi, menghalau rasa kantuk, mengakrabkan suasana, sehingga timbul rasa persaudaraan. Bisa terjadi karena Kebiasaaan, Reaksi emosi yang positif, Reaksi untuk penurunan emosi, Alasan social, Kecanduan atau ketagihan, Depresi dan stress. Faktor tersebut muncul ketika usia remaja. dari beberapa faktor tersebut stress terjadi. Dimana usia remaja belum bisa mengenal apa yang dia lakukan benar atau tidak. Remaja yang mengalami stres ini sangat mungkin mengembangkan perilaku merokok sebagai suatu cara untuk mengatasi stres yang mereka hadapi karena kurangnya perkembangan ketrampilan menghadapi masalah secara kompeten dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (Santrock, 2002).

Bandura dalam teori social learning berasumsi bahwa perilaku dan sistem nilai seorang remaja terbentuk oleh sekumpulan interaksi yang kompleks antara hubungan-hubungan sosial interpersonal. Perilaku bermasalah pada remaja, termasuk merokok, merupakan hasil interaksi antara variabel interpersonal seperti kepribadian, sikap, dan perilaku, dengan sistem lingkungan, termasuk lingkungan keluarga dan teman sebaya (Jessor & Jessor dalam Richardson dkk, 2002). Hal ini sesuai dengan riset yang dilakukan oleh Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KuIS) terhadap 3.040 remaja di Jakarta yang menghasilkan temuan bahwa perilaku merokok dengan motif meringankan ketegangan dan stres menempati urutan tertinggi, yakni 54,59 persen (http://lifestyle.okezone.com). Terkadang masalah yang dihadapinya membuatnya rumit padahal belum tentu serumit itu namun remaja dapat merasa tenang setelah mengkomsumsi rokok. Remaja yang memiliki tanggu jawab dan tak mampu menyelesaikan mereka akan mengalami stress . remaja akan mengkomsumsi rokok pada saat stress itu muncul. Baginya setelah iya mengkomsumsi akan tenang dan mesara masalahnya tidak birat. Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stress akan membuat remaja mencoba atau mengkomsumsi rokok untuk membuatnya tenang. Atkinson dkk (tanpa tahun) menyatakan bahwa perilaku adalah aktivitas suatu organisme yang dapat dideteksi. Munculnya perilaku dari organisme ini dipengaruhi oleh faktor stimulus yang diterima, baik stimulus internal maupun stimulus eksternal. Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena adanya faktor internal (faktor biologis dan faktor psikologis, seperti perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi stres) dan faktor eksternal (faktor lingkungan sosial, seperti terpengaruh oleh teman sebaya). Ada hubungan antara stress dan prilaku merokok yang terjadi pada remaja. Hubungannya adalah ketika remaja mengalami stress akan mudah untuk memunculkan prilaku merokok.

  • Variable

Stress

Stres adalah kondisi ketika individu berada dalam situasi yang penuh tekanan atau ketika individu merasa tidak sanggup mengatasi tuntutan yang dihadapinya (Marks, Murray, Evans, dkk, 2002). Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis ( Chapplin, 1999). Stres juga diterangkan sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya. (McGrath, dan Wedford dalam Arend dkk, 1997). Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga bentuk yaitu:

  1. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.
  2. Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing, serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.
  3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi. Rice (2002) mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Atkinson (2000) mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini sebagai respon stres.Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu. Stress terjadi karena antara keinginan dan harapan tidak sesuai. Stressor atau penyebab stress sendiri bisa terjadi karena 3 faktor yaitu:
  4. faktor eksternal atau lingkungan
  5. faktor internal (psikologis)
  6. faktor biologis

