hubungan komunikasi interpersonal dan kecerdasan emosional pada pengguna ganja

Asteria Rahmat

1301010983

 

Bab I

Pendahuluan

 

1.1. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan manusia lain. Sebagai makhluk sosial, manusia merasakan perlu untuk mengadakan interaksi, berhubungan dan hidup bersama dengan manusia lain. Secara alami, manusia berusaha, bersosialisasi atau bermasyarakat. Manusia menyampaikan kebutuhan dan keinginannya melalui komunikasi. Komunikasi sendiri terjadi sejak seseorang dilahirkan, ketika ia berusaha menyampaikan pesan kepada ayah atau ibunya. Lingkup komunikasi kemudian bertambah luas, seiring dengan perkembangan usia dan lingkungan sosial seseorang mencakup keluarga, teman sepermainan, teman sekolah, rekan kerja, tetangga dan masyarakat pada umumnya.

Komunikasi yang dilakukan oleh seseorang terbagi menjadi komunikasi pribadi (intra persona) dan komunikasi antar pribadi (inter persona) atau komunikasi dengan manusia lain. Kegiatan komunikasi interpersonal atau antar pribadi dilakukan dalam keseharian manusia.

Suatu komunikasi dianggap sebagai efektif jika tujuan-tujuan komunikasi dicapai dengan baik. Dalam komunikasi apa yang diucapkan dinamakan pesan (message), orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator) sedangkan prang yang menerima pernyataan disebut sebagai komunikan (communicatee). Untuk tegasnya, komunikasi berarti proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan.

Komunikasi antar pribadi dilakukan oleh seseorang dalam melakukan sosialisasi atau untuk pergaulan seseorang dengan lingkungan sosialnya baik yang bersifat formal seperti dalam pekerjaan maupun informal seperti dalam pergaulan sehari-hari dengan teman sebaya.

Komunikasi antarpribadi didefinisikan oleh Joseph A. Devito sebagai “Proses pengiriman dan penenmaan pesan-pesan antara dua orang. atau di anlara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika” (the process of sending and receiving messages between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate feedback) (Effendy, 2000:59).

Dalam Komunikasi antarpribadi terjadi komunikasi secara secara dialogis, yang memiliki karakteristik interaksi yang intens. Dalam sebuah komunikasi dialogis masing-masing pihak yang terlibat menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Komunikasi dialogis adalah upaya dari para pihak yang terlibat untuk mencapai pengertian bersama dengan didasarkan apda empati. Dalam komunikasi dialogis terdapat rasa saling menghormati bukan disebabkan status sosial ekonomi, melainkan didasarkan pada anggapan bahwa masing-masing adalah manusta yang wajib, berhak. pantas, dan wajar dihargai dan dihormati sebagai manusia (Effendy, 2000:60)

Komunikasi antar pribadi yang bersifat informal terjadi secara horizontal terwujdu ketika komunikasi terjadi antar orang-orang yang memiliki kesamaan atau kemiripan dalam frame of reference (kerangka referensi) dan field of experience (bidang pengalaman) yaitu tingkat pendidikan, jenis profesi atau pekerjaan, agama, bangsa atau bangsa, hobi, ideologi, dan lain sebagainya (Effendy, 2000:61).

Komunikasi antar pribadi bisa terjadi secara diadik atau berlangsung antara dua orang atau secara triadik (triadic communication), dimana pelakunya terdiri dari tiga orang, yakni seorang komunikator (penyampai pesan) dan dua orang komunikan (penerima pesan). Komunikasi diadik lebih efektif, karena komunikator memusatkan perhatiannya kepada seorang komunikan, sehingga ia dapat menguasai frame of reference komunikan sepenuhnya, juga umpan balik yang berlangsung. Sementara komunikasi triadik lebih efektif dalam kegiatan mengubah sikap, opini, atau perilaku komunikan (Effendy, 2000:63).

Dalam aktifitas komunikasi sehari-hari, seseorang seringkali melakukan komunikasi diadik atau komunikasi triadik ketika berdialog atau bersosialisasi dengan sesama teman, rekan kerja, tetangga, dsb. Komunikasi antar pribadi bisa dikatakan mendorong perkembangan intelektual dan sosial seseorang dengan membentuk identitas dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. Komunikasi antar pribadi memungkinkan seseorang memahami hal-hal tertentu dan menguji pemahaman serta kebenaran atas pemahaman tersebut secara dialogis dengan membandingkannya dengan pemahaman orang lain terhadap obyek yang sama.

