Marcellino Yohanes – 1601236095

BAB 1

LATAR BELAKANG

 

1.1 Pendahuluan

Masalah prokrastinasi terkadang dianggap sebagai hasil yang tidak diinginkan dari berkembangnya peradaban manusia menuju modernisasi. Akan tetapi, sebenarnya masalah prokrastinasi ini sendiri telah diperingatkan oleh penyair Yunani Hesiod di sekitar tahun 800 SM. Ungakapan dari sang penyair tersebut berbunyi, “never put your work off till tomorrow and the day after” meggambarkan bahwa prokrastinasi merupakan masalah yang memang sudah dihadapi manusia sejak munculnya berbagai peradaban-peradaban kuno. Secara etimologis, prokrastinasi berasal dari berbagai kata dalam Bahasa Latin, yaitu dari prō (mendukung) + crāstinus (yang berhubungan dengan hari esok). Selain itu, pada 20 tahun terakhir ini, prokrastinasi juga menjadi topik yang dijadikan menjadi kajian dari berbagai studi empiris secara drastis (Jaffe, 2013). Dalam ruang lingkup empiris, prokrastinasi didefinisikan oleh Lay pada tahun 1986 sebagai sebuah kecenderungan untuk menunda hal-hal yang penting untuk mencapai sebuah tujuan. Fenomena ini sendiri biasanya dapat dikaji oleh berbagai macam pendekatan yang ada dalam ilmu psikologi, namun, belum ada sebuah penjelasan teoritis yang menjadi dasar seluruh penelitian yang bertajuk prokrastinasi.

Dampak dari prokrastinasi sendiri dapat menjadi inti dari berbagai masalah sosial. Seseorang tanpa sadar dapat melakukan prokrastinasi dengan terus menerus mengatakan bahwa ia akan mencari bantuan medis atas sebuah kondisi yang dimilikinya, namun ia selalu gagal menyisihkan waktunya karena ia lebih memilih pekerjaanya atau mungkin hanya untuk menghabiskan waktu dengan santai di sofa. Terkadang, mungkin sebuah tugas seperti membayar tagihan pulsa terlihat sangat mudah dan sederhana, sehingga kita selalu mengakatakan “Oh, saya pasti akan membeli pulsa, itu merupakan sebuah hal yang mudah, lebih baik saya melakukan… terlebih dahulu”, dan akhirnya kita menghabiskan sehari penuh melewati hari dengan melakukan berbagai hal, dan tentunya dengan pandangan bahwa tugas yang harusnya kita laksanakan itu mudah. Disini dapat kita lihat bahwa prokrastinasi dapat muncul dalam berbagai macam bidang, misalnya dalam keuangan, dimana orang-orang yang tidak langsung menyelesaikan masalah keuangan mendesak atau dalam bidang kesehatan, dimana orang menunda-nunda kunjungan ke dokter atau untuk memakan obat (Steel, 2010). Selain menjadi wabah dalam berbagai bidang profesi dan vokasi, tentunya prokrastinasi juga menjadi masalah yang cukup signifikan dalam bidang pendidikan.

Sistem Kebut Semalam atau yang lebih dikenal oleh kalangan siswa- maupun mahasiswa sebagai SKS merupakan sebuah ‘sistem’ belajar dimana pembelajaran untuk sebuah tugas akademis seperti latihan, kuis maupun ujian dilaksanakan semalam, sehari sebelum, bahkan beberapa jam sebelum pelaksanaan tugas akademis tersebut. Biasanya, siswa/mahasiswa yang melakukan ini rela mengorbankan waktu tidur mereka yang berharga untuk berlembur dan mencoba untuk mempelajari segala materi yang seharusnya sudah dipelajari sebelumnya. Selain itu, kita masih dapat melihat banyak siswa-siswa yang meminjam pekerjaan rumah dari temannya karena mereka ‘lupa’, ‘malas’, maupun memiliki aktifitas lainnya, sehingga pekerjaan rumah tersebut dianggap sepele. Bahkan masih banyak juga penyontekan tugas yang terjadi, khususnya pada jenjang SD-SMA, dimana beberapa siswa sama-sama mencari seorang yang dapat dicontek hasil pekerjaan rumahnya, beberapa menit sebelum pelajaran yang memberikan pekerjaan rumah tersebut dimulai. Proses penunda-nundaan pengerjaan tugas tersebut juga dapat dilihat pada mahasiswa-mahasiswa dimana prokrastinasi disini dapat menjadi akar dari masalah akademis lainnya seperti plagiarisme.