Jika stress pada individu tidak tertangani maka bukan tidak mungkin stress tersebut akan membuat orang menjadi frustasi. Tingkatan stress pada individu satu sama lain pasti berbeda, individual differences tersebut yaitu adanya faktor jenis kelamin, usia, tingkah laku, intelegensi, afeksi, budaya, dll. Karena stress adalah hal yang alamiah maka bukanlah ketakutan berlebihan yang harus terjadi ketika stress datang. Malah kita harus menjadikan stress sebagai tantangan untuk kita agar kita bisa mengelola stress itu dengan baik karena jika stress bisa dikelola dengan baik, stress tersebut akan bisa menjadi bermanfaat untuk kehidupan kita. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penilaian Terhadap Stres Menurut Lazarus dan Folkman (Sarafino, 2006), penilaian individu terhadap sesuatu yang dianggap sebagai sumber stres dipengaruhi oleh dua faktor :

  1. Faktor Individu, meliputi intelektual, motivasi, dan karakter kepribadian.
  2. Faktor Situasi, meliputi besar kecilnya tuntutan keadaan yang dilihat sebagai stres. Lahey (2007) berpendapat bahwa tinggi atau rendahnya stres yang diperoleh individu lebih dipengaruhi oleh reaksi individu itu sendiri. Reaksi masing-masing individu terhadap stres berbedas-berbeda karena :
  3. Pengalaman Stres (Prior Experience with the Stres)

Secara umum, orang yang sudah terbiasa dengan situasi yang menimbulkan stres, akan memiliki stres yang rendah dibandingkan orang yang belum pernah dihadapkan dengan situasi yang menimbulkan stres.

  1. Faktor Perkembangan

Usia dan tahap perkembangan mempengaruhi dampak dari stres yang dialami.

  1. Predictability and Control

Peristiwa yang menyebabkan stres lebih rendah adalah peristiwa- peristiwa yang dapat diprediksi dan dikontrol oleh individu.

  1. Dukungan Sosial

Dukungan sosial dari anggota keluarga dan teman dekat berfungsi untuk meningkatkan “buffer” untuk melawan stres.

Perilaku merokok

Merokok adalah menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya kembali keluar” (Armstrong,Nasution, 2007, h. 6). Sedangkan, menurut Danusantoso (Nasution, 2007) mengatakan bahwa asap rokok selain merugikan diri sendiri juga dapat berakibat bagi orang-orang lain yang berada di sekitarnya. Pendapat lain menyatakan bahwa, “Perilaku merokok adalah sesuatu yang dilakukan seseorang berupa membakar dan menghisapnya, serta dapat menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitarnya” (Levy,Nasution, 2007, h. 6). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok adalah suatu kegiatan atau aktivitas membakar rokok dan kemudian menghisapnya dan menghembuskannya keluar dan dapat menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang di sekitarnya.

Perilaku Merokok di Kalangan Remaja menurut Laventhal dan Dhuyvettere (Nasution, 2007, h. 8) mengungkapkan bahwa, “Kebanyakan perokok mulai merokok antara umur 11 dan 13 tahun dan 85% sampai 95% sebelum umur 18 tahun.” Perilaku merokok merupakan perilaku yang berbahaya bagi kesehatan, tetapi masih banyak orang yang melakukannya. Bahkan orang mulai merokok ketika mereka masih remaja. “Perilaku merokok pada remaja umumnya semakin lama akan semakin meningkat sesuai dengan tahap perkembangannya yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas merokok dan sering mengakibatkan mereka mengalami ketergantungan nikotin” (Laventhal & Cleary, Nasution, 2007). Meningkatnya frekuensi dan intensitas perilaku merokok pada remaja disebabkan oleh adanya reaksi yang ditimbulkan dari zat-zat yang terkandung di dalam rokok. “Efek dari merokok hanya meredakan kecemasan selama efek dari nikotin masih ada, malah ketergantungan nikotin dapat membuat seseorang menjadi tambah stres” (Parrot, Nasution, 2007, h. 1). Menurut Tandra (2003) menyebutkan bahwa “Sekitar 20% dari total perokok di Indonesia adalah remaja dengan rentang usia antara 15 hingga 21 tahun.” Angka yang sangat memprihatinkan dengan meningkatnya jumlah perokok di kalangan remaja, meskipun telah mengetahui dampak buruk rokok bagi kesehatan. Sedangkan menurut Tulakom dan Bonet (Nasution, 2007, h. 3) mengatakan bahwa, “Meningkatnya prevalensi merokok di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia terutama di kalangan remaja menyebabkan masalah merokok menjadi semakin serius.” Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok pada Remaja Ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjawab mengapa seseorang terutama bagi kalangan remaja melakukan tindakan merokok. Menurut Levy (Nasution, 2007) mengatakan bahwa setiap individu mempunyai kebiasaan merokok yang berbeda dan biasanya disesuaikan dengan tujuan mereka untuk merokok. Pendapat tersebut juga didukung oleh Smet (Nasution, 2007, h. 8) yang menyatakan bahwa, “Seseorang merokok karena faktor-faktor socio cultural seperti kebiasaan budaya, kelas sosial, gengsi, dan tingkat pendidikan.”

