Source: http://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/medias/808658/big/073441400_1423537940-macet_1.jpg
Kemacetan Jakarta. Source: http://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/medias/808658/big/073441400_1423537940-macet_1.jpg

 

Pernahkah Anda merasa resah dengan kondisi berkendara sehari-hari? Saat para pengemudi tidak mau mengalah, membuat arus lalu lintas makin ruwet, dan akhirnya membuat kemacetan sehingga Anda pun terlambat masuk ke kelas atau kantor. Atau merasa tidak aman dengan adanya berita tentang pembegalan di beberapa area di Jakarta. Rasanya, para pengendara motor dan pembegal tidak peduli perasaan orang lain. Pada serial artikel kali ini, salah satu mahasiswa psikologi Universitas Bina Nusantara akan menuangkan idenya mengenai strategi membuat individu lebih peduli dengan perasaan sesamanya. Artikel ini dibuat untuk mengikuti lomba penulisan essay yang diadakan oleh Universitas Bunda Mulia pada bulan Mei 2015 yang lalu dengan tema “Upaya Peningkatan Perilaku Positif untuk Membangun Bangsa dan Negeriku”, dan berhasil masuk peringkat 10 artikel terbaik. Artikel ini akan sangat berguna bagi orangtua, maupun guru yang berinteraksi dengan anak usia 2-5 tahun. Ingin tahu lebih lanjut mengenai perbedaan empati dan simpati? Penasaran dengan strategi penanaman empati pada anak? Ikuti serial artikel ini.

 

STRATEGI PENANAMAN EMPATI SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN MORAL PADA ANAK

(Bagian 1)

Indra Kurniawan

indrakuurniawan@gmail.com

 Kondisi Moral di Indonesia 

Sejak lahir, saya bukan penggemar kendaraan umum. Saya selalu menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti sekolah atau sekedar bermain. Semenjak memasuki dunia perkuliahan, mungkin untuk pertama kalinya saya menginjakan kaki di dalam beberapa kendaraan umum seperti angkot dan KRL (commuter line). Baru sekitar 2 tahun saya menggunakan kendaraan umum dalam kegiatan sehari-hari membuat saya tersadar akan satu hal. Bukan opini normatif seperti “Seharusnya semua orang sadar akan pentingnya menggunakan kendaraan umum.” Atau “Pemerintah seharusnya meningkatkan fasilitas kendaraan umum.” Ya, hal tersebut memang ada benarnya. Tapi hal yang paling menarik perhatian saya adalah sikap mayoritas masyarakat Indonesia yang tidak peduli terhadap berbagai hal. Mereka hanya mementingkan keinginan dan kenyamanan mereka sendiri tanpa memikirkan dampak dari perilaku yang mereka tunjukan terhadap orang lain.

Saya punya kebiasaan untuk diam, menghela nafas dan berbicara dalam hati “dasar bebal…” ketika menjumpai beberapa perilaku yang ‘bebal’ seperti tidak mau antre, buang sampah sembarangan, perusakan fasilitas umum, atau perilaku pengendara jalan yang akan panjang jika dijelaskan. Lucunya, saya pasti melakukan kebiasaan itu setiap hari seperti sebuah rutinitas. Rutinitas ini membuat saya berpikir kenapa manusia-manusia bebal ini terus berkembang biak, kenapa supir angkutan umum tidak punya telinga, kenapa banyak pengguna jalan yang tidak bisa membedakan antara warna merah dan hijau, kenapa banyak pengguna KRL yang tidak bisa baca atau sekedar membedakan antara kaum prioritas dan yang bukan, kenapa… Sudahlah, mungkin kalau saya teruskan, akan mengabiskan batas maksimal halaman esai ini. Apakah para manusia bebal ini tidak memikirkan konsekuensi dari perilakunya? Tidakkah mereka berpikir bahwa dengan menyerobot antrean dapa merugikan orang lain, atau dengan supir angkutan umum yang parkir sembarangan dapat membuat kemacetan yang merugikan orang banyak?

Beberapa fenomena yang saya paparkan sebelumnya hanyalah contoh kecil dari sikap masyarakat Indonesia yang tidak peduli terhadap kepentingan orang lain. Bila kita ingin tahu seperti apa contoh yang berdampak besar, tidak perlu jauh-jauh, nyalakan saja televisi anda dan duduk sejenak menonton berita. Ada korupsi, tawuran, bullying, penipuan, penjualan manusia, atau pelanggaran HAM lainnya. Di Indonesia sendiri, pelanggaran HAM memiliki pamor yang cukup tinggi. Kapuspenkum Tony T. Spontana mengatakan bahwa masih ada 7 kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas peradilannya, seperti kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, Kerusuhan Mei 98, dll (Irawan, 2015). Tidak berhenti di situ, di era modern seperti ini ternyata masih ada kasus perbudakan. Letkol Arie Dharmanto menyatakan sudah tertangkapnya dua orang Indonesia dan lima orang Thailand terkait perdagangan manusia dan perbudakan di suatu industri perikanan di timur Indonesia (Associated Press, 2015). Selain itu masih sangat banyak kasus-kasus yang biasa kita dengar sehari-hari yang berasal dari ketidak pedulian seseorang terhadap kepentingan orang lain.           Dan semua cerita buruk yang kita lihat dalam keseharian kita ini, adalah sebuah indikator dari sangat kurangnya pendidikan moral di Indonesia.

