HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DENGAN SELF ESTEEM REMAJA PUTRI YANG AKTIF DALAM PERILAKU GYMNASTIC

 

 

 

 

Disusun Oleh:

JESSI JULIANTI

1601277826

 

 

 

 

                                                                                             

 

JAKARTA, 2015

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1       LATAR BELAKANG

jessi

Konsep diri sangat diperlukan untuk dapat memahami tentang manusia dan perilakunya. Tidak ada dua orang manusia sekalipun yang mempunyai konsep diri yang sama. Konsep diri muncul dan atau dipelajari berdasarkan pengalaman internal masing-masing individu, hubungan dengan orang lain, dan interaksi dengan dunia luar. Karena konsep diri merupakan frame dari seseorang untuk berinteraksi dengan dunia, maka hal ini sangat mempengaruhi perilaku seseorang (Stuart dan Laraia, 2005). Konsep diri yang positif memungkinkan seseorang untuk menemukan kebahagiaan dalam hidup, dan juga untuk mengatasi kekecewaan dan perubahan hidup.salah satu contoh dari konsep diri itu sendiri adalah body image atau citra diri.

Body image sebagai salah satu dari konsep diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya sendiri secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potwnsi tubuh saat ini dan masa lalu tyang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Stuart and Sundeen, 1991). Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisan dari lingkungan (Keliat, 1992)

Body image menurut Honigman dan Castle (2006) adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsi dan memeberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan belum tentu benar-benar mempresentasikan keadaan yang sebenarnya, namun lebih merupakan hasil penilaian dan evaluasi diri yang subjektif.

Hardy dan Hayes (1988) menambahkan body image merupakan sebagian dari konsep diri yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik. Konspe diri adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Aspek tama dalam konsep diri adalah body image yaitu suatu kesadaran individu dan penerimaan terhadap diri sendiri. Perkembangan body image tergntung pada hubungan sosial dan merupakan proses yang panjang dan sering kali tidak menyenangkan, karena body image yang selalu diproyeksikan tidak selalu positif.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan body image adalah jenis kelamin, usia, media massa, keluarga, dan interpersonal. Classer (2001) menyatakan bahwa jenis kelamin adalah faktor paling penting dalam perkembangan body image seseorang. Deacey dan Kenny (2001) juga sependaoat bahwa jenis kelamin mempengaruhi body image. Beberapa penelitian yang sudahdilakukan menyatakan bahwa wanita lebih negatif memandang body image dibandingan pria (Cash & Brown, 1989: Davidson & McCabe, 2005:Demarest & Allen, 2000: Rozin & Fallon, 1988 dalam Hubley & Quinlan, 2005)) pria ingin bertubuh besar dikarenakan mereka ingin tampil percaya diri di depan teman-temannya dan mengikuti trend yang sedang berlangsung. Sedangkan wanita ingin memiliki tubuh kurus menyerupai ideal yang digunakan untuk menarik perhatian lingkungannya. Usaha yang dilakukan pria untuk membuat tubuh lebih berotot dipengaruhi oleh gambar dimedia massa yang memperlihatkan model pria yang kekar dan berotot. Sedangkan wanita cenderung untuk menurunkan berat badan disebabkan oleh artikel dalam majalah wanita yang sering membuat artikel promosi tentang penurunan berat badan (Anderson & Didomenico, 1992).

Faktor selanjutnya adalah usia. Pada tahapan perkembangan remaja, body image menjadi penting (Papalia & Olds, 2003). Hal ini berdampak pada usaha berlebihan remaja untuk mengontrol berat badan. Umumnya lebih sering terjadi pada remaja putra daripada remaja pria. Menurut Santrock (2005) salah satu aspek psikologis dari perubahan fisik pada masa pubertas adalah remaja menjadi amat memperhatikan tubuh mereka dan membangun citranya sendiri mengenai bagiamana tubuh mereka tampaknya. Perubahan fisik dan emosi yang tidak stabil seringkali menimbulkan ketidakpuasan citra tubuh di kalangan remaja putri. Menurut teori fase perkembangan dari Erik Erikson (1963), masa remaja masuk ke dalam fase Identity vs Identity Confusion yang dimulai pada saat masa pubertas dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Sehingga fokus mengenai pertambahan berat badan merupakan topik yang dominan pada tahap ini. Remaja mengalami perubahan fisik yang signifikan dalam tubuh mereka selama masa pubertas, sehingga ketika remaja akhir mereka mengalami persepsi yang berbeda-beda mengenai body image mereka masing-masing (Jillian Croll, 2005). Body Image sendiri merupakan konstruk multidimensional yang mencerminkan bagaimana individu berpikir, merasakan, dan bertingkah laku berkaitan dengan atribut-atribut fisik individu (Cash, 2002).

Hal-hal yang menyebabkan remaja wanita tidak dapat menerima diri sendiri secara fisik seperti tinggi badan, berat badan, ukuran tubuh, bahkan waut wajah. Remaja wanita sangat peka terhadap penampilan dirinya dan merenung perihal bagaimana wajahnya, apakah orang lain menyukai wajahnya serta selalu menggambarkan dan mengembangkan seperti apa tubuhnya dan apa yang diiginkan dari tubuhnya.

