Irma Aprilia -1601256935 – LA64

BAB I

1.1  Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia mengalami pertumbuhan secara fisik dan perkembangan menuju tingkatan yang lebih tinggi. Menurut Hurlock (2002), terdapat tahapan-tahapan dalam perkembangan manusia yaitu periode pranatal, masa neonatal, masa bayi, masa kanak-kanak awal, masa kanak-kanak akhir, masa remaja awal, masa remaja akhir, masa dewasa dini, masa dewasa madya dan masa lanjut usia. Setiap tahapan dalam perkembangan manusia memiliki tugas perkembangan pada masing-masing tahapan.

Masa awal dewasa (earlyadulthood), ialah periode perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia dua puluhan tahun dan yang berakhir pada usia tiga puluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi banyak orang, masa pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan mengasuh anak anak. Dalam kenyataannya untuk berinteraksi maka individu harus mempunyai keberanian atau percaya diri (self confidence) untuk menjalin interaksi dengan orang lain (Putri & Hadi, 2005).

Melalui interaksi dengan lingkungan dan orang di sekitarnya seseorang akan belajar mengenali diri sendiri. Individu akan memperoleh informasi mengenai dirinya dari interaksi dengan lingkungan dan orang di sekitarnya tetapi jika tidak ada interaksi dengan lingkungan maka individu tersebut tidak mengenal dirinya lebih dalam. Penilaian baik atau buruk yang diterima dari orang lain turut mempengaruhi self confidence seseorang. Penilaian yang baik oleh orang lain akan menimbulkan self confidence dalam diri seseorang, sebaliknya penilaian yang buruk oleh orang lain akan menurunkan self confidence seseorang. Peningkatan self confidence juga dapat diperoleh dari sekolah sehingga sekolah turut mempengaruhi self confidence atau percaya diri seseorang (Iswidharmanjaya, 2004).

Lauster (dalam Fasikhah, 1994), menyatakan bahwa self confidence merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya, dapat merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang disukainya dan bertanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat menerima dan menghargai orang lain, memiliki dorongan untuk berprestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangannya.

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya anak ada hubungan interaksi yang intim dengan orang tuanya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak.( kartini kartono, 1992, 19). Kehadiran orang tua dalam kehidupan sangat diperlukan agar penanganan seorang anak disabilitas dapat mencapai hasilyang lebih baik.

Anak-anak dengan low vision adalah kelompok yang perlu mendapat perhatian dan perlu dilakukan intervensi agar tidak berlanjut dan tidak menjadi penderita tunanetra.Selama ini low vision masih belum menjadi perhatian orang tua.Padahal, gangguan penglihatan ini bisa menyulitkan anak pada masa mendatang bila tidak dicegah atau ditangani secara dini.

Faye dalam Samuel A.Kirk mendefinisikan orang yang kurang lihat sebagai orang yang meskipun sudah diperbaiki penglihatannya masih lebih rendah atau kurang dari normal tetapi memiliki penglihatan yang dapat dipergunakan secara berarti.Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20 m – 6/60 m atau 20/70 feet -20/200 feet.Tingkat ketajaman penglihatan seperti ini pada umumnya dikatakan tunanetra (low vision).Pada taraf ini, para penderita masih mampu melihat dengan bantuan alat khusus.

Diperkirakan 45 juta orang di dunia ini buta dan tiga kali dari jumlah tersebut (135 Juta) menyandang low vision.Jadi diperkirakan ada 180 juta orang di dunia ini menyandang tunanetra.Di Indonesia memang tidak ada data yang bisa dipakai, tetapi hasil penelitian di Indonesia jumlah anak low vision jumlahnya cukup besar.

Pola asuh orang tuaadalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak.Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu.Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian anak menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif (Papalia, 2008).

Pola asuh mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan perilaku moral pada anak, karena dasar perilaku moral pertama di peroleh oleh anak dari dalam rumah yaitu dari orang tuanya. Proses pengembangan melalui pendidikan disekolah tinggal hanya melanjutkan perkembangan yang sudah ada. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2002: 257-258) ada empat macam bentuk pola asuh yang diterapkan oleh masing-masing orang tua, bentuk-bentuk pola asuh itu adalah, pola asuh otoriter, pola asuh demokrasi, pola asuh penelantaran dan pola asuh permisif. Dari keempat macam pola asuh itu bentuk pola asuh demokrasilah pola asuh paling baik diterapkan oleh orang tua dalam mengasuh anak-anaknya.