Upaya Peningkatan Moral Masyarakat Indonesia

Sudah ada beberapa upaya pemerintah dan masyarakat dalam rangka meningkatkan moral masyarakat Indonesia dalam bidang pendidikan, seperti penanaman nilai agama, bercerita, bercerita menggunakan buku bergambar ataupun dengan media audiovisual (Amelia, Ali, & Miranda, 2013; Dwiantari; Lubis, 2014; Jacoba, 2013). Berbagai upaya tersebut bukan tidak membuahkan hasil, tetapi kurang bisa menyentuh dasar dari pengembangan moral itu sendiri, yaitu empati. Selain itu, cara-cara di atas cenderung bersifat ‘mengajar’ di mana anak tidak berpartisipasi dalam prosesnya.

Menurut social learning theories yang diprakarsai oleh Albert Bandura, suatu perilaku akan lebih efektif bila dipelajari melalui pengalaman langsung atau dengan mengobservasi perilaku orang lain (Bandura, 1971). Bandura juga percaya akan kuatnya pengaruh pembelajaran dengan observasi. Observational learning adalah pembelajaran yang terjadi ketika seseorang mengobservasi atau mengimitasi orang lain (King, 2011).

Ada beberapa literatur yang mengaitkan moral dengan empati. Banyak pengamat perkembangan anak yang percaya bahwa perasaan positif (empati, simpati, atau ­self-esteem) dan perasaan negatif (rasa marah, rasa malu, atau rasa bersalah) memiliki kontribusi dalam perkembangan moral anak (Santrock, 2009). Selain itu menurut Daniel Goleman, kemampuan berempati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti perasaan orang lain. Seseorang yang memiliki empati yang tinggi cenderung memiliki nilai untuk bersikap bijaksana, sopan, murah hati, dan bisa memikirkan perasaan orang lain. Dengan kata lain empati memiliki kaitan yang erat dengan moral seseorang (Muhtadi, 2002).

Empati berbeda dengan simpati. Hal ini perlu ditekankan mengingat masih banyak filsuf dan psikolog yang kesulitan dalam membedakan kedua istilah tersebut (Switankowsky, 2000). Pada dasarnya, empati memerlukan proses kognitif yang lebih kompleks dari simpaati. Menurut Carl Rogers, empati adalah suatu proses pemahaman orang lain dari perspektif orang lain tersebut – “…you lay aside your own views and values in order to enter another’s world without prejudice.” (Liebert & Spielger, 1987). Sedangkan simpati biasa dikatakan dengan merasakan keadaan orang lain, namun empati meliputi pemahaman akan situasi orang lain (Switankowsky, 2000). Secara umum, empati terjadi sebagai hasil dari usaha pemahaman secara aktif terhadap situasi orang lain. Di sisi lain, simpati bersifat pasif, kita hanya merasakan apa yang orang lain rasakan tetapi tidak mengeluarkan usaha yang lebih untuk mengerti situasi yang sedang dialami oleh orang lain.

Asal kata empati pertama kali ditemukan oleh seorang psikolog dari Jerman bernama Theodore Lipps pada tahun 1880an. Lipps menggunakan kata “einfuhlung” (dalam bahasa inggris “in-feeling”) untuk mendeskripsikan suatu apresiasi emosi oleh seseorang terhadap orang lain (Ioannidou & Konstantikaki, 2008). Liz Bondi (2003) mendefinisikan empati sebagai proses seseorang yang secara imajinatif memasuki dunia perasaan orang lain. Literatur lain mendefinisikan empati sebagai kapasitas seseorang untuk mengerti perilaku orang lain, merasakan perasaan orang lain, dan menunjukan kepedulian terhadap orang lain (Lam, Kolomitro, & Alamparambil, 2011).

Pemberian pendidikan empati terhadap anak sebagai inti dari pendidikan moral atau budi pekerti akan mampu menyentuh perkembangan perilaku anak secara mendasar bila ditanamkan sejak dini (Muhtadi, 2002). Menurut Thompson, McGinley, & Meyer, anak memerlukan bimbingan dari orang dewasa terutama orangtua, dengan memberikan pelajaran tentang moral dalam kehidupan sehari-hari (Santrock, 2009). Adler menambahkan bahwa pengaruh lingkungan sosial sejak dini dan hubungan anak dengan orangtuanya memiliki kontribusi yang besar dalam pembentukan kepribadian anak (Feist, Feist, & Roberts, 2013). Dapat disimpulkan dari beberapa kajian literatur di atas, bahwa faktor lingkungan khususnya keluarga memiliki peran besar dalam perkembangan moral anak. (bersambung)

 

Pembimbing:

Pingkan C. B. Rumondor, S.Psi., M.Psi.

prumondor@binus.edu