STRATEGI PENANAMAN EMPATI SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN MORAL PADA ANAK

(Bagian 2)

Indra Kurniawan

indrakuurniawan@gmail.com

Ajak anak bermain dengan teman untuk meningkatkan empati. Source: http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/651877/big/Anak+Narsis.jpg
Ajak anak bermain dengan teman untuk meningkatkan empati. Source: http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/651877/big/Anak+Narsis.jpg 

 

Strategi Penanaman Empati terhadap Anak pada Tahap Early Childhood

Kita tidak bisa memberikan seminar ataupun penyuluhan terhadap anak-anak. Mereka tidak akan betah duduk di suatu ruangan dan mendengarkan sang pembicara selama berjam-jam. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, hubungan antara orangtua terhadap anak kita memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan moral anak. Kita bisa menjadikan ini sebagai peluang untuk memberikan mereka bekal empati melalui komunikasi dan penerapan perilaku empati dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Tahap early childhood adalah suatu tahap perkembangan manusia yang terjadi pada usia 2-5 tahun. Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal dunia secara lebih luas dan mengalami peningkatan ­self-control (Santrock, 2009). Pada tahap ini, seorang anak mulai sadar bahwa setiap orang memiliki perspektif masing-masing yang unik dan memiliki reaksi yang berbeda terhadap suatu situasi (Santrock, 2009). Maka dari itu, tahap ini adalah tahap yang tepat untuk menanamkan empati terhadap anak.

Kunci dari strategi ini adalah untuk tidak sepenuhnya memberikan mereka nasihat, tuntutan, arahan, atau wejangan, melainkan membuat mereka turut berpartisipasi dalam pembelajaran mengenai empati. Hal ini dilakukan agar tercipta pembelajaran yang interaktif dan bersifat dua arah. Beberapa strategi yang bisa diterapkan oleh orangtua atau guru adalah sebagai berikut:

  • Menjadi Role Model sebagai Wadah Pembelajaran Anak

Anak-anak adalah peniru yang baik. Mereka belajar banyak hanya dari mengobservasi perilaku orang lain dan cenderung mengikuti perilaku tersebut baik yang positif maupun yang negatif (Institute for Child Development & Family Relation). Menurut Tumon (2013), orangtua diharapkan mampu menjadi role model dan tauladan yang positif untuk anak-anaknya dengan menjadi contoh yang positif. Dengan menjadikan diri kita sebagai teladan bagi anak-anak kita dalam bersikap dan berrperilaku, serta menjadikan mereka sebagai saksi dari tingkah laku kita, anak akan menjadi lebih paham tentang apa yang pantas dan yang tidak pantas untuk dilakukan.

Berikan anak-anak kita contoh perilaku empati yang akan mereka saksikan dan membuat mereka berpikir bahwa itu adalah suatu hal yang benar untuk dilakukan. Orangtua/guru harus bisa memulai membenahi dirinya agar tidak menunjukan perilaku yang bertentangan dengan empati seperti mentertawakan kejelekan orang lain sekecil apapun atau perilaku ketidak pedulian seperti yang sudah dijabarkan di awal seperti tidak mau antre atau buang sampah sembarangan. Karena pembelajaran apapun yang kita berikan kepada anak akan sia-sia bila kita tidak menjadi contoh bagi mereka. Strategi ini sangat sederhana, namun cukup sulit untuk dilakukan bagi para orangtua atau guru yang memang sudah memiliki kebiasaan buruk.

  • Biasakan Anak untuk Mendeskripsikan Perasaan

Menurut Piaget, anak usia 2-7 tahun sedan berada pada tahap preoperational stage, pada tahap ini anak memiliki egocentrism yang tinggi yang menyebabkan mereka berpikir bahwa orang lain selalu memiliki pikiran yang sama dengan dia (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Dengan begitu, anak mengalami kesulitan untuk melihat dari perspektif orang lain dan mengerti perasaan orang lain. Mereka sulit untuk mengerti mengapa temannya marah saat mainannya diambil atau mengapa temannya menangis hanya karena terjatuh. Pada tahap ini anak akan sangat egois dan hanya mementingkan diri sendiri.

Dengan begitu, tugas orangtua adalah membantu anak agar bisa mengerti perasaan seseorang dan bagaimana emosi dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Hal ini bisa dilakukan dengan pembiasaan komunikasi dengan mereka seperti “Mama sedih ketika kamu berbuat nakal.” atau “Papa senang ketika melihat kamu bermain dengan adil dengan teman-temanmu.” Tidak kalah penting, orangtua/guru juga harus membiasakan anak agar mereka juga mengatakan apa yang mereka rasakan. “Apakah kamu sedih ketika kamu terjatuh?” atau “Apa yang kamu rasakan ketika mendapat teman baru?” Dengan begitu, harapannya anak akan mengerti bahwa suatu perilaku atau kejadian akan berpengaruh terhadap perasaan seseorang.