Dalam sebuah Komunikasi antar pribadi terdapat beberapa komponen, yaitu Komunikator, Pesan (message), Encoding, Bahasa, Penerima pesan (recipients), dan decoding. Komunikator ingin menyampaikan pesannya (message) yang diungkap/ atau dinyatakan (encoding) dengan bahasa yang berupa kata-kata, sentuhan, gestur, mimik wajah, dsb. Pesan ini disampaikan melalui berbagai media komunikasi yang bisa mencakup percakapan tatap muka, telepon, surat menyurat atau SMS, email, dsb. Ketika penerima pesan (recipients) menerima pesan, maka pesan tersebut mengalami penafsiran (decoding).

Dalam melakukan aktifitas komunikasi, seseorang dituntut untuk bisa menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya untuk menghindari terjadinya konflik yang bisa merusak tujuan komunikasi yaitu kesepahaman makna. Dalam hal ini maka dituntut adanya Kecerdasan emosional (emotional quotient/ EQ). Kecerdasan emosional sekarang ini dinilai lebih penting dibanding kecerdasan intelektual semata dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang.

Menurut Howard Gardner kecerdasan emosional terdiri dari lima aspek yaitu:

  1. Kemampuan menyadari emosi diri sendiri
  2. Kemampuan mengelola emosi diri sendiri
  3. Memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain
  4. Mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional
  5. Kemampuan menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri

Kecerdasan emosional ini adalah salah satu komponen yang penting untuk bisa menyesuaikan diri dan hidup dengan baik di tengah-tengah masyarakat. Popularitas EQ didorong oleh trend dan orientasi budaya. EQ dapat dilatih dan ditingkatkan dalam berbagai konteks sosial (pendidikan, pekerjaan, dan interpersonal) untuk memberikan keuntungan bagi pribadi dan masyarakat. EQ berperan penting dalam masyarakat modern dengan memberikan kontribusi lebih dari kecerdasarn intelektual umum. EQ berhubungan secara positif dengan prestasi akademik, keberhasilan dalam pekerjaan dan kepuasan kerja serta kesehatan dan penyesuaian emosional. EQ bahkan diklaim lebih penting daripada kecerdasan intelektual yang membantu seseorang mencapai kesuksesan dalam hidup (Goleman, 1995 dalam Matthews, Zeidner & Roberts, 2002).

Kecerdasan intelektual yang tinggi jika tidak disertai oleh kecerdasan emosional yang tinggi akan mengakibatkan emosi yang tidak stabil, mudah marah dan mendorong kekeliruan dalam menentukan dan memecahkan persoalan hidup karena menghambat konsentrasi seseorang. Sedangkan orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi berusaha untuk menciptakan keseimbangan diri dan lingkungannya, berusaha mencapai kebahagiaan dan bisa mengubah atau memperbaiki hal yang buruk menjadi lebih baik. Orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi juga cenderng mampu bekerja sama dalam sebuah tim dengan beragam orang lain yang memiliki latar belakang yang beragam. Dengan kata lain, kecerdasaran emosional terlihat dari tingkah laku yang ditunjukkan oleh seseorang dalam melakukan aktifitas sosial atau akfitias bersama orang lain.

Penelitian ini berusaha meneliti hubungan antara komunikasi interpersonal dan kecerdasan emosional pada pengguna ganja. Ganja atau Marijuana terbukti mempengaruhi penilaian seseorang dan dapat mengganggu atau kemampuannya untuk mengemudi. Sedagnkan penggunaan marijuana secara teratur, dapat mengakibatkan kinerja akademis yang buruk, atau bahkan kecanduan (http://headsup.scholastic.com/students/the-science-of-marijuana).

