Dear Generasi 90an
Menjadi anak kecil di tahun 90an merupakan hal yang menggembirakan. Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap dari sejumlah foto-foto bertajuk ‘generasi 90an’ yang bertebaran di berbagai media sosial. Ada foto type-x berkuas lengkap dengan thinnernya, gambar pemandangan gunung-sawah-jalan, bekel, rautan berkaca, penghapus merah biru, bunga-merah-entah-apa-namanya yang manis kalau dihisap, dan lainnya. Kebanyakan benda yang ada di foto-foto tersebut sudah sangat jarang bisa kita temui saat ini, bahkan tidak sedikit yang memang sudah punah alias tidak lagi diproduksi.
Sebagai individu yang besar di tahun-tahun tersebut, melihat foto-foto itu tentu membangkitkan kembali kenangan-kenangan lama. Bermain layangan, galasin, gunungan, kartu kuartet, bekel, termasuk juga memakai kaca rautan untuk mengintip. Keadaan sudah banyak berubah kini. Sudah sangat jarang dapat melihat bocah-bocah kecil beramai-ramai main bersama.
Jaman sudah berubah. Itu bukan sekadar isapan jempol belaka. Mainan anak-anak bukan hanya sekadar kelereng, bekel, biji karet, namun juga kini ada berbagai jenis game console. Generasi 90an sebagian besar hanya mengenal gimbot dan dingdong, bagi yang orang tuanya lumayan berpenghasilan lebih kenal juga Atari atau Nintendo. Saat ini sudah ada banyak jenis game console, dan bahkan juga ada online games yang cukup dimainkan lewat komputer di rumah maupun smartphone dan tablet digital.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat, kepemilikan game console dan komputer pun makin menjamur, termasuk juga berbagai jenis gadget digital. Di kota-kota besar di Indonesia, bisa dikatakan sebagian besar anak kecil mengenal dan setidaknya pernah satu kali bermain dengan playstation, atau memainkan game di komputer, smartphone, atau tablet digital. Bahkan, tampaknya tidak banyak dari mereka yang pernah melihat langsung kelereng, biji karet, kartu kuartet, apalagi membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk bali.
Erik Erikson menyebutkan bahwa masa kanak-kanak, umur 5-12 tahun, adalah masa saatnya seseorang belajar membangun kompetensi. Di masa ini, seorang anak belajar untuk bekerja sama dengan orang lain, mengerjakan sesuatu secara mandiri, berusaha untuk disiplin, yang secara tidak langsung akan juga membentuk kepercayaan dirinya. Satu hal yang patut digarisbawahi, Erikson menekankan bahwa kompetensi yang dibangun sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial tempat anak itu berada. Oleh karena itu, tidak heran jika anak di usia tersebut mulai belajar membaca dan menulis, sebab kondisi sosial masyarakat secara umum meminta mereka untuk bisa menguasai hal-hal tersebut. Jika kemudian si anak tidak berhasil melakukannya, Erikson mengatakan bahwa dia akan merasa tidak percaya diri dan inferior karena tidak memiliki kompetensi yang dikehendaki oleh masyarakat.
Perubahan jaman dan kondisi masyarakat secara langsung juga sedikit banyak mengubah tuntutan masyarakat terhadap kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang. Untuk kemampuan formal, seperti membaca, menulis, dan berhitung tetap menjadi sebuat kompetensi yang diharapkan dimiliki, sebab kompetensi itu menjadi prasyarat untuk bisa berinteraksi secara global dan berkembang di masyarakat. Selain itu, dengan perkembangan teknologi yang pesat, seseorang pada akhirnya juga dituntut untuk mampu menggunakan produk teknologi, khususnya teknologi di area informasi dan komunikasi seperti komputer dan internet. Akan tetapi, di sisi lain, tidak sedikit pula kompetensi yang akhirnya tidak banyak lagi terlihat dituntut oleh masyarakat. Misalnya saja kemampuan untuk mengenali sisi biji karet yang rapuh, kemampuan menyentil kelereng dengan akurat, maupun kemampuan menerapkan strategi dalam bermain kartu kuartet. Bukan karena kemampuan itu tidak dibutuhkan, namun lebih karena paparan untuk melatihnya yang semakin berkurang atau setidaknya berubah sehingga tidak terlihat.