Menurut Lewin (Nasution, 2007) mengungkapkan bahwa “Perilaku merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan individu.” Maksud dari pernyataannya tersebut artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-faktor dari dalam diri, juga disebabkan faktor lingkungan. Pendapat lain dikemukakan oleh Laventhal (dikutip dalam Nasution, 2007, h. 8) mengatakan bahwa, “Merokok merupakan tahap awal dilakukan dengan teman-teman (46%), seorang anggota keluarga bukan orang tua (23%), dan orang tua (14%).” Hal ini juga mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Komasari dan Helmi (Nasution, 2007, h. 8) yang mengatakan bahwa, “Ada tiga faktor penyebab perilaku merokok pada remaja, yaitu kepuasan psikologis, sikap permisif orang tua terhadap perilaku merokok remaja, dan pengaruh teman sebaya.” Faktor-faktor lain yang menyebabkan perilaku merokok di kalangan remaja adalah: Faktor coba-coba. Menurut Oskamp (Nasution, 2007) menyatakan bahwa setelah mencoba rokok pertama, seorang individu menjadi ketagihan merokok, dengan alasan-alasan seperti kebiasaan, menurunkan kecemasan, dan mendapatkan penerimaan. Sehingga, berawal dari hanya mencoba-coba, seorang remaja dapat menjadi ketagihan untuk menghisap rokok disebabkan oleh efek yang ditimbulkan dari rokok tersebut. Faktor lingkungan sosial. Lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap, kepercayaan, dan perhatian individu pada perokok. Seseorang akan berperilaku merokok dengan memperhatikan lingkungan sosialnya (“Mengapa Remaja Merokok,” 2004). Pengaruh keluarga. Pengaruh keluarga merupakan salah satu bentuk dari faktor lingkungan sosial yang menyebabkan seorang remaja berperilaku merokok. Pengaruh keluarga meliputi meniru perilaku salah satu anggota keluarga dan hubungan keluarga yang tidak harmonis. Meniru perilaku salah satu anggota keluarga. Menurut Baer dan Corado (Nasution, 2007) mengungkapkan bahwa pengaruh yang paling kuat adalah bila orang tua sendiri atau salah satu anggota keluarga menjadi figur contoh yaitu sebagai perokok berat, maka anak-anaknya akan mungkin sekali untuk mencontohnya. Dengan mencontoh perilaku merokok yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga, khususnya orang tua, dapat menyebabkan seorang anak atau remaja menjadi seorang perokok. Hubungan keluarga yang tidak harmonis. Hubungan keluarga yang tidak harmonis ataupun keluarga yang bermasalah, juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku merokok di kalangan remaja. Mereka menjadikan perilaku merokok sebagai bentuk pelampiasan perasaannya yang kurang mendapatkan perhatian dari anggota keluarganya.