Pola asuh otoriter adalah suatu jenis bentuk pola asuh yang menuntut agar anak patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orangtua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapat sendiri.. Anak dijadikan sebagai miniatur hidup dalam pencapaian misi hidupnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Shapiro(1992:27) bahwa “Orangtua otoriter berusaha menjalankan rumah tangga yang didasarkan pada struktur dan tradisi, walaupun dalam banyak hal tekanan mereka akan keteraturan dan pengawasan membebani anak”.

Baumrind juga mengatakan bahwa pola asuh otoritatif atau demokrasi, pada pola asuh ini orangtua yang mendorong anak-anaknya agar mandiri namun masih memberikan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal dimungkinkan dengan kehangatan-kehangatan dan kasih sayang yang diperlihatkan. Anak-anak yang hidup dalam keluarga demokratis ini memiliki kepercayaan diri, harga diri yang tinggi dan menunjuk perilaku yang terpuji.

Shapiro (1999:28) mengemukakan “Dalam hal belajar orangtua otoritatif menghargai kemandirian, memberikan dorongan dan pujian. Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan penerapan pola asuh autoritatif indentik dengan penanaman nilai-nilai demokrasi yang menghargai dan menghormati hak-hak anak, mengutamakan diskusi ketimbang interuksi, kebebasan berpendapat dan selalu memotivasi anak untuk menjadi yang lebih baik.

Pola asuh penelantaran adalah pola asuh dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, orangtua pada pola asuh ini mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orangtua lebih penting dari pada anak-anak. Dimana orangtua lebih cenderung membiarkan anak-anaknya dibesarkan tanpa kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan fisik yang cukup. Sedangkan yang dimaksud dengan polaasuh orang tua permisif dimana pada pola asuh ini orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka, namun menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap anak mereka. Orangtua cenderung membiarkan anak-anak mereka melakukan apa saja, sehingga anak tidak dapat mengendalikan perilakunya serta tidak mampu untuk menaruh hormat pada orang lain.

Selanjutnya Shapiro (1999:127-128) mengemukakan bahwa “orangtua permisif berusaha menerima dan mendidik anaknya sebaik mungkin tapi cenderung sangat pasif ketika sampai pada masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketidak patuhan”. Orangtua permisif tidak begitu menuntut juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya, karena yakin bahwa anak-anak seharusnya berkembang sesusai dengan kecenderungan alamiahnya. Sedangkan Covey (1997:45) menyatakan bahwa “orangtua yang menerapkan pola asuh permisif cenderung ingin selalu disukai dan anak tumbuh dewasa tanpa pengertian mendalam mengenai standar dan harapan, tanpa komitmen peribadi untuk disiplin dan bertanggungjawab.

Dari keempat macam pola asuh itu bentuk pola asuh demokrasilah pola asuh paling baik diterapkan oleh orang tua dalam mengasuh anak-anaknya.Menurut Maccoby & Mc loby (yang dikutip oleh Suparyanto, 2010) salah satu pola asuh orang tua yang mempengaruhi self confidence anak adalah pola asuh demokratis.

1.2 Rumusan Masalah

  1. Pola asuh apa yang diberikan oleh orang tua kepada anak kurang lihat (low vision)?
  2. Adakah hambatan atau masalah yang dihadapi oleh orang tua dalam mengasuh anak kurang lihat (low vision)?
  3. Uapaya apa yang diberikan dalam mengatasi hambatan atau masalah yang terjadi dalam pengasuhan anak kurang lihat (low vision)?
  4. Bagaimana self confidence anak kurang lihat (low vision)pada pola asuh yang telah diberikan oleh orang tua?

1.3 Tujuan Penelitian

  1. Mengetahui pola asuh anak yang diterapkan oleh orang tua kepada anak kurang lihat (low vision)
  2. Mengetahui hambatan dalam mengasuh anak kurang lihat (low vision) pada pola asuh yang diterapkan oleh orang tua
  3. Mengetahui upaya dalam mengatasi hambatan pengasuhan anak kurang lihat (low vision)
  4. Mengetahui self confidence anak kurang lihat (low vision) pada pola asuh yang telah diberikan oleh orang tua.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis:

  1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang psikologi klinis yaitu memberikan informasi mengenai bagaimana percaya diri atau self confidence terhadap pola asuh yang diberikan orang tuapada dewasa awal kurang lihat.