Prokrastinasi akademis dapat didefinisikan sebagai penundaan pengerjaan tugas-tugas akademis yang dilakukan secara sukarela dalam sebuah jangka waktu yang diharapkan atau yang diharuskan, walaupun mereka sadar bahwa keadaan akan memakin memburuk (Senécal et al. 1995; Steel 2007 dalam Tan et al., 2008). Ada setidaknya enam area menurut Solomon & Rothblum (1984) dimana prokrastinasi akademis biasa dilakukan, dan yang paling banyak adalah dalam pengerjaan tugas akhir, makalah, term paper¸ atau thesis. Tentunya prokrastinasi tidak sedikit menimbulkan masalah-masalah seperti rasa kecemasan maupun nilai yang kurang memuaskan. Oleh karena tingkat prokrastinasi pada murid pendidikan tersier yang tergolong tinggi, dimana setidaknya 70% dari seluruh mahasiswa perguruan tinggi melakukan prokrastinasi (Ellis & Knaus, 1977), topic prokrastinasi akademis ini menjadi sebuah topik yang cukup penting untuk dipelajari.

Penelitian-penelitian sebelumnya telah mencoba menghubungkan berbagai macam traits dan facet dari traits kepada prokrastinasi. Berbagai faktor kognitif yang biasa diteliti dalam faktor prokrastinasi juga mencakupi self-control, self-efficacy dan locus of control(Janssen & Carton, 1999). Namun, apakah proses self-regulation dapat mempengaruhi kecenderungan prokrastinasi akademis? Tidak heran ketika kita mendengar orang yang berjanji “saya akan belajar dengan sungguh-sungguh di semester depan!” dan akhirnya ia gagal dalam mencapainya, lalu ia akan membuat janji yang sama berulang-ulang. Fenomena ini dapat kita saring dalam bentuk yang lebih sederhana, seorang mahasiswa yang tidak mengerjakan suatu tugas, atau mungkin ia telat dalam mengerjakan suatu tugas, dan ia berjanji “saya akan menyelesaikan tugas selanjutnya dengan tepat waktu!” Namun, karena berbagai alasan, tekad ini tidak dapat terlaksana dan ia kembali menunda-nunda lagi waktu pengerjaan tugas akademis yang ia miliki tersebut. Contoh dari situasi yang telah diilustrasikan diatas menggambarkan adanya gangguan dalam proses self-regulation. Self-regulationsendiri dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan mempertahankan sebuah perilaku terencana untuk mencapai sebuah tujuan (Kanfer, 1970). Biasanya konsep yang dikembangkan oleh Kanfer ini digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi berbagai perilaku adiktif, namun sebenarnya model ini dikembangkan untuk menjelaskan proses self-regulation pada umumnya.

Dengan mempertimbangkan penelitian-penelitian dan literatur dalam topik prokrastinasi, penulis melihat bahwa hubungan antara self-regulation dengan prokrastinasi belum terlalu didalami dalam beberapa decade ini. Melihat bahwa model self-regulation dapat juga digunakan untuk menjelaskan kecenderungan prokrastinasi secara logika, dengan mengambil contoh misalnya tujuan-tujuan yang diinginkan adalah mendapat nilai bagus dan mennyelesaikan tugas dengan tepat waktu. Namun, ketika terjadi kegagalan atau kekurangan dalam salah satu dari tahapan yang ada dalam self-regulation, perilaku untuk mencapai tujuan tersebut akan tertunda. Dengan mempertimbangkan bahwa kemampuan self-regulation pada remaja kuranglah baik dan kebanyakan mahasiswa baru berada dalam tahap transisi dari fase remaja, ini dapat mengakibatkan terjadinya prokrastinasi.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena dan juga literatur-literatur yang telah diulas, peneliti merumuskan satu pertanyaan penelitian, yaitu Apakah ada hubungan antara kemampuan self-regulation seorang individu dan prokrastinasi akademis pada mahasiswa S1?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-regulation dengan prokrastinasi akademis pada mahasiswa S1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prokrastinasi