Menurut Baer dan Corado (Nasution, 2007) mengatakan bahwa remaja perokok adalah anak-anak yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia. Orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dibandingkan dengan remaja yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia. Remaja yang berasal dari keluarga konservatif akan lebih sulit untuk terlibat dengan rokok maupun obat-obatan dibandingkan dengan keluarga yang permisif. Perilaku merokok lebih banyak didapati pada mereka yang tinggal dengan satu orang tua (Single Parent). Pengaruh teman. Menurut Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa semakin banyak fakta yang menunjukkan perilaku remaja merokok, maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Dari pernyataan tersebut, ada dua kemungkinan yang terjadi dari fakta tersebut, pertama remaja tersebut yang terpengaruh oleh teman-temannya atau malah sebaliknya. Pengaruh iklan. Menurut Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa, “Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada di dalam iklan tersebut.” Sehingga, iklan rokok juga memiliki pengaruh yang cukup besar bagi remaja untuk melakukan tindakan merokok karena ingin terlihat seperti apa yang digambarkan di dalam iklan rokok tersebut. Faktor psikologis. Menurut Sarafino (Nasution, 2007) mengatakan bahwa, “Merokok dapat bermakna untuk meningkatkan konsentrasi, menghalau rasa kantuk, mengakrabkan suasana, sehingga timbul rasa persaudaraan. Merokok juga dapat memberikan kesan modern dan berwibawa, sehingga bagi individu yang sering bergaul dengan orang lain, perilaku merokok sulit untuk dihindari.” Sedangkan menurut Laventhal dan Cleary (Nasution, 2007) mengatakan bahwa faktor psikologis terbagi ke dalam lima bagian, yaitu: Kebiasaan. Perilaku merokok menjadi sebuah perilaku yang harus tetap dilakukan tanpa adanya motif yang bersifat negatif maupun positif. Seseorang merokok hanya untuk meneruskan perilakunya tanpa tujuan tertentu. Reaksi emosi yang positif. Merokok digunakan untuk menghasilkan emosi yang positif, misalnya rasa senang, relaksasi, dan kenikmatan rasa. Merokok juga dapat menunjukkan kejantanan (kebanggaan diri) dan menunjukkan kedewasaan. Reaksi untuk penurunan emosi. Merokok ditujukan untuk mengurangi rasa tegang, kecemasan biasa, ataupun kecemasan yang timbul karena adanya interaksi dengan orang lain. Alasan sosial. “Merokok ditujukan untuk mengikuti kebiasaan kelompok (umumnya pada remaja dan anak-anak), identifikasi dengan perokok lain, dan untuk menentukan image diri seseorang. Merokok pada anak-anak juga dapat disebabkan adanya paksaan dari teman-temannya” (“Remaja dan Rokok,” 2002). Kecanduan atau ketagihan. Seseorang merokok karena mengaku telah mengalami kecanduan. Kecanduan terjadi karena adanya nikotin yang terkandung di dalam rokok. Semula hanya mencoba-coba rokok, tetapi akhirnya tidak dapat menghentikan perilaku tersebut karena kebutuhan tubuh akan nikotin. Depresi dan stres. Rasa depresi dan stres juga dapat menimbulkan reaksi seseorang atau remaja untuk melakukan tindakan merokok.

Pengaruh dari rokok yang diperkirakan dapat menimbulkan ketenangan, menjadi salah satu penyebab yang mendorong remaja yang mengalami depresi dan stres melakukan tindakan merokok. Menurut “Remaja dan Rokok” (2002) mengatakan bahwa hubungan antara stres dengan merokok pada remaja, adanya perubahan emosi selama merokok. Merokok dapat membuat orang yang stres menjadi tidak stres lagi. Perasaan ini tidak akan lama, begitu selesai merokok, mereka akan merokok lagi untuk mencegah agar stres tidak terjadi lagi. Keinginan untuk merokok kembali timbul karena ada hubungan antara perasaan negatif dengan rokok, yang berarti bahwa para perokok merokok kembali agar mejaga mereka terhindar dari stres. Menurut Wills (Nasution, 2007) mengatakan bahwa, “Jumlah rokok yang dikonsumsi oleh kalangan remaja berkaitan dengan stres yang mereka alami, semakin besar stres yang dialami, semakin banyak rokok yang mereka konsumsi.” Hal inilah yang menjadikan perilaku merokok, khususnya di kalangan remaja sebagai bentuk pelampiasan dari rasa depresi dan stres, untuk mencari ketenangan di dalam hidupnya. Ada faktor lainnya, Faktor Individu Erik H. Erikson (Komalasari & Helmi, 2000) menyatakan bahwa keputusan seorang remaja untuk merokok berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya, yaitu masa mencari identitas diri seperti usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya dalam masyarakat. Dalam masa remaja ini, sering dilukiskan sebagai masa badai dan topan karena ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan sosial. Tugas utama seorang remaja adalah mengintegrasikan berbagai macam identifikasi yang mereka bawa dari masa kanak-kanak menuju identitas yang lebih utuh (Miller, 1993). Usaha-usaha untuk menemukan identitas diri tersebut tidak semuanya berjalan sesuai harapan, oleh karenanya beberapa remaja melakukan perilaku merokok sebagai cara kompensatoris.