  1. Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini adalah diharapkan dari data penelitian yang didapatkan dapat mengetahui perbedaan self confidence pada dewasa awal kurang lihat terhadap pola asuh orang tua.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1.Self Confidence

2.1.1 Pengertian self confidence

 

Self-confidence atau percaya diri adalah sejauhmana anda punya keyakinan terhadap penilaian anda atas kemampuan anda dan sejauh mana anda bisa merasakan adanya “kepantasan” untuk berhasil.Ignoffo (1999) secara sederhana mendefenisikan self-confidence berarti memiliki keyakinan terhadap diri sendiri. Menurut Neill (dalam Hadi & Putri, 2005) self-confidence adalah kombinasi dari self esteem dan self-efficacy.

Lauster (dalam Fasikhah, 1994), menyatakan bahwa self confidence merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya, dapat merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang disukainya dan bertanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat menerima dan menghargai orang lain, memiliki dorongan untuk berprestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangannya.

Self-confidence adalah sikap positif seorang individu yang merasa memiliki kompetensi atau kemampuan untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap dirinya maupun lingkungan (Jacinta, 2002). Menurut Hasan (dalam Iswidharmanjaya, 2004) menyatakan self-confidence adalah percaya akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki, serta dapat memanfaatkan secara tepat.

Coopersmith (dalam Nazwali, 1996) menjelaskan bahwa ketika individu lebih aktif, mempunyai perilaku yang bertujuan, bersemangat dalam menjalankan kehidupan sehari- hari baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kelompok cenderung memiliki self-confidence yang tinggi.Sedangkan menurut Hakim (2002) menjelaskan self-confidence yaitu sebagai suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk dapat mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya. Menurut Uqshari (2005) self-confidence adalah keyakinan seorang individu akan kemampuan yang dimiliki sehingga merasa puas dengan keadaan dirinya. Bandura (dalam Sakinah, 2005) mendefenisikan self-confidence sebagai suatu keyakinan seseorang yang mampu berperilaku sesuai dengan yang diharapkan dan diinginkan. Sedangkan Breneche dan Amich (dalam Kumara, 1988) self-confidence merupakan suatu perasaan cukup aman dan tahu apa yang dibutuhkan dalam kehidupannya sehingga tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain dalam menentukan standar, karena ia selalu dapat menentukan sendiri.

Self-confidence bukan merupakan sesuatu yang sifatnya bawaan tetapi merupakan sesuatu yang terbentuk dari interaksi.Waterman (dalam Sakinah, 2005) mengatakan bahwa untuk menumbuhkan self-confidence diperlukan situasi yang memberikan kesempatan untuk berkompetisi, karena menurut Markus dan Wurf (dalam Sakinah, 2005) seseorang belajar tentang dirinya sendiri melalui interaksi langsung dan komparasi sosial. Dari interaksi langsung dengan orang lain akan diperoleh informasi tentang diri dan dengan melakukan komparasi sosial seseorang dapat menilai dirinya sendiri bila dibandingkan dengan orang lain. Seseorang akan dapat memahami diri sendiri dan akan tahu siapa dirinya yang kemudian akan berkembang menjadi percaya diri atau self confidence.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa self confidenceadalah perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri yang mencakup penilaian dan penerimaan yang baik terhadap dirinya secara utuh, bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang lain sehingga individu dapat diterima oleh orang lain maupun lingkungannya. Penerimaan ini meliputi penerimaan secara fisik dan psikis.

  1. Karakteristik self confidenc

Menurut Ignoffo (1999), terdapat beberapa karakteristik yang menggambarkanindividu yang memiliki self confidence yaitu:

  1. Memiliki cara pandang yang positif terhadap diri.
  2. Yakin dengan kemampuan yang dimiliki.
  3. Melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipikirkan.
  4. Berpikir positif dalam kehidupan.
  5. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan.
  6. 
Memiliki potensi dan kemampuan.