Apabila remaja putri dapat mengalami dan menerima segala pengalaman yang selaras dengan struktur dirinya, individu akan lebih mudah memahami orang lain, menerima orang lain sebagai indivdu dan memiliki penyesuaian diri yang sehat. Sebaliknya, bila pengalaman kehidupan yang dialami ditolak karena tidak sesuai dengan struktir dirinya akan diamati sebagai ancaman. Selanjutnya struktur dirinya akan mempertahankan diri dan menyimpang, mempertahankan gambaran diri yang palsu, dan mengakibatkan pribadi menjadi individu yang tidak mampu menyesuaikan dirinya (Kurniati 2004).

Selain melakukan penilaian terhadap tubuhnya, remaja wanita tentunya juga melakukan penilaian terhadap keberhargaan dirinya. Harga diri (self-esteem) diartikan sebagai taraf atau derajat seseorang menilai dirinya sendiri (Reber & Reber, 2010). Menurut Baumeister (Santrock, 2007) harga diri tinggi dapat merujuk pada persepsi yang tepat atau benar mengenai martabatnya sebagai seorang pribadi, termasuk keberhasilan dan pencapaiannya. Sebaliknya individu dengan harga diri rendah mempersepsikan dirinya memiliki keterbatasan, penyimpangan, atau bahkan kondisi yang tidak aman. Kaitan antara citra tubuh dan harga diri diungkapkan oleh Burn (dalam Sari, 2012) yang mengemukakan lima faktor yang mempengaruhi harga diri yaitu pengalaman, pola asuh, lingkungan, sosial ekonomi, dan citra tubuh. Henggaryadi dan Fakhurrozi (dalam Sari, 2012) mengemukakan bahwa semakin menarik atau efektif kepercayaan diri terhadap tubuh maka semakin positif harga diri yang dimiliki, karena citra tubuh positif akan meningkatkan nilai diri, kepercayaan diri, serta mempertegas jati diri terhadap orang lain maupun dirinya sendiri, yang akan mempengaruhi harga diri. Hubungan antara citra tubuh dan harga diri juga diperlihatkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sari (2012) yang meneliti tentang kaitan antara citra tubuh dan harga diri pada dewasa awal tuna daksa, hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara body image dan self esteem pada dewasa awal tuna daksa.

Banyak usaha yang dilakukan para remaja putri untuk membentuk tubuh yang ideal dan proporsional agar menjadi kurus (Dacey dan Kenny, 2001). Pada umumnya mereka melakukan perilaku diet. Salah satu contoh perilaku diet adalah dengan melakukan kegiatan kebugaran atau gymnastic. Sears (dalam Nugraha, 2010) mengemukakan bahwa perilaku gym merupakan gaya hidup yang melibatkan unsur latihan (beban dan aerobik), pengaturan pola makan, dan istirahat dalam kadar yang proporsional. Olahraga gym muncul sebagai fenomena baru, serta tumbuh dan berkembang mengikuti gaya hidup modern, khususnya di kota-kota besar. Menurut Febrianto (2013), perilaku gym kini bukan hanya sebagai media untuk menjaga kebugaran dan membentuk tubuh menjadi lebih ideal, akan tetapi juga menjadi gaya hidup di masyarakat. Masyarakat di kota-kota besar cenderung memilih perilaku gym sebagai olahraga mereka karena praktis dan mudah, tanpa harus mencari tempat atau lapangan terbuka di tengah kepadatan kota besar (Yudha, 2006). Selain karena praktis dan mudah, para pelaku perilaku gym memiliki beragam alasan dalam melakukan latihan perilaku gym yaitu untuk mempertahankan kebugaran dan kesehatan fisik, ataupun untuk mendapatkan tubuh ideal (Yudha, 2006). Seperti individu pada umumnya, wanita yang melakukan perilaku gym melakukan penilaian terhadap tubuhnya dengan membandingkannya dengan orang lain yang dianggap ideal. Teori komparasi sosial (Dorian & Garfinkel dalam Herabadi, 2007) menyatakan bahwa setiap orang akan membandingkan antara keadaan dirinya sendiri dengan keadaan orang lain yang mereka anggap sebagai pembanding yang realistis. wanita yang memiliki proporsi tubuh yang ideal belum tentu memiliki penilaian positif terhadap tubuhnya. Vilegas dan Tinsley (dalam Herabadi, 2007) mengemukakan bahwa tidak mengherankan jika orang-orang yang sebenarnya memiliki proporsi tinggi badan serta berat badan yang normal mungkin saja memiliki penilaian yang negatif mengenai tubuhnya karena menggunakan tubuh model-model yang dilihatnya di media massa sebagai pembanding.

Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan, dapat diasumsikan bahwa pada usia remaja bentuk tubuh yang ideal merupakan salah satu hal yang penting dan sangat diperhatikan demi membentuk sebuah harga diri. Hal ini yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian terhadap hubungan antara body image dengan self esteem pada remaja wanita yang aktif dan perilaku gymnastic. Peneliti ingin melihat ada tidaknya hubungan antara citra tubuh dengan harga diri pada wanita yang aktif dalam perilaku gym.

 

1.2 PERTANYAAN PENELITIAN

Apakah terdapat hubungan antara body image dengan self esteem pada remaja wanita yang aktif dalam perilaku gymnastic?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat harga diri pada remaja wanita yang melakukan perilaku gym dan mengaitkan dengan ada maupun tidaknya hubungan antara citra tubuh dengan harga diri yang dimiliki oleh para wanita remaja yang juga aktif di dalam perilaku gymnastic.

  • MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara body image dengan self esteem pada remaja wanita yang aktif dalam perilaku gym.

1.1.1    MANFAAT PRAKTIS

  1. Penelitian ini berguna untuk memecahkan permasalahan praktis. Bagi peneliti, diharapkan peneliti mendapatkan informasi mengenai hubungan antara citra tubuh dengan harga diri pada wanita remaja yang melakukan perilaku gymnastic.
  2. Bagi subjek penelitian, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi mengenai citra tubuh dan hubungannya dengan harga diri mereka.
  3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi para wanita remaja yang akan melakukan atau sedang melakukan perilaku gymnastic.

 

  • MANFAAT TEORITIS

Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya juga mengembangkan teori-teori yang telah ada pada ranah psikologi perkembangan, psikologi klinis, dan psikologi sosial terkait dengan body image dan perkembangannya pada harga diri seorang wanita remaja. Serta bermanfaat juga bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut.

 

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1       BODY IMAGE

2.1.1    PENGERTIAN BODY IMAGE

Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman-pengalaman baru setiap individu (Stuart and Sundeen, dalam Kelliat 1992).

Body image berhubungan dengan kepribadian. Cara individu memandang diri mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya. Pandangan yang realistik terhadap diri, menerima dan mengukur bagian tubuh akan memberi rasa aman, sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri (Keliat, 1992).

Menurut Chaplin (2002) body image adalah ide seseorang mengenai betapa penampilan badannya dihadapan orang lain. Kadang kala dimasukkan pula konsep mengenai fungsi tubuhnya. Body image adalah bagaimana cara pandang seseorang terhadap tubuhnya sendiri. Orang yang memiliki body image positif mencerminkan tingginya penerimaan jati diri, rasa percaya diri dan kepeduliannya terhadap kondisi badannya

Menurut Honigman dan Castle (cit. Melliana, 2006) body image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang subyektif. Citra tubuh pada umumnya berhubungan dengan remaja wanita daripada remaja pria, remaja wanita cenderung untuk memperhatikan penampilan fisik (Mappiare, 1982)

Hal-hal yang menyebabkan remaja wanita tidak menerima physical selfnya misalnya : tinggi badan, kemasakkan fisik, jerawat. Remaja wanita sangat peka terhadap penampilan dirinya dan merenung perihal bagaimana wajahnya, apakah orang lain menyukai wajahnya serta selalu menggambarkan dan mengembangkan seperti apa tubuhnya dan apa yang diinginkan dari tubuhnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa citra tubuh adalah pemikiran atau konsep tentang fisik berupa penilaian diri yang subyektif, evaluasi terhadap diri berdasarkan bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya, dimana berfungsi sebagai bentuk kontrol sosial. Selain itu termasuk di dalamnya kesadaran individu dan bagaimana penerimaan terhadap physical self, yang kemudian akan mendatangkan perasaan senang atau tidak senang terhadap tubuhnya, sehingga mempengaruhi proses berfikir, perasaan, keinginan, nilai maupun perilakunya. Citra tubuh selalu berubah-ubah karena dikembangkan selama hidup melalui pola interaksi dengan orang lain.

2.1.2    ASPEK-ASPEK BODY IMAGE

Menurut Suryanie (2005) aspek-aspek dalam citra tubuh yaitu

  • Aspek persepsi terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan secara keseluruhan,
  • Aspek perbandingan dengan orang lain, dan aspek reaksi terhadap orang lain.
  • Aspek penilaian atau pengukuran, perasaan dan harapan yang menyertai objek citra tubuh menjadi dasar pengukuran terhadap citra tubuh. Pengukuran terhadap aspek-aspek tersebut menghasilkan kepuasan atau ketidakpuasan seseorang terhadap bentuk-bentuk khusus tubuhnya.

2.1.3    FAKTOR-FAKTOR YANG MPENGARUHI BODY IMAGE

Menurut Schonfeld (cit. Suryanie, 2005) faktor-faktor yang mempengaruhi citra tubuh antara lain :

  • Reaksi orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan orang lain, agar dapat diterima oleh orang lain. Ia akan memperhatikan pendapat atau reaksi yang dikemukakan oleh lingkungannya termasuk pendapat mengenai fisiknya.
  • Perbandingan dengan orang lain atau perbandingan dengan cultural idea. Wanita cenderung lebih peka terhadap penampilan dirinya dan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain atau lingkungan disekitarnya.
  • Identifikasi terhadap orang lain. Beberapa orang merasa perlu menyulap diri agar serupa atau mendekati idola atau simbol kecantikan yang dianut agar merasa lebih baik dan lebih menerima keadaan fisiknya.
  • Faktor-faktor sosiokultural mempunyai peranan penting dalam citra tubuh. Dalam lingkungan sosial tertentu ada anggapan masyarakat mengenai tubuh ideal seperti : tubuh ramping, kaki panjang, dan wajah menarik. Ciri seperti ini banyak digambarkan melalui majalah dan tubuh ideal ini cenderung disukai banyak kalangan. Selain itu perbandingan perkembangan fisik dengan orang lain dan reaksi orang lain terhadap fisiknya juga mempengaruhi citra tubuh.

 

  • KOMPONEN BODY IMAGE.