  • Tunjukan Empati kepada Anak

Pada tahap preoperational stage ini, anak sudah mulai bisa membayangkan apa yang mungkin dirasakan oleh orang lain walaupun belum cakap (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Maka dari itu, kita harus bisa mengasah dan mengenalkan empati secara lebih dalam kepada mereka.

Dalam kasus ini, orangtua dituntut untuk mengerti perasaan anak, dan memberitahu mereka bahwa kita mengerti perasaan mereka. Contohnya “Mama mengerti kamu merasa sedih karena mainan kamu rusak.” Hal yang sama juga kita terapkan ketika mereka melakukan perilaku negatif, tapi bukan berarti membiarkan perilaku tersebut seperti “Papa mengerti kamu marah ketika kalah dalam permainan, tapi bukan berarti kamu berhak memukul temanmu.”Dengan begitu, harapannya adalah anak akan merasa dimengerti oleh orang lain.

  • Ajari Anak Tentang Perbedaan

Anak usia 3-5 tahun memiliki pengalaman yang sangat sedikit. Karena mereka baru hidup di dunia selama 3-5 tahun, mereka belum banyak bertemu orang yang memiliki banyak perbedaan. Selama mereka hidup yang baru mereka temui mungkin hanya orangtua, guru, pembantu, dan beberapa teman bermainnya saja. Mengingat kita tinggal di negara yang multikultural, alangkah baiknya bila mereka diajari tentang perbedaan sejak dini. Tujuannya adalah agar anak kita bisa saling merhargai orang lain walaupun memiliki perbedaan fisik atau pikiran.

Beritahu mereka bahwa ada orang kulit putih dan ada orang kulit hitam, ada orang gendut dan ada orang kurus, ada orang yang suka bermain bola dan ada orang yang suka bermain masak-masakan, ada yang kuat dan ada yang lemah. Jelaskan pada mereka bahwa semua perbedaan tersebut tidak menjadi penghalang untuk berteman. Dan tanya mereka “Apa yang akan terjadi bila kamu dan teman-teman kamu sama dalam berbagai hal? “Bayangkan, bila kecepatan lari kamu sama atau kemampuan bermain sepak bola kamu sama, maka tidak ada gunanya balapan lari atau pertandingan sepak bola.” Kemudian jelaskan jika semua orang sama, maka tidak ada tujuan dalam komunikasi. Lalu jelaskan kepada mereka bahwa banyak hal positif yang bisa didapat dari perbedaan, seperti ilmu dan pengalaman baru.

  • Ajari Anak Tentang Kebersamaan

Walaupun anak berusia 3-5 tahun sangat berorientasi terhadap dirinya sendiri, studi menunjukan mereka memiliki kemampuan bermain kooperatif yang akan terus berkembang dengan teman sebayanya (Institute for Child Development & Family Relation). Orangtua bisa memanfaatkan hal ini dengan membiasakan mereka melakukan pekerjaan dan bermain bersama teman-temannya. Dengan seringnya mereka berinteraksi dengan temannya, dia akan sedikit demi sedikit mempelajari ekspresi wajah, bahasa tubuh, atau cara berperilaku orang lain. Mereka akan berpikir “bila aku lakukan hal ini, maka akan tercipta respon itu.” Dia akan belajar sebab dan akibat dari perilaku orang lain.

Kebersamaan juga bisa kita biasakan dengan menjadi mediasi ketika ada anak yang bertengkar. Kita sebagai pihak ketiga tidak boleh memihak ataupun menilai secara subjektif terhadap salah satu anak. Contohnya ketika ada dua anak yang bertengkar, Anto memukul Budi karena merebutkan mainan. Kita beritahu Anto bahwa itu adalah perilaku buruk yang tidak boleh dilakukan terhadap temannya. Kemudian kita tanya Budi “Apa yang kamu rasakan?” Setelah dia menjawab, kita tanya juga ke Anto “Apa yang akan kamu rasakan ketika seseorang memukul kamu?” Dengan begitu kita menjadi jembatan untuk mengutarakan perasaan mereka.

  • Biasakan Mereka untuk Berbuat Kebaikan

Strategi terakhir dan mungkin strategi yang paling “klise” adalah biasakan mereka untuk berbuat kebaikan. Menurut Muhtadi (2002), pengalaman dan pembiasaan anak untuk berbuat baik akan memberikan pengaruh positif yang sangat besar terhadap perkembangan kemampuan empati mereka. Contoh kecilnya biasakan dia untuk membagi makanan dengan temannya, lalu tanyakan kepada anak “apa yang kamu rasakan setelah kamu memberikan temanmu bayangkan?” Setelah itu beritahu dia bahwa temannya pasti senang setelah diberikan makanan.

Selain itu, selalu apresiasi kebaikan anak sekecil apapun. Puji mereka setelah melakukan kebaikan. Menurut Skinner, melalui operant conditioning, rewards dan punishments memiliki peran dalam pembentukan perilaku. Reward (apresiasi) dari sebuah perilaku akan menghasilkan kemungkinan bertambahnya frekuensi perilaku tersebut (Santrock, 2009). Berbagai perilaku kecil yang sudah dibiasakan sejak dini, harapannya adalah anak menjadi terbiasa berbuat baik, dan tahu bahwa orang lain akan merasa senang bila diperlakukan baik.