Menurut Hakim (2002) mengungkapkan beberapa ciri-ciri orang yang memiliki self confidence adalah:

  1. Selalu bersikap tenang dan tidak mudah menyerah.
  2. Mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai.
  3. Mampu menetralisasi ketegangan yang muncul pada situasi tertentu.
  4. Memiliki kondisi mental dan fisik cukup menunjang penampilan.
  5. Memiliki kecerdasan yang cukup.
  6. 
Memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup.
  7. Memiliki keahlian dan keterampilan yang menunjang kehidupannya, misal keterampialn bahasa asing.
  8. Memiliki kemampuan sosialisasi.
  9. Memilikipengalamanhidupyangmenempahmentalnyamenjadikuatdantahandalam 
menghadapi berbagai cobaan.
  10. Selalu bersikap positif dalam menghadapi berbagai masalah.
  11. Mampu menyesuaikan diri dan berkomunikasi dalam berbagai situasi.

Menurut Lauster (dalam Fasikhah, 1994), terdapat beberapa karakteristik untuk menilai self confidence dalam diri individu, diantaranya:

  1. Percaya kepada kemampuan sendiri

Suatu keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi yang ber- hubungan dengan kemampuan individu untuk mengevaluasi serta mengatasi fenomena yang terjadi tersebut.

 

  1. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan

Dapat bertindak dalam mengambil keputusan terhadap apa yang dilakukan secara mandiri tanpa adanya keterlibatan orang lain. Selain itu, mempunyai kemampuan untuk meyakini tindakan yang diambilnya tersebut.

  1. Memiliki konsep diri yang positif

Adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri, baik dari pandangan maupun tindakan yang dilakukan yang menimbulkan rasa positif terhadap diri sendiri.

  1. Berani mengungkapkan pendapat

Adanya suatu sikap untuk mampu mengutarakan sesuatu dalam diri yang ingin diungkapkan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau hal yang dapat menghambat pengungkapan perasaan tersebut.

Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Lauster (dalam Fasikhah, 2004) menyebutkanbahwa ciri-ciri orang yang memiliki self-confidenceadalah tidak mementingkan diri sendiri, cukup toleran, cukup berambisi, tidak perlu dukungan orang lain, tidak berlebihan, optimistik, mampu bekerja secara efektif, bertanggung jawab atas pekerjaannya, dan merasa gembira.

Waterman (dalam Yulianti, 2005) mengatakan bahwa orang yang mempunyai self confidenceadalah mereka yang mampu bekerja secara efektif, dapat melaksanakan tugas dengan baik dan bertanggung jawab serta mempunyai rencana terhadap masa depannya.

Menurut Lauster dan Rakhmat (dalam Afiatin & Martaniah, 1998 ) ciri-ciri individu yang memiliki self confidence yang rendah adalah sebagai berikut :

  1. Individu merasa bahwa tindakan yang dilakukan tidak adekuat. Ia cenderung merasa 
tidak aman dan tidak bebas bertindak, cenderung ragu-ragu dan membuang-buang waktu dalam mengambil keputusan, memiliki perasaan rendah diri dan pengecut, kurang bertanggung jawab dan cenderung menyalahkan pihak lain sebagai penyebab masalahnya, serta merasa pesimis dalam menghadapi rintangan.
  2. Individu merasa tidak diterima oleh kelompoknya atau orang lain. Ia cenderung menghindari situasi komunikasi karena merasa takut disalahkan atau direndahkan, merasa malu jika tampil di hadapan orang banyak.
  3. Individu tidak percaya terhadap dirinya dan mudah gugup. Ia merasa cemas dalam mengemukakan gagasannya dan selalu membandingkan keadaan dirinya dengan orang lain.
Menurut Ignoffo (1999), terdapat 7 ciri-ciri individu yang memiliki self confidenceyang rendah pada individu, yaitu :
  4. Perfeksionis
  5. Penilaian negatif
  6. Pasrah dan putus asa.
  7. Pemikiran yang dangkal.
  8. Rasa cemas.
  9. Berpikir sebagai korban,
  10. Self-Fulfilling Prophecy

Dapat disimpulkan bahwa orang yang percaya diri atau self confidence memiliki sikap yang tenang dan bersikap positif dalam menghadapi berbgai masalah dan tidak mudah menyerah, memiliki kemampuan sosialisasi yang baik, percaya kepada kemampuan sendiri, berani mengungkapkan pendapat, tidak mementingkan diri sendiri melaksanakan tugas dengan baik dan bertanggung jawab serta mempunyai rencana terhadap masa depannya. Dengan kemampuan-kemampuan tersebut individu mempunyai kemungkinan untuk lebih sukses dalam menjalani kehidupan bila dibandingkan dengan orang yang kurang atau tidak percaya diri atau self confidencerendah.