Di sisi lain, saat pertama kali mengonsumsi rokok, gejala-gejala yang mungkin terjadi adalah batuk-batuk, lidah terasa getir, dan perut mual. Namun demikian, sebagian dari para pemula tersebut mengabaikan perasaan tersebut, biasanya berlanjut menjadi kebiasaan, dan akhirnya menjadi ketergantungan. Ketergantungan ini dipersepsikan sebagai kenikmatan yang memberikan kepuasan psikologis. Gejala ini dapat dijelaskan dari konsep tobacco dependency (ketergantungan rokok). Artinya, perilaku merokok merupakan perilaku yang menyenangkan dan bergeser menjadi aktivitas yang bersifat obsesif. Hal ini disebabkan sifat nikotin adalah adiktif, jika dihentikan secara tiba-tiba akan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Secara manusiawi, orang cenderung untuk menghindari ketidakseimbangan dan lebih senang mempertahankan apa yang selama ini dirasakan sebagai kenikmatan sehingga dapat dipahami jika para perokok sulit untuk berhenti merokok (Komalasari & Helmi, 2000). Selain karena krisis psikososial dan kepuasan psikologis, perilaku merokok pada remaja juga dapat timbul karena pengaruh emosi yang menyebabkan seorang individu mencari relaksasi. Merokok dianggap dapat memudahkan berkonsentrasi, memperoleh pengalaman yang menyenangkan, relaksasi, dan mengurangi ketegangan atau stres (Aritonang dalam Komalasari & Helmi, 2000). Saat ini para remaja menghadapi berbagai tuntutan, harapan, resiko-resiko, dan godaan-godaan yang nampaknya lebih banyak dan kompleks daripada yang dihadapi para remaja generasi sebelumnya. Semua ini sangat berpotensi menyebabkan remaja merasa tertekan dan stres. Remaja yang mengalami stres ini sangat mungkin mengembangkan perilaku merokok sebagai suatu cara untuk mengatasi stres yang mereka hadapi karena kurangnya perkembangan ketrampilan menghadapi masalah secara kompeten dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (Santrock, 2002). Hal ini sesuai dengan riset yang dilakukan oleh Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KuIS) terhadap 3.040 remaja di Jakarta yang menghasilkan temuan bahwa perilaku merokok dengan motif meringankan ketegangan dan stres menempati urutan tertinggi, yakni 54,59 persen (http://lifestyle.okezone.com).