Ferrari, Johnson, & McCown (dalam Janssen & Carton, 1999) mendefinisikan prokrastinasi sebagai tindakan sia-sia menunda-nunda pengerjaan sebuah tugas, sebuah perilaku bermasalah yang dialami oleh kebanyakan orang-orang dewasa. Prokrastinasi sering sekali dan dapat dilihat sebagai sebuah sifat atau sebuah disposisi untuk menunda pelaksanaan tugas atau pengambilan keputusan (Milgram, Mel-Tay, & Levison, 1998). Faktor-faktor lainnya yang biasa dihubungkan dengan prokrastinasi mencakupi faktor demografis (umur, jenis kelamin, jenjang pendidikan), kemampuan kognitif, self-image, motivasi-motivasi seperti fear of failure, perfeksionisme dan self-handicapping (Urban & Midgley 2001), afek, dan juga diasumsikan dapat mempengaruhi performa. Faktor-faktor ini didapatkan oleh sebuah meta analisis yang dilaksanakan oleh Vaneede (2003) kepada 121 penelitian pada bidang prokrastinasi.

2.1.1 Faktor-Faktor Penyebab Prokrastinasi

Meta analisis Vaneede (2003) yang menganalisa korelasi pada 121 penelitian yang mempelajari hubungan antara berbagai faktor terhadap prokrastinasi. Walaupun tidak didasari oleh sebuah teori yang digunakan oleh seluruh penelitian tersebut, tujuan dari analisis ini adalah untuk mengidentifikasi proses-proses mana sajakah yang berperan dalam prokrastinasi. Berikut merupakan faktor-faktor yang diidentifikasikan dalam meta analisis ini:

  1. Faktor Demografis/kemampuan kognitif

Umur dihubungkan secara negatif terhadap prokrastinasi, yang berarti kebanyakan orang yang melakukan proktrastinasi terdapat pada mereka yang berada dalam kelompok umur lebih muda. Selain itu, jenis kelamin juga ditemukan untuk memiliki hubungan juga dengan prokrastinasi; dimana terdapat sedikit lebih banyak procrastinator pria dibandingkan dengan procrastinator perempuan. Namun, kecerdasan ditemukan tidak memiliki hubungan dengan prokrastinasi, dimana dalam penelitian yang menghubungan nilai SAT (Scholastic Aptitude Test) dengan prokrastinasi mendapatkan sebuah hubungan positif dengan signifikansi yang sangat rendah (r = 0.10).

  1. Faktor traits

Conscientiousness, sebuah trait dari teori Big Five personality trait, ditemukan memiliki effect size rata-rata yang terbesar (r = -0.63). Hasil ini juga dapat digunakan sebagai argument untuk memasukkan prokrastinasi sebagai sebuah facet dari conscientiousness.Neuroticism ditemukan memiliki effect size dengan kekuatan sedang (r = 0.24). Pesimisme ditemukan memiliki hubungan yang lemah (r = 0.19) terhadap prokrastinasi.

  1. Self-image

Variabel yang sering dihubungkan kepada prokrastinasi dalam kategori self-image mencakupi self-esteem (r = -0.28) dan self-efficacy (r = -0.44).

 

  1. Motives

Motivasi-motivasi yang sering ditemukan dalam literatur prokrastinasi namun memiliki effect size yang kecil mencakupi fear of failure dan perfectionism. Motivasi self-handicapping ditemukan untuk memiliki hubungan yang lebih penting, dengan nilai r rata-rata 0.46.

  1. Affect

Faktor state anxiety dan depression ditemukan untuk memiliki hubungan yang sedang. Hubungan yang sedang dengan prokrastinasi. Depresi ditemukan memiliki hubungan konsisten diantara 11 studi, sedangkan kecemasan tampaknya merupakan sebuah faktor yang dimoderasikan.