 

 

 

 

 

  1. Faktor-faktor yang mempengaruhi self confidence


Self confidencemerupakan sesuatu yang berasal dan berakar dari pengalaman masakanak-kanak dan berkembang, terutama sebagai akibat dari hubungan kita dengan orang lain. Pengalaman saat berhubungan dengan orang lain dan bagaimana orang lain memperlakukan kita akan membentuk gagasan dan penilaian dalam diri kita yang dapat mempengaruhi percaya diri atau self confidence.

Menurut Iswidharmanjaya (dalam Yulianti, 2007) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi self confidence, yaitu :

  1. Orang tua

Dalam hal informasi dan cermin tentang diri seseorang, orang tua memegang peranan yang paling istimewa. Jika orang tua secara tulus dan konsisten menunjukkan cinta dan sayang maka akan memberikan pandangan kepada anak bahwa dia pantas dicintai baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Sebaliknya, jika orang tua tidak memberikan kehangatan, penerimaan dan cinta dalam hubungan dengan anak, maka anak akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang kurang. Penilaian yang diberikan oleh orang tua sebagian besar akan menjadi penilaian yang dipegang oleh anak. Harapan orang tua akan menjadi masukan ke dalam cita-cita anak. Jika anak tidak mampu memenuhi harapan-harapan itu, maka ada kemungkinan anak akan mengembangkan rasa tidak berguna dan percaya diri yang rendah.

  1. Saudara sekandung

Hubungan dengan saudara kandung juga penting dalam pembentukan rasa percaya diri.Anak sulung yang diperlakukan seperti pemimpin oleh adik-adiknya dan mendapat banyak kesempatan untuk berperan sebagai penasehat, mendapat banyak keuntungan untuk mengembangkan rasa percaya dirinya.Sedangkan anak bungsu mungkin mengalami hal yang berlawanan. Mungkin dia terus menerus dianggap dan diperlakukan sebagai anak kecil, akibatnya self confidenceberkembang amat lambat bahkan sulit tumbuh.

  1. Sekolah

Siswa yang sering mendapat perlakuan buruk (dihukum dan ditegur) cenderung lebih sulit mengembangkan rasa percaya dirinya. Sebaliknya siswa yang banyak dipuji, mendapat penghargaan, dan diberi hadiah cenderung mempunyai self confidenceyang tinggi.

  1. Teman sebaya

Dalam pergaulan dengan teman-teman, apakah kita disenangi, dikagumi, dan dihormati atau tidak, ikut menentukan dalam pembentukan rasa percaya diri seseorang. Penerimaan dan perlakuan yang baik oleh teman sebaya akan menimbulkan rasa percaya diri dalam diri seseorang. Sebaliknya, penolakan oleh teman sebaya menyebabkan seseorang akan menarik diri dan merasa bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan sehingga tidak pantas untuk bergaul dengan teman-teman yang lain. Dengan demikian, lama kelamaan percaya diri akan menghilang. Jadi, untuk dapat diterima dalam pergaulan seorang remaja cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan perilaku teman sekelompoknya.

  1. Masyarakat

Sebagai anggota masyarakat kita dituntut untuk bertindak menurut cara dan norma dalam masyarakat. Semakin mampu seseorang memenuhi norma dan diterima oleh masyarakat, maka percaya dirinya akan semakin berkembang. Self confidenceatau percaya diri seseorang juga dipengaruhi oleh penilaian yang diberikan oleh masyarakat. Jika seseorang sudah dicap jelek, maka akan sulit baginya untuk mengubahnya.

  1. Pengalaman

Banyak pandangan mengenai diri seseorang yang dipengaruhi oleh pengalaman, keberhasilan, dan kegagalan yang dialami. Keberhasilan akan memudahkan seseorang untuk mengembangkan self confidence sedangkan kegagalan dapat menghambat pengembangan percaya diri.