Perubahan skema ekonomi juga tampaknya memberikan pengaruh yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hukum ekonomi mau tidak mau juga bermain. Di mana ada permintaan, di sanalah ada pasar. Di sisi lain juga pasar dan permintaan dikendalikan oleh produksi. Siapa yang kemudian berpikir untuk main bekel jika bekel tidak pernah diproduksi? Siapa yang berniat main kartu kuartet, jika tidak ada lagi yang membuatnya? Seringkali penghentian produksi yang secara tidak langsung mematikan permintaan. Keputusan penghentian produksi tentunya jugab erat dengan trend yang ada di masyarakat. Jika anak-anak mulai getol bermain playstation, mengapa juga harus bertahan menyewakan gimbot dan tidak membuka rental PS juga? Gimbot harus tetap dirawat dan dibelikan baterai, namun di sisi lain penghasilan berkurang karena semakin sedikit anak yang berniat menyewa gimbot, entah karena sudah punya di rumah atau karena sudah tidak selera.
Keputusan mengubah produksi atau skema mata pencaharian, khususnya yang berhubungan langsung dengan anak-anak, tidak lantas dapat dipersalahkan juga. Di satu sisi mereka juga perlu menjaga agar dapur tetap ngebul, di sisi lain mereka juga menjadi fasilitator di masyarakat agar para anak memiliki kompetensi sesuai perkembangan jaman. Memang tidak melulu positif, ada juga yang negatif seperti warung internet yang membebaskan anak mengakses situs porno, namun di situlah peran masyarakat sekitar. Menjadi ironis ketika kita menuntut anak memiliki kompetensi tanpa memfasilitasi dan menjaga lalu mengamuk ketika si anak tidak percaya diri atau memiliki kompetensi yang tidak diharapkan. Masyarakat, khususnya keluarga, mau tidak mau harus ikut berperan. Bukan lantas dengan menutup paksa rental PS atau warnet, namun dengan ikut mendampingi si anak ketika bermain. Toh itu juga yang dilakukan orang tua di tahun 90an ketika anaknya bermain kelereng, galasin, atau bekel.
Para generasi 90an, yang kini sebagian besar telah menjadi orang tua, mungkin merasa kesulitan dalam memahami permainan anak. Tidak heran. Jenis dan selera permainan mereka sudah berbeda. Namun, memilih untuk memaksa anak memainkan jenis permainan yang sama dengan yang dulu dimainkan, nampaknya bukanlah keputusan yang bijak. Banyak mainan 90an yang tidak lagi diproduksi, lahan kosong sudah sulit ditemui, jam sekolah semakin panjang dan tugas makin banyak, lalu bagaimana bisa menggiring anak dan teman-temannya bermain kelereng di siang hari?
Para generasi 90an saat ini harus bisa secepatnya move-on. Memang menyenangkan menjadi anak kecil di tahun 90an, namun saya dapat mengatakan itu karena saya kecil di masa itu dan bukan di masa sekarang. Saya bukan lagi anak kecil di saat ini, sehingga tidak lagi bisa mengatakan bahwa permainan di masa sekarang tidak semenyenangkan dahulu, saya sudah melihatnya dari kacamata oranhg dewasa. Mengenalkan anak dengan permainan dahulu bisa jadi bahan interaksi antara anak dan orang tua yang mengasyikan, namun memaksa mereka untuk tetap memainkannya, sekali lagi, bukanlah keputusan yang bijak. Kemampuan untuk mendampingi anak saat memainkan permainannya, sedikit banyak juga menunjukkan kemampuan orang tua untuk beradaptasi. Beradaptasi dengan perubahan. Lalu dengan sendirinya akan mengajarkan anak untuk juga belajar beradaptasi dengan baik.
Dear generasi 90an… yuk, mari kita move-on.
sumber gambar: http://exploregram.com/minggu-paginya-anak-generasi90an-kartun-d-komikin_ajah-by-dhanypramata-komikinajah-dagelan/
Comments :