Sumber: http://i.dailymail.co.uk/i/pix/2009/11/02/article-1224821-070EEC98000005DC-13_468x313.jpg

Sumber gambar: http://i.dailymail.co.uk/i/pix/2009/11/02/article-1224821-070EEC98000005DC-13_468x313.jpg

 

Masa remaja adalah masa dimana seorang individu beralih dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai dengan pubertas (sekitar umur 8-10 tahun) hingga memasuki dewasa awal (18-20 tahun). Masa ini ditandai dengan perkembangan fisik, kognitif, psikologis dan sosial.  Dari segi fisik, remaja mengalami perubahan yang sangat signifikan, yaitu matangnya organ seksual yang diiringi dengan tanda-tanda seperti: bertumbuhnya rambut di sekitar alat kelamin, berubah suara dan mimpi basah (untuk laki-laki), bertumbuhnya buah dada, serta menstruasi pada perempuan. Perubahan hormon pada remaja, khususnya pada wanita yang menstruasi seringkali menimbulkan jerawat. Dalam suatu penelitian tugas akhir di Semarang (Astuti, 2010) ditemukan bahwa dari 60 siswi SMA yang diteliti, 41,7% mengalami jerawat sebelum menstruasi.

Selain itu remaja juga berada pada masa “growth spurt” atau pertumbuhan tulang yang sangat cepat. Inilah kenapa remaja laki-laki bertambah tinggi dengan sangat cepat. Pada periode ini, penampilan fisik menjadi isu yang sangat penting. Remaja sangat memikirkan mengenai penampilan mereka. Mengapa? Salah satu alasan ialah karena mereka berusaha untuk bisa cocok dengan norma kelompok mereka, agar mereka diterima di kelompok yang mereka inginkan. Selain berusaha masuk dalam satu kelompok (sehingga sangat memperhatikan penampilan), remaja juga berusaha untuk menampilkan keunikan dari dirinya agar berbeda dari kelompoknya. Sehingga mereka seringkali menghabiskan waktunya untuk “berdandan” dan bereksplorasi mencari gaya yang unik untuk ditampilkan.

Sementara itu, dari sudut pandang psikologi, remaja berada pada tahap perkembangan “identity versus identity confusion” atau pencarian jati diri. Pada masa ini, remaja mencoba mencari jawaban dari pertanyaan “siapakah saya?“. Mereka mulai bereksplorasi dan memilih mana hal yang mendefinisikan “saya” mana yang bukan.  Jati diri atau identitas disini mencakup peran dan status orang dewasa, misalnya mulai berpacaran, dan mulai menentukan “karir” masa depan (yang diawali dengan menentukan jurusan di SMA dan menentukan cita-cita). Mereka mulai membentuk suatu gambaran global mengenai atribut yang dimiliki (misal: saya tinggi/pendek), peran-peran (misal: sebagai anak, cucu, teman pacar), minat (misal: saya hobi menggambar/dengar musik), hingga nilai dan keyakinan. Gambaran global tentang diri remaja ini sering disebut dengan konsep diri. Di dalam konsep diri terdapat juga gambaran global mengenai penampilan dan bentuk tubuh, atau body image.

Selain itu, remaja juga mulai mengembangkan “harga diri” (self esteem) atau sejauh mana mereka menghargai dan merasa nyaman dengan diri sendiri. Nah, self-esteem ini berkembang dengan cara yang unik untuk masing-masing orang. Biasanya, self-esteem yang terbentuk akan cenderung menetap sepanjang masa remaja dan terbawa hingga dewasa. Misalnya, seorang remaja yang merasa dirinya menarik, bisa menerima diri dan penampilan fisik apa adanya cenderung menilai diri positif hingga dewasa.  Oleh karena itulah, pembentukan harga diri atau self esteem pada remaja menjadi sangat penting. Seiring perkembangan self esteem, kognitif (kemampuan berpikir) remaja juga berkembang. Mereka mulai bisa menarik kesimpulan dan membuat hipotesa. Tidak lagi seperti anak-anak yang hanya bisa memahami sebatas apa yang mereka lihat. Mereka pun menggunakan kemampuan kognitif ini untuk menarik kesimpulan tentang dirinya. Namun, karena kemampuan menarik kesimpulan ini baru berkembang, terkadang remaja menarik kesimpulan yang tidak sepenuhnya tepat. Misalnya, dari antara semua aspek dirinya, remaja seringkali menentukan “keberhargaan diri”nya dengan menilai: penampilan fisik, terutama untuk wanita (Harter, 1990a, dalam APA, 2002). Jadi, jika ia menilai penampilannya jelek, ia akan cenderung menilai negatif seluruh aspek dirinya. Padahal bisa saja sebenarnya ia memiliki keterampilan bermain musik atau matematika yang baik. Di sisi lain, jika ia menilai penampilannya menarik, maka ia cenderung menilai positif seluruh aspek dirinya. Inilah kenapa penilaian tentang penampilan diri remaja menjadi sangat penting.