Kesimpulan

Tujuan utama kita adalah mendidik anak yang memiliki empati terhadap orang lain. Dengan kata lain, kita harus bisa mengajarkan mereka pentingnya mengerti perasaan orang lain dan membuat mereka berpikir apa yang akan dirasakan oleh orang lain dan dirinya sendiri akibat dari suatu perilaku yang dia perbuat. Hal ini bisa dicapai dengan memberikan pembelajaran dan respon yang tepat terhadap setiap perilaku mereka baik yang benar dan yang salah.

Muhtadi (2002) memaparkan bahwa anak yang memiliki kemampuan untuk berempati dapat digolongkan sebagai anak yang baik dan bisa memikirkan perasaan orang lain. Anak ini cenderung memiliki hasrat untuk bersikap bijaksana, sopan, murah hati, serta melihat dunia sebagaimana orang lain melihatnya. Dengan begitu dia akan selalu memperhitungkan perasaan orang lain ketika bertindak. Harapannya adalah semua perilaku anak tersebut akan terus berkembang sampai dia dewasa nanti, dan agar anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang tidak selalu mementingkan kepentingan sendiri tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. [End]

 

Semoga setelah membaca artikel ini, Anda mendapat pencerahan dan terdorong mau menerapkan strategi-strategi di atas. Jika Anda memiliki strategi lain untuk menanamkan empati pada anak, silakan berbagi di kolom komentar. Untuk bacaan lebih lanjut, Anda bisa menelusuri bagian referensi. Terima kasih!

 

Referensi

Amelia, N., Ali, M., & Miranda, D. (2013). Peningkatan Aspek Perkembangan Nilai Agama dan Moral Anak Usia 5-6 Tahun TK Al-Ikhlas Ketapang.

Associated Press. (2015, Mei 12). 5 Thais, 2 Indonesians arrested, accused of human trafficking in seafood slavery case. Diambil kembali dari FOX NEWS: http://www.foxnews.com/world/2015/05/12/5-thais-2-indonesians-arrested-accused-human-trafficking-in-seafood-slavery/

Bandura, A. (1971). Social Learning Theory. New York: General Learning Press.

Bondi, L. (2003). Empathy and Identification: Conceptual Resources for Feminist Fieldwork. ACME: An International E-Journal for Critical Geographies, 2(1), 64-76.

Dwiantari, A. (t.thn.). Upaya Meningkatkan Perilaku Moral Menggunakan Buku Cerita Bergambar Pada Anak Kelompo B2 TK Kanisius Demangan Baru Yogyakarta.

Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T.-A. (2013). Theories of Personality (8th ed.). New York: McGraw-Hill.

Institute for Child Development & Family Relation. (t.thn.). Supporting Children’s Development: 3-5 years olds. Dipetik April 6, 2015, dari http://icdfr.csusb.edu/documents/phandoutsocialdevelopment-2.pdf

Ioannidou, F., & Konstantikaki, V. (2008). Empathy and Emotional Intelligence: What Is It Really About? International Journal of Caring Science, 1(3), 118-123.

Irawan, D. (2015, Mei 13). Kejagung: 7 Kasus HAM Belum Diselesaikan Karena Peristiwa Sudah Lama. Diambil kembali dari detiknews: http://news.detik.com/read/2015/05/13/162414/2914374/10/kejagung-7-kasus-ham-belum-diselesaikan-karena-peristiwa-sudah-lama?n991103605

Jacoba. (2013). Meningkatkan Pengembangan Moral Anak Melalui Metode Bercerita pada Kelompok B TK GPID 2 Palu Selatan.

King, L. A. (2011). The Science of Psychology: An Appreciative View (2nd ed.). New York: McGraw-Hill.

Lam, T. C., Kolomitro, K., & Alamparambil, F. C. (2011). Empathy Training: Methods, Evaluation, Practices, and Validity. Journal of MultiDisciplinary Evaluation, 7(16), 162-200.

Liebert, R. M., & Spielger, M. D. (1987). Personality: Strategies and Issues (5th ed.). Chicago: The Dorsey Press.

Lubis, G. N. (2014). Upaya Meningkatkan Pengembangan Moral Anak Melaui Media Audiovisual di Kelas B PAUD Amalia Palembang.

Muhtadi, A. (2002). Pengembangan Empati Anak Sebagai Dasar Pendidikan Moral. Majalah Dinamika Pendidikan.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human Development (10th ed.). New York: McGraw-Hill.

Santrock, J. W. (2009). Child Development (12th ed.). New York: McGraw-Hill.

Switankowsky, I. (2000). Sympathy and Empathy. Philosophy Today, 86-92.

Tumon, M. B. (2014). Studi Deskriptif Perilaku Bullying pada Remaja. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 3(1).

 

Pembimbing:

Pingkan C. B. Rumondor, S.Psi., M.Psi.

prumondor@binus.edu