  1. Performance

Kategori efek “tidak tepat deadline” (r=0.29) dan “persiapan tugas” (r=-0.20) memiliki efek yang homogen, menyarankan bahwa adanya hubungan langsung diantara prokrastinasi dan variabel-variabel tersebut.

2.1.2Prokrastinasi Akademis

Prokrastinasi yang dilaksanakan didalam konteks akademis disebut juga dengan prokrastinasi akademis dalam enam area fungsi akademis yaitu dalam: (a) menulis makalah, (b) belajar sebelum ujian, (c) mengerjakan tugas mingguan, (d) melaksanakan tugas-tugas administratif, (e) menghadiri pertemuan-pertemuan, dan (f) melaksanakan tugas-tugas akademis secara umum (Solomon & Rothblum, 1984 dalam Özer, Demir, & Ferrari, 2009). Diperkirakan bahwa setidaknya 70% dari seluruh mahasiswa perguruan tinggi melakukan prokrastinasi (Ellis & Knaus, 1977), dan dari penelitian yang dilaksanakan oleh Solomon & Rothblum (1984) ditemukan bahwa 46% dari mahasiswa melakukan prokrastinasi dalam menulis makalah, 30% dalam melakukan tugas mingguan/tugas membaca, 28% dalam belajar sebelum ujian, 23% dalam menyelesaikan tugas akademis umum dan 11% dalam menyelesaikan tugas-tugas administratif.

2.2 Self-Regulation

Kanfer (1970) mendifinisikan self-regulation sebagai kemampuan untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan mempertahankan sebuah perilaku terencana untuk mencapai sebuah tujuan. Konsep mendasar yang dikandung dalam self-regulation adalah goal pursuit, dimana sebuah goal atau tujuan didefinisikan sebagai “sebuah kondisi di masa depan yang diinginkan yang ingin dicapai melalui tindakan” (Kruglanski, 1996 dalam Hoyle & Davisson, 2011). Tujuan disini dapat berupa tujuan jangka panjang, maupun tujuan jangka pendek. Contohnya dalam konteks akademis misalnya; mengerjakan tugas yang baru diberikan merupakan tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjangnya bisa jadi merupakan untuk mempertahankan IPK yang baik. Dengan menggunakan teori dasar Kanfer sebagai landasan, Miller & Brown (1991) mengembangkan sebuah model tujuh tahapan dalam self-regulation. Dalam model ini, proses self­-regulation dapat gagal ketika terjadi kegagalan atau kekurangan pada salah satu dari tujuh tahapan berikut:

  1. Receiving

Menerima informasi yang relevan mengenai pencapaian tujuan

  1. Evaluating

Memberikan evaluasi terhadap informasi yang didapat dan membandingkannya kepada norma-norma yang ada.

  1. Triggering

Melakukan perilaku yang diharapkan.

  1. Searching

Mencari pilihan-pilihan alternative

  1. Formulating

Membangun sebuah rencana untuk mencapai sebuah tujuan yang diinginkan

  1. Implementing

Menerapkan rencana yang telah dibuat di tahap sebelumnya

  1. Assessing

Memberikan penilaian terhadap keberhasilan dari rencana. Setelah mencapai tahap penilaian ini, proses self-regulation kembali kepada tahapan 1 dan 2.

Walaupun model ini dikembangkan untuk mempelajari perilaku-      perilaku adiktif, model ini mencoba untuk menjelaskan prinsip-prinsip self-        regulation secara garis besar. Kemampuan atau kapasitas self-regulation ini   juga dapat dibagi menjadi tiga kategori melalui alat ukur yang juga dikembangkan oleh Miller & Brown             (1991) yaitu; high (intact) self-regulation        capacity, intermediate (moderate) self-regulation capacity, dan low (impaired) self-regulation capacity.Secara garis besar, self-regulation theory beranggapan             bahwa individual dengan kemampuan self-regulation rendah akan memiliki            kesulitan dalam mengembangkan tujuan adaptif dan mengawasi status terkini          mereka dalam mencapai tujuan tersebut dibandingkan dengan individu dengan         kemampuan self-regulation yang tinggi(Hustad, Carey, Carey, & Maisto,             2009).