Menurut Keaton, Cash dan Brown mengatakan body image memiliki dua komponen yaitu :

  • Komponen persepsi, meliputi bagaimana individu menggambarkan kondisi fisiknya yaitu mengukur tingkat keakuratan persepsi seseorang dalam mengestimasi ukuran tubuh seperti tinggi atau pendek, cantik atau jelek, putih atau hitam, kuat atau lemah. Bila ada gangguan pada komponen persepsi, maka gangguan body image yang dialami adalah distorsi body image. Apabila individu mengalami distorsi body image (body image distortion) maka ia tidak mampu memperkirakan (mengestimasi) ukuran tubuhnya secara tepat (Cash dkk, 2003). Komponen persepsi dalam body image melibatkan komponen sensory dan non sensory. Komponen sensory mengacu pada respon sistem penglihatan, termasuk retina dan korteks. Sedangkan komponen nonsensory kadang-kadang dikarakteristikan sebagai faktor kognitif atau afektif yang mengacu pada interpretasi otak pada input visual.
  • Komponen sikap, yaitu berhubungan dengan kepuasan dan ketidakpuasan individu terhadap bagian-bagian tubuh yang meliputi wajah, mata, bibir, hidung, mata, rambut dan keseluruhan tubuh yang meliputi proporsi tubuh, bentuk tubuh, penampilan fisik. Bila ada gangguan pada komponen sikap, maka gangguan body image yang dialami adalah ketidakpuasan tubuh (body image dissatisfaction), ketidakpuasan body image dapat dilihat dari bagaimana individu menilai tubuhnya. Bila individu menilai penampilan tidak sesuai dengan standar pribadinya, maka ia akan menilai rendah tubuhnya. Ketidakpuasan individu terhadap tubuhnya dapat menyebabkan individu mempunyai harga diri yang rendah atau bahkan depresi, kecemasan sosial dan menarik diri dari situasi sosial (Cash dkk, 2003). Jadi ketidakpuasan akan bentuk tubuh muncul jika ada gangguan pada komponen sikap.

Muth & Cash (1997) Komponen sikap body image terdiri dari dua dimensi, yaitu body image evaluation dan body image investment. Evaluasi mengarah pada penilaian individu mengenai penampilan fisiknya yang menghasilkan perasaan kepuasan dan ketidakpuasan tubuh. Cash & szymanski (1995 dalam Cash, 2002) menyatakan bahwa evaluasi body image berakar dari derajat kesenjangan dan kesesuaian antara karakter fisik diri yang diyakini individu dan nilai fisik ideal yang dihargai oleh individu. Dimensi evaluation/affect terdiri dari sejumlah konsep seperti kepuasan tubuh secara global, emosi yang kaitannya dengan self-evaluation tubuh, ketidakpuasan terhadap beberapa aspek tubuh, kesenjangan antara persepsi tubuh dan tubuh ideal yang diinternalisasikan, serta penilaian kognitif yang berkaitan dengan penampilan. Ketidakpuasaan body image yang diungkapkan melalui dimensi evaluasi merupakan aspek yang penting karena diyakini dapat menangkap pengalaman internal individu (Thompson,1999)

Sedangkan body image investment mengacu pada penilaian individu terhadap tubuhnya melalui pikiran, perasaan, maupun tindakan seseorang dalam usaha untuk mengatur dan meningkatkan penampilannya. Dimensi investment meliputi penilaian kognitif seseorang pada penampilan, perhatian pada penampilan, pentingnya penampilan pada diri seseorang dan manifestasi tingkah laku seseorang dalam usaha untuk mengatur dan meningkatkan penampilannya (Muth & Cash, 1997).

2.1.5    TEORI BODY IMAGE

Walaupun ada beberapa teori yang telah dikemukakan untuk menjelaskaan masalah citra tubuh, banyak peneliti yang berpendapat bahwa faktor masyarakat dan budaya memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk, mengembangkan, dan mempertahankan masalah citra tubuh pada masyarakat. Teori sosiokultural menyebutkan bahwa masyarakatlah yang menentukan standar sosial mengenai apa yang cantik dan apa yang menarik (Heinberg, dalam Thompson 1996). Thompson (1996) juga berpendapat bahwa norma budaya memiliki peranan dalam mempengaruhi perkembangan tingkah laku dan sikap yang berhubungan dengan citra tubuh.

Teori sosiokultural juga menekankan pentingnya peran media dalam menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan harapan tentang fisik ideal. Media menyediakan informasi yang sangat banyak tentang cara memperoleh tubuh ideal, contohnya : melalui diet, olahraga dan pemakaian suplemen. Akibatnya, banyak individu yang keliru karena meyakini bahwa tubuh ideal yang ditampilkan tersebut mudah diperoleh dan hal itu mempengaruhi sikap mereka terhadap tubuhnya (Thompson et al, 1999).