Selain itu, remaja juga punya cara berpikir yang khas, yaitu  egocentrism, kecenderungan berpikir bahwa dirinya merupakan pusat perhatian orang orang di sekelilingnya. Oleh karena itu, mereka pun semakin memperhatikan penampilannya karena mereka pikir, penampilan mereka sangat dinilai oleh orang lain (meskipun tidak selalu demikian).

Jadi, secara ringkas, penampilan menjadi penting pada masa remaja karena: 1) menjadi salah satu tolak ukur utama dari self esteem/keberhargaan diri yang cenderung menetap hingga dewasa, 2) menjadi salah satu kriteria yang diperlukan untuk bisa masuk dalam kelompok sosial tertentu, dan 3) penampilan menjadi sarana remaja menunjukkan identitas dirinya yang unik.

Mengingat perubahan fisik merupakan hal yang penting dalam perkembangan remaja, jadi sebaiknya orang dewasa menganggap serius keluhan remaja terkait penampilan. Hal ini karena ternyata keluhan terkait fisik memiliki dampak yang besar pada perkembangan remaja. Keluhan yang sering muncul terkait penampilan antara lain munculnya jerawat, perlu memakai kacamata, atau kelebihan berat badan. Seperti yang dijelaskan di atas, penampilan seringkali dijadikan tolak ukur evaluasi self esteem remaja. Jadi jika ia merasa dirinya jelek, self esteem-nya dapat terpengaruh. Selain itu, penelitian pada mahasiswa di Oman (Al-Shidani, et.al., 2015) menemukan bahwa semakin parah jerawat, maka semakin negatif tiga area berikut ini:

  • persepsi si mahasiswa tentang dirinya (merasa semakin tidak menarik, malu, tidak puas dengan penampilan, makin tidak percaya diri, semakin awas dengan penampilannya (self-conscious)),
  • makin tinggi emosi negatif tentang diri (sedih karena berjerawat, terganggu karena harus menghabiskan banyak waktu merawat diri, terganggu dengan pengobatan),
  • serta semakin sulit menjalani peran sosial (bertemu orang baru, bergaul, berinteraksi dengan lawan jenis). Penelitian lain mengkonfirmasi hasil ini bahwa jerawat yang parah menimbulkan permasalahan yang sama beratnya dengan penyakit seperti asma, epilepsy, diabetes, arthritis (Cresce, et.al., 2014).

Jerawat bukan satu-satunya masalah terkait penampilan dan self-esteem pada remaja. Permasalahan pola makan dan diet berlebihan untuk menjaga bentuk tubuh juga kerap muncul pada remaja, terutama remaja putri. Namun, ternyata jerawat bukan isu yang sepele. Bagi orangtua yang memiliki anak remaja, dengarkan keluhan anak Anda mengenai jerawatnya, lalu pandu dia untuk mengatasi permasalah tersebut. Sementara bagi Anda, remaja putri, pahamilah bahwa jerawat merupakan permasalahan yang wajar terjadi di umur Anda. Untuk itu, jagalah kebersihan kulit wajah dan kurangi jenis makanan yang bisa meningkatkan keparahan jerawat yang muncul.

 

Referensi:

APA. (2002). Developing Adolescents: A Reference for Professionals. Washington: American Psychological Association. Diunduh pada 1 September 2015 dari: https://www.apa.org/pi/families/resources/develop.pdf

Astuti. (2011). Hubungan Antara Menstruasi dengan Kejadian Akne Vulgaris pada Remaja. Tugas Akhir, Universitas Diponegoro: Semarang. Diunduh pada 2 September 2015 dari: http://core.ac.uk/download/pdf/11731909.pdf

Al-Shidhani, A., Al-Rashidi, S., Al-Habsi., Rozvo. (2015). Impact of Acne on Quality of Life of Students at Sultan Qaboos University. Oman medical Journal, 2015 Jan; 30(1), 42-47. Diunduh pada 1 September 2015 dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4371463/#r13

Cresce ND, Davis SA, Huang WW, Feldman SR. (2014). The quality of life impact of acne and rosacea compared to other major medical conditions. J Drugs Dermatol. 2014 Jun; 13(6):692-7. Diunduh pada 1 September 2015 dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24918559/

Pawin, H., Chivot, M., Beylot, C., Faure, M., Poli, F., Revus, J. Dreno, B. (2007). Living with acne. A study of adolescent’s personal experiences. Dermatology, 2007, 215(4):308-14. Diunduh pada 1 September 2015 dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17911988/

Pingkan C. B. Rumondor, S.Psi., M.Psi.

prumondor@binus.edu