Keterhubungan antara perilaku merokok dan stres telah diteliti oleh para ahli sejak tiga dekade yang lalu. Fink (2007) mencatat bahwa terdapat beberapa penemuan yang mengindikasikan bahwa secara klinis dan teoritis memang terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku merokok, stres, dan coping. Individu dengan masalah psikiatri seperti gangguan major depressive, berbagai macam gangguan kecemasan, schizophrenia, gangguan kepribadian antisosial, dan individu dengan trait kepribadian tertentu yang menyebabkan mereka lebih sering mengalami distres pribadi lebih mungkin untuk merokok. Contohnya, trait kepribadian neuroticism (kecenderungan umum untuk mengalami perasaan negatif dan stres) ternyata berhubungan dengan tingginya prevalensi perilaku merokok. Beberapa hasil penelitian terhadap keluarga, saudara kembar, dan molekul genetis memperlihatkan bahwa faktor genetis memainkan peran penting dalam perilaku merokok dan respon terhadap stres. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa terdapat banyak gen yang berperan ganda, mempengaruhi seorang individu untuk merokok dan membuat seorang individu cenderung mengembangkan trait kepribadian dan gangguan psikiatri yang berhubungan dengan stres. Perilaku merokok juga seringkali digunakan sebagai cara untuk mengatasi stres meskipun merokok bukanlah cara coping yang sehat atau menguntungkan (Wills & Cleary dalam Davison, 2006). Seorang mantan perokok seringkali memutuskan untuk mulai merokok lagi ketika mereka mengalami stres karena kebanyakan perokok telah belajar bahwa merokok merupakan cara untuk mengurangi stres (Brandon, 2000). Hal ini berarti bahwa perilaku merokok akan terjadi dan akan dialami sebagai sebuah ganjaran (reward) bagi para perokok (Fink, 2007).

 

  • Hubungan Stress dan Prilaku Merokok

Stres juga dapat menimbulkan reaksi seseorang atau remaja untuk melakukan tindakan merokok. Pengaruh dari rokok yang diperkirakan dapat menimbulkan ketenangan, menjadi salah satu penyebab yang mendorong remaja yang mengalami depresi dan stres melakukan tindakan merokok. Menurut “Remaja dan Rokok” (2002) mengatakan bahwa hubungan antara stres dengan merokok pada remaja, adanya perubahan emosi selama merokok. Merokok dapat membuat orang yang stres menjadi tidak stres lagi. Perasaan ini tidak akan lama, begitu selesai merokok, mereka akan merokok lagi untuk mencegah agar stres tidak terjadi lagi. Keinginan untuk merokok kembali timbul karena ada hubungan antara perasaan negatif dengan rokok, yang berarti bahwa para perokok merokok kembali agar mejaga mereka terhindar dari stres. Menurut Wills (Nasution, 2007) mengatakan bahwa, “Jumlah rokok yang dikonsumsi oleh kalangan remaja berkaitan dengan stres yang mereka alami, semakin besar stres yang dialami, semakin banyak rokok yang mereka konsumsi.” Hal inilah yang menjadikan perilaku merokok, khususnya di kalangan remaja sebagai bentuk pelampiasan dari rasa depresi dan stres, untuk mencari ketenangan di dalam hidupnya.

  • Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas stress memiliki hubungan dengan prilaku merokok. Berdasarkan stres juga dapat menimbulkan reaksi seseorang atau remaja untuk melakukan tindakan merokok. Pengaruh dari rokok yang diperkirakan dapat menimbulkan ketenangan, menjadi salah satu penyebab yang mendorong remaja yang mengalami depresi dan stres melakukan tindakan merokok. Menurut “Remaja dan Rokok” (2002) mengatakan bahwa hubungan antara stres dengan merokok pada remaja, adanya perubahan emosi selama merokok. Merokok dapat membuat orang yang stres menjadi tidak stres lagi. Perasaan ini tidak akan lama, begitu selesai merokok, mereka akan merokok lagi untuk mencegah agar stres tidak terjadi lagi. Keinginan untuk merokok kembali timbul karena ada hubungan antara perasaan negatif dengan rokok, yang berarti bahwa para perokok merokok kembali agar mejaga mereka terhindar dari stres. Menurut Wills (Nasution, 2007) mengatakan bahwa, “Jumlah rokok yang dikonsumsi oleh kalangan remaja berkaitan dengan stres yang mereka alami, semakin besar stres yang dialami, semakin banyak rokok yang mereka konsumsi.” Hal inilah yang menjadikan perilaku merokok, khususnya di kalangan remaja sebagai bentuk pelampiasan dari rasa depresi dan stres, untuk mencari ketenangan di dalam hidupnya.