Selain itu Iswidharmanjaya (dalam Yulianti, 2007) menyatakan ada tiga faktor yangmempengaruhi timbulnya self confidence:

  1. Proses belajar

Untuk menumbuhkan rasa percaya diri dirasakan sejak usia dini. Pola asuhyang diberikan orang tua memiliki peranan yang besar dalam menumbuhkan percaya diri anak.Pola asuh yang diberikan meliputi kasih sayang, perhatian, penerimaan, serta yang paling penting adalah kelekatan emosi dengan orang tua secara tulus. Dengan adanya kehangatan dan asuhan dari orang tua, rasa percaya diri anak akan mulai bersemi. Kalau anak merasa dirinya berharga dan bernilai dimata orang tuanya, akan cenderung manjadi anak yang semakin percaya diri.

Selain pola asuh, perilaku orang tua juga memiliki peran dalam proses pembentukan sikap percaya diri, karena biasanya anak yang masih kecil akan menirukan apa yang diperbuat oleh orang tuanya. Sebaliknya orang tua yang kurang memberikan perhatian, suka mengkritik, tidak pernah memberikan pujian ataupun tidak pernah puas melihat prestasi anaknya akanmenurunkan percaya diri anaknya.

  1. Konsep diri

Untuk menjadi pribadi yang memiliki percaya diri, seorang individu membutuhkan konsep diri yang positif.Konsep diri adalah gambaran yang dipegang seseorang menyangkut dirinya sendiri. Jika seorang individu sudah mengenal keadaan dirinya dan dapat menerima kelebihan dan kekurangan yang dimiliki maka individu tersebut akan memiliki percaya diri yang baik.

  1. Interaksi dengan lingkungan

Seseorang akan belajar mengenai diri sendiri melalui interaksi langsung dengan orang lain. Dengan berinteraksi, seorang individu akan memperoleh informasi mengenai dirinya dari orang lain. Tetapi jika tidak ada orang lain yang menilai maka individu tersebut tidak mengenal dirinya lebih dalam.

 

 

 

 

 

 

2.2 Pola Asuh

2.2.1 Pengertian Pola Asuh

 

Hetherington & Whiting (1999) menyatakan bahwa pola asuh sebagai proses interaksi total antara orang tua dengan anak, seperti proses pemeliharaan, pemberian makan, membersihkan, melindungi dan proses sosialisasi anak dengan lingkungan sekitar. Orang tua akan menerapkan pola asuh yang terbaik bagi anaknya dan orang tua akan menjadi contoh bagi anaknya.

Menurut Gunarsa (2002) pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

Menurut Wahyuning (2003) pola asuh adalah seluruh cara perlakuan orang tua yang ditetapkan pada anak, yang merupakan bagian penting dan mendasar menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Pengasuhan anak menunjuk pada pendidikan umum yang ditetapkan pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi orang tua (sebagai pengasuh) dan anak (sebagai yang diasuh) yang mencakup perawatan, mendorong keberhasilan dan melindungi maupun sosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.

Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati, 2002).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah suatu proses interaksi total orang tua dan anak, yang meliputi kegiatan seperti memelihara, memberi makan, melindungi, dan mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan serta memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak dan terkait dengan kondisi psikologis bagaimana cara orang tua mengkomunikasikan afeksi (perasaan) dan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

  • Dimensi Pola Asuh

Baumrind (dalam Sigelman, 2002) menyatakan bahwa pola asuh terbentuk dari adanya dua dimensi pola asuh, yaitu; (1) Acceptance/Responsiveness; menggambarkan bagaimana orang tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Mengacu pada beberapa aspek, yakni;

  • sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada kebutuhan anak- anaknya,
  • sensitif terhadap emosi anak,
  • memperhatikan kesejahteraan anak,
  • bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama,
  • serta bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak mereka berprestasi atau memenuhi harapan mereka.

Dapat menerima kondisi anak, orang tua responsif penuh kasih sayang dansering tersenyum, memeberi pujian, dan mendorong anak-anak mereka.Mereka juga membiarkan anak-anak mereka tahu ketika mereka nakal atau berbuat salah.Orang tua kurang menerima dan responsif sering kali cepat mengkritik, merendahkan, menghukum, atau mengabaikan anak-anak mereka dan jarang mengkomunikasikan kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan dihargai.