Dua teori berikut ini merupakan perkembangan dari teori sosiokultural :

  • Teori self discrepancy, Sejumlah peneliti menggunakan alat ukur yang terdiri dari perbandingan ukuran tubuh yang dipersepsikan dalam gambar skema dengan ukuran ideal yang dipilih (Fallon & Rozin, 1985 dalam Thompson 1999). Berdasarkan penelitian ini dan besarnya tekanan sosial budaya mengenai berat badan dan penampilan tubuh ideal, Thompson (1999) menyusun hipotesis self-ideal discrepancy untuk menjelaskan perkembangan gangguan citra tubuh. Teori ini menekankan pada kecenderungan individu untuk membandingkan penampilan yang mereka persepsikan dengan standar ideal yang mereka imajinasikan atau standar ideal lain. Teori self discrepancy menghubungkan jarak antara persepsi konsep diri individu dengan standar pribadi individu tersebut. Kesenjangan diri terfokus pada kecenderungan individu untuk membandingkan penampilan yang mereka persepsi (aktual) dengan penampilan ideal yang mereka bayangkan atau orang lain yang ideal (Cash & J.K Thompson, 1999). Berdasarkan teori ini, individu yang mempersepsi dirinya cocok dengan yang ideal akan memiliki diskrepansi yang kecil sehingga memiliki citra tubuh yang posittif. Namun pada individu yang merasa dirinya tidak cocok atau memiliki diskrepansi yang besar dengan gambaran ideal, akan memiliki citra tubuh yang negative (Henderson-King, 1997;dalam domil, 2003).
  • Teori social comparisons, teori social comparisons (perbandingan sosial) dari Festinger (1954) menyatakan bahwa seseorang mengevaluasi kemampuan dan opini dirinya dengan membandingkannya terhadap orang lain. Menurut Festinger (1954, dalam Thompson 1996) manusia memiliki kecenderungan bawaan untuk mendapatkan informasi mengenai dirinya melalui proses perbandingan social. Proses ini terjadi ketika individu merasakan ketidakpastian atau ketidakjelasan akan kemampuan atau opininya dan tidak tersedia fakta yang objektif mengenai hal tersebut. Individu akan membandingkan dirinya dengan individu lain yang serupa (similar other) yang relevan (Goethals & Darley, 1977;C.T. Miller, 1984; Wheeler, et al., 1982 dalam Milfa Y.,2005)..

Teori social comparisons menyebutkan bahwa seseorang membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain dan image lain yang mereka lihat mewakili tujuan yang dapat dicapai. Proses perbandingan ini terjadi ketika seseorang merasa bahwa image ideal itu adalah similar other sehingga model dijadikan target social comparisons. Namun ketika ia merasa image ideal adalah yang tidak realistis dalam hal daya tarik fisik, mungkin ia tidak membandingkannya dirinya dengan image tersebut karena merupakan dissimilar other.

 

 

 

2.2       SELF ESTEEM

2.2.1    PENGERTIAN SELF-ESTEEM

Istilah self esteem sering digunakan para ahli untuk menandakan bagaimana seseorang mengevaluasi dirinya. Evaluasi ini akan memperlihatkan bagaimana penilaian individu tentang penghargaan terhadap dirinya, percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan atau tidak, adanya pengakuan (penerimaan) atau tidak. Definisi self esteem menurut Coopersmith (1967: 4-5).

Self esteem we refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself : it expresses an attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to be capable, significant, successful and worthy. In short, self esteem is a personal judgment of worthiness that is expressed in the attitudes the individual holds toward himself ”.

Self esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya terutama mengenai sikap menerima atau menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan. Secara singkat self esteem adalah “personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang di ekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya.

2.1.2   PROSES PEMBENTUKAN SELF- ESTEEM

Self-esteem menurut Brisset (1972), mencakup dua proses psikologi mendasar yaitu:

  • Proses dari evaluasi diri (self-evaluation)
  • Proses dari penghargaan diri (self –worth)

Ada tiga faktor utama yang berhubungan dengan self-evaluation yaitu :

  • Perbandingan self-image dengan ideal image yaitu perbandingan gambaran diri dari keadaan diri yang seseorang kenal atau kenyataan yang dirasakan dan gambaran diri yang seseorang inginkan. Self-image individu berkenaan dengan karakteristik fisik dan mentalnya. Proses perkembangan self-image telah ditunjukan Cooley, 1974 (dalam Coopersmith, 1967) sebagai gambaran diri individu yang dimiliki individu melalui interaksinya dengan lingkungannya. Individu mendapat feed back dan pengesahan mengenai perilakunya dari orang-orang sekitarnya. Interpretasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap penilaian lingkungan akan mempengaruhi dan membentuk self-esteem. Ideal-self adalah suatu set interpretasi dari individu sebagai pernyataan akan keinginan-keinginan dan aspirasi-aspirasi sebagai bagian dari kebutuhannya. Individu yang dapat berbuat sesuatu dengan standar-standar mereka dan menyadari aspirasi-aspirasi mereka sehingga akan berkembang menjadi orang dengan perasaan self-esteem yang tinggi. Sedangkan individu yang mendapatkan bahwa mereka tidak memiliki sifat-sifat yang dikehendakinya oleh cita-cita mereka, tidak menyadari kapasitasnya dan bersikap tidak realistis terhadap kehidupannya dan mudah merasakan ketidakpuasan, kemungkinan besar akan memiliki perasaan self-esteem yang rendah.
  • Internalisasi dari sociaty’s judgement. Dalam pengertian ini self-evaluation ditentukan oleh keyakinan-keyakinan individu mengenai bagaimana orang lain mengevaluasi dirinya. Disini individu menilai dirinya sendiri sejak ia berinteraksi dengan lingkungannya. Standar nilai yang terinternalisasikan menjadi suatu kendala tingkah laku yang diperoleh dari lingkungan sosial sesuai dengan tahap perkembangan.
  • Evaluasi terhadap kesuksesan dan kegagalan dalam melakukan sesuatu sebagai bagian dari identitas diri, hal ini tidak hanya individu melakukan sesuatu dari apa yang membuat dirinya merasa berarti tetapi juga secara sosial, hal ini memberikan suatu kekuatan yang dapat meningkatkan rasa penghargaan terhadap diri. Pola ini terjadi dari penyesuaian individu dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dalam diri individu terhadap struktur sosial, hal ini akan memuaskan individu.