Marijuana atau ganja mempengaruhi sistem komunikasi yang penting di otak dan tubuh, yang disebut sebagai sistem endocannabinoid. Ganja memiliki kandungan aktif THC (delta-9-tetrahydrocannabinol) yang mempenaruhi reseptor cannabinoid (CB) di otak dan tubuh manusia. Tubuh manusia sendiri memiliki senyawa kimia cannabinoid alami yaitu anandamide dan 2-AG (2-arachidonoyl gliserol). Kedua senyawa alami dan reseptor CB ini disebut sebagai sistem endocannabinoid (EC). Sistem EC banyak ditemukan di otak. Cannabinoids bertindak sebagai “dimmer switch,” yang memperlambat komunikasi antar sel. Ketika seseorang menghisap ganja, THC masuk ke otak secara cepat dan melekat pada reseptor cannabinoid. Sistem EC alami pada dasarnya bereaksi terhadap informasi yang datang, tapi THC menghambat sistem EC ini. THC menghambat kimia alami tubuh melakukan pekerjaannya dan membuat tubuh kehilangan keseimbangan yang mengakibatkan panik/ paranoid, waktu reaksi yang lambat, koordinasi tubuh yang buruk, melemahnya ingatan, meningkatnya nafsu makan, berubahnya pemikiran, penilaian dan sensasi yang diterima tubuh, eforia dan berubahnya sensitifitas terhadap rasa sakit (http://headsup.scholastic.com/students/the-science-of-marijuana).

 

1.2 Variable

Berdasarkan fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa variable bebas (IV) adalah “hubungan komunikasi interpersonal” dikarenakan bagian inilah yang kemudian akan dimanipulasi. Sementara variable terikat atau DV adalah kecerdasan emosional. Dapat juga dilihat adanya banyak Extravous Variable atau yang disebut juga dengan EV. Antara lain adalah pengguna ganja, lama penggunaan, jenis ganja dan tingkat kecanduan.

 

1.3 Kaitan antar Variable

Hasil penelitian yang dimuat di jurnal Aust Fam Physician. 2010 Aug;39(8):554-7 berjudul Cannabis and mental health – management in primary care mengatakan penggunaan awal dan berat dari ganja dihubungkan dengan onset gejala psikosis dan depresi, sedangkan penggunaan yang lama menghasilkan keluaran hasil yang lebih buruk di antara orang-orang yang sudah mengalami gangguan mental.

Jurnal lain Ann Pharm Fr. 2008 Aug;66(4):245-54. Epub 2008 Sep 4 berjudul Induced psychiatric and somatic disorders to cannabis juga mengatakan bahwa penggunaan ganja berhubungan dengan timbulnya gejala psikosis dan kecemasan. Seperti juga zat psikoaktif lain, ganja bisa menjadi faktor yang mengeksaserbasi terjadinya psikopatologi pada pasien.

Di Forti dkk dalam Curr Opin Psychiatry. 2007 May;20(3):228-34, Cannabis use and psychiatric and cogitive disorders: the chicken or the egg? Mengatakan penggunaan ganja pada remaja meningkatkan risiko terjadinya psikosis terutama pada individu yang rentan. Seperti banyak penelitian lain, penelitian ini juga mengatakan bahwa pasien yang sudah menderita psikosis yang mengkonsumsi ganja akan memberikan hasil keluaran yang lebih buruk terhadap kesembuhannya. Hal ini karena hubungan efek ganja terhadap sistem dopamin. Penggunaan yang banyak dan kronis juga telah dihubungkan mempengaruhi memori dan performas belajar, baik terhadap individu yang sehat dan pasien yang psikosis.

Penggunaan Ganja berdampak terhadap perilaku. pengguna ganja lebih mudah mengalami depresi, berpikir negatif dan menjaga jarak dengan orang lain. Mereka lebih mungkin berfokus pada aspek paling negatif dari orang lain, menyaring informasi dengan kacamata gelap, dan nyaris selalu berprasangka buruk terhadap orang lain. Mereka tidak menyenangkan. Mereka tidak menggairahkan dan umumnya malu. Sebagian besar kenangan mereka negatif dan sulit untuk mengakses kenangan emosional atau perasaan positif.

Pengguna ganja juga cenderung berucap dan bertindak menjadi impulsif sehingga sering menimbulkan masalah serius dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Mereka sulit belajar dari kesalahan, sulit menyimak dan memusatkan perhatian. Mereka sering sulit mengungkapkan perasaan dan pikiran, sering gelisah dan sensitif terhadap kegaduhan, bebauan, cahaya dan sentuhan. Penggunaan ganja juga menyebabkan gangguan mengingat, emosi yang labil, Mereka tempramental dan sulit mengendalikan kemarahan. Mereka kerab memikirkan sesuatau yang kejam dan mengungkapkan frustasi melalui kata-kata yang agresif dan sedikit pranoid.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini ingin meneliti tentang hubungan antara komunikasi interpersonal dan kecerdasan emosional pada pengguna ganja.

 

1.4 Hipotesis

“Terdapatnya hubungan antara komunikasi interpersonal dan kecerdasan emosional pada pengguna ganja”