2.4Kerangka Berpikir

Prokrastinasi sudah sering dihubungkan dengan variabel-variabel kognitif seperti locus of control, self-efficacy, maupun self-control. Kebanyakan dari variabel tersebut merupakan teori-teori atau model yang berhubungan dengan behavioral control. Dari paparan yang diungkap pada latar belakang, kita telah melihat fakta bahwa prokrastinasi merupakan masalah yang cukup besar pada berbagai aspek dari kehidupan dan bidang akademis juga tidak luput dari masalah prokrastinasi ini dan dalam upaya meningkatkan pemahaman tentang fenomena yang menarik ini, peneltian ini pun dirancang. Melihat definisi dari self-regulation, mungkin seorang mahasiswasudah membuat tekad untuk melaksanakan kewajiban dan tugas-tugas perkuliahannya dengan baik dan benar, namun karena adanya berbagai faktor yang dapat menganggu proses self-regulation, akhirnya ia akan menunda-nunda tugasnya karena tujuan yang ditetapkan gagal untuk dilaksanakan. Berikut adalah kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini :

Gambar 2.1

Kerangka Berpikir

MARCELLINO

2.5Hipotesis

H0: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara self-regulation dengan kecenderungan prokrastinasi.

H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara self-regulation dengan kecenderungan prokrastinasi.

Referensi

Ellis, A., & Knaus, W. J. (1977). Overcoming procrastination. New York: Signet.

Hoyle, R., & Davisson, E. (2011). Assessment of Self-Regulation and Related Constructs: Prospects and Challenges.

Hustad, J. T. P., Carey, K. B., Carey, M. P., & Maisto, S. A. (2009). Self-Regulation, Alcohol Consumption, and Consequences in College Student Heavy Drinkers: A Simultaneous Latent Growth Analysis . Journal of Studies on Alcohol and Drugs, 70(3), 373–382.

Individual Differences, 48, 926-934.

Jaffe, E. (2013, April 4). Why Wait? The Science Behind Procrastination. Retrieved March 27, 2015, from http://www.psychologicalscience.org/index.php/publications/observer/2013/april-13/why-wait-the-science-behind-procrastination.html

Janssen, T., & Carton, J. S. (1999). The effects of locus of control and task difficulty on procrastination. The Journal of Genetic Psychology, 160(4), 436-442.

Kanfer, F.H. (1970). Self-regulation: Research, issues and speculation. In C. Neuringer & J.L. Michael (Eds.) Behavior modification in clinical psychology (pp. 178-220). NEw York: Appleton-Century-Crofts.

Lay, C. (1986). At last, my research article on procrastination. Journal of Research in Personality, 20, 474-495.

Özer, B. U., Demir, A., & Ferrari, J. R. (2009). Exploring academic procrastination among turkish students: Possible gender differences in prevalence and reasons. The Journal of Social Psychology, 149(2), 241-57.

Solomon, L., & Rothblum, E. (1984). Academic Procrastination: Frequency And Cognitive-behavioral Correlates. Journal of Counseling Psychology, 31(4), 503-509. Retrieved April 12, 2015.

Steel, P. (2010). Arousal, avoidant and decisional procrastinators: Do they exist? Personality and

Tan, C., Ang, R., Klassen, R., Yeo, L., Wong, I., Huan, V., & Chong, W. (2008). Correlates Of Academic Procrastination And Students’ Grade Goals. Current Psychology, 27, 135-144.

Ursia, N.R., Siaputra, I.B., Sutanto, N. (2013). Prokrastinasi akademik dan self-control pada mahasiswa skripsi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Makara Seri Sosial Humaninora, 17(1), 1-18. DOI: 10.7454/mssh.v17i1.1798

Vaneerde, W. (2003). A Meta-analytically Derived Nomological Network Of Procrastination. Personality and Individual Differences, 35, 1401-1418.

Wibowo, R. (2014). Self Efficacy dan Prokrastinasi pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Calpytra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 3(1).