Proses psikologis kedua yaitu self-worrth, adalah perasaan bahwa diri atau self itu penting dan efektif serta melibatkan pribadi yang sadar akan diri sendiri. Self-worth ini akan lebih mendasar dari self-evaluation karena melibatkan suatu pandangan dari diri seseorang dalam menguasai suatu tindakannya, perasaan kompetisi yang muncul dalam diri (intrinsik) tidak sekedar bergantung pada lingkungan atau pandangan yang bersifatnya eksternal. Masing-masing proses tersebut saling melengkapi satu sama lain. Brisset, 1972 (dalam Coopersmith, 1967) menyatakan bahwa self-worth lebih mendasar pada diri manusia dari pada self-evaluation.

Proses pembentukan self-esteem tidak selalu berjalan mulus tanpa hambatan. Terdapat beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan self-esteem. Menurut Nathaniel Braden, 1969 (dalam Coopersmith, 1967) hal-hal yang dapat menghambat pembentukan self esteem adalah :

  • Perasaan takut, Dalam kehidupan sehari-hari kita harus menempatkan diri di tengah-tengah kenyataan. Cara menempatkan diri ini berbeda bagi setiap individu. Ada yang menghadapi fakta-fakta kehidupan dengan penuh keberanian akan tetapi ada juga yang menghadapi dengan perasaan yang tidak berdaya. Pangkal dari pada perasaan tidak berdaya ini adalah negatif terhadap dirinya sehingga individu hidup dalam ketakutan. Ketakutan ini akan mempengaruhi alam perasaan individu, sehingga akan mengganggu keseimbangan alam emosinya, dan dalam keadaan emosi yang labil, individu tidak dapat berfikir secara wajar, segala sesuatu diluar dirinya dipersepsikan secara distorted. Kecemasan ini akan membuat individu ragu-ragu yang berarti tidak menunjang pembentukan self esteem.
  • Perasaan bersalah, Perasaan salah karena melanggar nilai-nilai moral sendiri. Perasaan ini dimiliki individu yang mempunyai pegangan hidup berdasarkan kesadaran dan keyakinan sendiri. Individu telah menentukan kriterianya mengenai mana yang baik dan buruk baginya. Jadi individu merasa bersalah terhadap keyakinan sendirinya. Individu menghayati kesalahannya sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai kehidupan yang tidak ditanamkan oleh orang-orang penting dalam kehidupannya. Apabila anak di didik untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, maka anak akan mengatasi secara represif yaitu mencoba melupakan, menghilangkannya dalam alam bawah sadar. Rasa bersalah akan bertambah besar dan lambat laun akan menjelma dalam bentuk kecemasan.

2.1.3  FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN SELF ESTEEM

Menurut Coopersmith (1967) self esteem dalam perkembangannya terbentuk dari hasil interaksi individu dengan lingkungan dan atas sejumlah penghargaan, penerimaan, dan pengertian orang lain terhadap dirinya. Berdasarkan teori-teori dan penelitian sebelumya mengarahkan Coopersmith (1967) untuk menyimpulkan 4 faktor utama yang memberi kontribusi pada perkembangan self esteem, yaitu:

  1. Respectful, penerimaan, dan perlakukan yang diterima individu dari Significant Others.Significant Others adalah orang yang penting dan berarti bagi individu, dimana ia menyadari peran mereka dalam memberi dan menghilangkan ketidaknyamanan, meningkatkan dan mengurangi ketidakberdayaan. Serta meningkatkan dan mengurangi keberhargaan diri. Self Esteem bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam berinteraksi tersebut akan terbentuk suatu penilaian atas dirinya berdasarkan reaksi yang ia terima dari orang lain.
  2. Sejarah keberhasilan, status dan posisi yang pernah dicapai individu, keberhasilan, status dan posisi yang pernah dicapai individu tersebut akan membentuk suatu penilaian terhadap dirinya, berdasarkan dari penghargaan yang diterima dari orang lain. Status merupakan suatu perwujudan dari keberhasilan yang diindikasikan dengan pengakuan dan penerimaan dirinya oleh masyarakat.
  3. Nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi, pengamalan-pengalaman individu akan diinterpretasi dan dimodifikasi sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi yang dimilikinya. Individu akan memberikan penilaian yang berbeda terhadap berbagai bidang kemampuan dan prestasinya. Perbedaan ini merupakan fungsi dari nilai-nilai yang mereka internalisasikan dari orang tua dan individu lain yang signifikan dalam hidupnya. Individu pada semua tingkat self esteem mungkin memberikan standar nilai yang sama untuk menilai keberhargaannya, namun akan berbeda dalam hal bagaimana mereka menilai pencapaian tujuan yang telah diraihnya.
  4. Cara individu berespon devaluasi terhadap dirinya, individu dapat mengurangi, mengubah, atau menekan dengan kuat perlakuan yang merendahkan diri dari orang lain atau lingkungan, salah satunya adalah ketika individu mengalami kegagalan. Pemaknaan individu terhadap kegagalan tergantung pada caranya mengatasi situasi tersebut, tujuan, dan aspirasinya. Cara individu mengatasi kegagalan akan mencerminkan bagaimana ia mempertahankan harga dirinya dari perasaan tidak mampu, tidak berkuasa, tidak berarti, dan tidak bermoral. Individu yang dapat mengatasi kegagalan dan kekurangannya adalah dapat mempertahankan self esteemnya.

2.1.4   KOMPONEN SELF ESTEEM

Menurut Coopersmith (1967), ada empat komponen yang menjadi sumber dalam pembentukan Self esteem individu. Keempat komponen itu adalah keberhasilan (Successes), Nilai-nilai (value), Aspirasi-aspirasi (Aspirations), dan pendekatan dalam merespon penurunan penilaian terhadap diri (Defences).

  1. Successes, kata “keberhasilan” memiliki makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Beberapa individu memaknakan keberhasilan dalam bentuk kepuasan spiritual, dan individu lain menyimpulkan dalam bentuk popularitas. Pemaknaan yang berbeda-beda terhadap keberhasilan ini disebabkan oleh faktor individu dalam memandang kesuksesan dirinya dan juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi budaya yang memberikan nilai pada bentuk-bentuk tertentu dari kesuksesan. Dalam satu setting social tertentu, mungkin lebih memaknakan keberhasilan dalam bentuk kekayaaan, kekuasaan, penghormatan, independen, dan kemandirian. Pada konteks social yang lain, lebih dikembangkan makna ketidakberhasilan dalam bentuk kemiskinan, ketidakberdayaan, penolakan, keterikatan pada suatu bentuk ikatan social dan ketergantungan. Hal ini tidak berarti bahwa individu dapat dengan mudahnya mengikuti nilai-nilai yang dikembangkan dimasyarakat mengenai keberhasilan, tetapi hendaknya dipahami bahwa masyarakat memiliki nilai-nilai tertentu mengenai apa yang dianggap berhasil atau gagal dan dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh individu.
  2. Nilai-nilai (value), Setiap individu berbeda dalam memberikan pemaknaan terhadap keberhasilan yang ingin dicapai dalam beberapa area pengalaman dan perbedaan-perbedaan ini merupakan fungsi dari nilai-nilai yang diinternalisasikan dari orang tua dan figur-figur signifikan lainnya dalam hidup. Faktor-faktor seperti penerimaan (acceptance) dan respek dari orang tua merupakan hal-hal yang dapat memperkuat penerimaan nilai-nilai dari orang tua tersebut. Hal ini juga mengungkapkan bahwa kondisi-kondisi yang mempengaruhi pembentukan self esteem akan berpengaruh pula dalam pembentukan nilai-nilai yang realistis dan stabil.
  3. Aspirasi-aspirasi. Menurut Coopersmith (1967), penilaian diri (self judgement) meliputi perbandingan antara performance dan kapasitas actual dengan aspirasi dan standar personalnya. Jika standar tersebut tercapai, khususnya dalam area tingkah laku yang bernilai, maka individu akan menyimpulkan bahwa dirinya adalah orang yang berharga. Ada perbedaan esensial antara tujuan yang terikat secara sosial (public goals) dan tujuan yang bersifat self significant yang ditetapkan individu. Individu-individu yang berbeda tingkat self esteemnya tidak akan berbeda dalam public goalnya, tetapi berbeda dalam personal ideals yang ditetapkan untuk dirinya sendiri. Individu dengan self esteem tinggi menentukan tujuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan self esteem yang lebih rendah. Self esteem tinggi berharap lebih pada dirinya sendiri, serta memelihara perasaan keberhargaan diri dengan merealisasikan harapannya daripada sekedar mencapai standar yang ditentukannya. Hal ini memunculkan sikap diri (self attitude) yang lebih baik sehingga mereka tidak diasosiasikan dengan standar personal yang rendah dan menilai sukses karena mencapai standar tersebut. Tetapi karena standar tinggi yang secara objektif dapat dicapainya, individu dengan self esteem tinggi menganggap lebih dekat aspirasi (harapannya) dibandingkan dengan individu dengan self esteem rendah yang menentukan tujuan lebih rendah. Individu dengan self esteem tinggi memiliki pengharapan terhadap keberhasilan yang tinggi. Pengharapan ini menunjukan suatu kepercayaan terhadap keadekuatan dirinya, dan juga keyakinan bahwa ia memiliki kemampuan untuk menampilkan segala macam cara yang dibutuhkan untuk berhasil. Keyakinan tersebut bersifat memberi dukungan dan semangat pada individu untuk mempercayai bahwa keberhasilan itu dapat dicapai. Penghargaan (self expectancy) akan keberhasilan ini ditunjukkan melalui sikap asertif, self trust, dan keinginan kuat untuk bereksplorasi. Sedangkan pada individu dengan self esteem rendah, meskipun memiliki keinginan sukses seperti individu dengan self esteem tinggi, tetapi dia tidak yakni kesuksesan tersebut akan terjadi pada dirinya. Sikap pesimis itu merupakan ekspresi antisipasi terhadap kegagalan, yang mana akan menurunkan motivasinya dan mungkin memberikan konstribusi terhadap kegagalannya.
  4. Defenses. Menurut Coopersmith (1967), beberapa pengalaman dapat merupakan sumber evaluasi diri yang positif, namun ada pula yang menghasilkan penilaian diri yang negatif. Kenyataan ini tidak akan mudah diamati dan diukur pada tipe individu. Kenyataan ini merupakan bahan mentah yang digunakan dalam membuat penilaian, interpretasi terhadapnya tidaklah senantiasa seragam. Interpretasi akan bervariasi sesuai dengan karakteristik individu dalam mengatasi distress dan situasi ambigu serta dengan tujuan dan harapan-harapannya. Cara untuk mengatasi ancaman dan ketidakjelasan cara individu dalam mempertahankan dirinya mengatasi kecemasan atau lebih spesifik, mempertahankan harga dirinya dari devaluasi atau penurunan harga diri yang membuatnya merasa incompetent, tidak berdaya, tidak signifikan, dan tidak berharga. Individu yang memiliki defence mampu mengeliminir stimulus yang mencemaskan, mampu menjaga ketenangan diri, dan tingkah lakunya efektif. Individu dengan self esteem tinggi memiliki suatu bentuk mekanisme pertahanan diri tertentu yang memberikan individu tersebut kepercayaan diri pada penilaian dan kemampuan dirinya, serta meningkatkan perasaan mampu untuk menghadapi situasi yang menyulitkan.

 

 

 

2.3       HUBUNGAN ANTAR VARIABEL

Hubungan antara Body Image dengan Harga Diri pada Remaja wanita yang aktif dalam periku gymnastic adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian perkembangan fisik tetapi juga psikologis. Oleh karenanya perubahan-perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahanperubahan psikologis seperti harga diri muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik (Sarwono, 2003). Salah satu dari dimensi body image adalah daya tarik fisik yang merupakan salah satu unsur pembantu yang penting dalam daya tarik pribadi. Penampilan fisik yang menarik akan mengundang efek positif sebagai respon dari lingkungan, sehingga menimbulkan kesan positif pula dari individu yang bersangkutan (Baron & Byrne, 1994). Maka dari pada itu daya tarik fisik sangat penting bagi umat manusia, seperti dalam mendapat dukungan sosial, popularitas, pemilihan teman hidup, dan karir. Semua dapat dipengaruhi oleh daya tarik seseorang. Dengan memiliki bentuk fisik yang baik maka akan timbul kepuasan dalam diri remaja terhadap keadaan tubuhnya (Cross & Cross dalam Hurlock, 1980).

Sebagai akibatnya remaja akan percaya diri dan memiliki harga diri yang baik. Melalui kepercayaan diri inilah, individu yakin dalam menjalankan proses berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga remaja dalam masanya, banyak sekali mengalami perubahan yang harus dihadapi dan bersinggungan secara langsung dengan sisi psikologis kehidupan. Ditambahkan pula oleh Santrock (1990) bahwa remaja merupakan suatu periode yang unik dan merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, yang meliputi adanya perubahan fisik, kognitif dan sosial emosional. Oleh karenanya remaja yang memiliki harga diri atau self-esteem yang tinggi biasanya menilai dirinya berharga, dan memandang diri mereka sejajar (equal) dengan orang lain. Sedangkan orang yang memiliki harga diri yang rendah, seorang remaja akan mengalami penolakan diri (selfrejection), ketidakpuasan (selfdissatisfacation), sehingga seorang remaja merasa tidak berharga. Tinggi rendahnya harga diri dipengaruhi oleh lingkungan, bila dianggap favorable atau sesuai, maka self esteem akan meningkat, begitu juga sebaliknya (Frey & Carlock, 1987). Karena harga diri itu sendiri adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri baik positif maupun negatif, dan merupakan persepsi diri terhadap penghargaan, penerimaan serta perlakuan orang lain terhadap dirinya dan harga diri itu sendiri tumbuh dari interaksi sosial, usaha pribadi yang memberikan pengalaman tertentu pada individu. Sehingga ada kalanya kematangan fisik itu dicapai oleh remaja wanita dalam waktu yang terlalu cepat (early maturers) dan ada kalanya terlalu lamban bagi remaja wanita yang lain (late maturers).

Menurut Atkinson (dalam Rahardjo, 2002) 15 menyatakan bahwa kematangan fisik yang terlalu cepat atau pun yang terlalu lamban membawa beberapa efek psikologis penting yang berbeda, yang salah satunya adalah body image. Dengan perkembangan fisik yang cepat dan menciptakan bentuk tubuh yang bagus dimata masyarakat menyebabkan persepsi remaja wanita lebih cepat diterima secara lebih baik oleh teman-teman sebayanya dan orang dewasa lainnya. Sehingga menciptakan body image yang positif pada diri mereka (Conger, 1991), dan begitu pula sebaliknya. Karena Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu secara berkesinambungan yang dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Stuart & Sundeen, 1991). Dimana cara individu memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologinya. Pandangan yang realistis terhadap dirinya, dan menerima bagian tubuhnya akan lebih merasa aman, sehingga terhindar dari rasa cemas dan justru meningkatkan harga diri begitu pula sebaliknya (Keliat, 1992). Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuart & Sundeen, 1991).

 

2.4       HIPOTESIS

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, maka dapat ditarik hipotesis, yaitu ada hubungan antara body image dengan harga diri pada remaja wanita yang aktif didalam perilaku gymnastic. Semakin positif tingkat body image yang dimiliki oleh remaja wanita yang mengikuti perilaku gymnastic maka semakin tinggi harga diri yang dimilikinya, dan apabila semakin negatif body image remaja wanita yang aktif dalam kegiatan gymnastic, maka semakin rendah juga harga diri yang ada di dalam dirinya.