Selanjutnya dimensi (2) Demandingness/Control; menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua. Mengacu pada beberapa aspek yakni;

  • pembatasan; orang tua membatasi tingkah laku anak menunjukkan usaha orang tua menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak dan memberikan batasan terhadap hal-hal yang ingin dilakukan anak,
  • tuntutan; agar anak memenuhi aturan, sikap, tingkah laku dan tanggung jawab sosial sesuasi dengan standart yang berlaku sesuai keinginan orang tua,
  • sikap ketat; berkaitan dengan sikap orang tua yang ketat dan tegas dalam menjaga agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka. Orang tua tidak menghendakianak membantah atau mengajukan keberatan terhadap peraturan yang telah ditentukan,
  • campur tangan; tidak adanya kebebasan bertingkah laku yang diberikan orang tua kepada anaknnya. Orang tua selalu turut campur dalam keputusan, rencana dan relasi anak, orang tua tidak melibatkan anak dalam membuat keputusan tersebut, orang tua beranggapan apa yang mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik dan benar untuk anak.
  • kekuasaan sewenang-wenang; menggambarkan bahwa orang tua menerapkan kendali yang ketat, kekuasaan terletak mutlak pada orang tua.

Mengendalikan atau menuntut aturan yang ditetapkan orang tua, mengharapkan anak-anak mereka untuk mengikuti mereka, dan memantau anak- anak mereka dengan ketat untuk memastikan bahwa aturan-aturan dipatuhi.Orang tua yang kurang dalam pengendalikan atau menuntut (sering disebut orang tua permisif) membuat tuntutan yang lebih sedikit dan memungkinkan anak-anak mereka memiliki banyak kebebasan dalam mengeksplorasi lingkungan, mengungkapkan pendapat mereka dan emosi, dan membuat keputusan tentang kegiatan mereka sendiri.

  • Jenis-Jenis Pola Asuh

Berdasarkan hasil penelitian Diana Baumrind (dalam Sigelmen, 2002) dikatakan terdapat 3 jenis pola asuh yaitu: authoritarian, authoritativedan permissive. Kemudian Maccoby & Martin menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan pola asuh uninvolved/ neglectful.

  • Authoritarian parenting; pola asuh ini mengkombinasikan tingginya demandingness/control dan rendahnya acceptance/responsive. Orang tua memaksakan banyak peraturan, mengharapkan kepatuhan yang ketat, jarang menjelaskan mengapa anak harus memenuhi peraturan-peraturan tersebut,dan biasanya mengandalkan taktik kekuasaan seperti hukuman fisik untuk memenuhi kebutuhannya.
  • Authoritative parenting; orang tua authoritative lebih flexibel; merekamengendalikan dan menggunakan kontrol, tetapi mereka juga menerima dan responsif. Seimbang dalam kedua dimensi baik demandingness/control maupun acceptance/responsive. Mereka membuat peraturan yang jelas dan secara konsisten melakukannya, mereka juga menjelaskan rasionalisasi dari peraturan mereka dan pembatasannya. Mereka juga responsif pada kebutuhan anak-anak mereka dan sudut pandang anak, serta melibatkan anak dalam pengambilan keputusan keluarga. Mereka dapat diterima secara rasional dan demokratis dalam pendekatan mereka, meski dalam hal ini jelas mereka berkuasa, tetapi mereka berkomunikasi secara hormat dengan anak- anak mereka.
  • Permissive parenting; pola pengasuhan ini mengandung demandingness/control yang rendah dan acceptance/responsive yang tinggi. Orang tua permisif penyabar, mereka membuat beberapa pengendalian pada anak-anak untuk berperilaku matang, mendorong anak untuk mengekspresikan perasaan dan dorongan mereka dan jarang menggunakan kontrol pada prilaku mereka.
  • Neglectful parenting; merupakan orang tua yang mengkombinasikan rendahnya demandingness/control dan acceptance/responsive yang rendah pula. Secara relatif tidak melibatkan diri pada pengasuhan anak mereka mereka terlihat tidak terlalu perduli pada anak-anak mereka dan bahkan mungkin menolak mereka atau yang lainnya mereka kewalahan dengan masalah-masalah mereka sendiri yang mana mereka tidak dapat memberikan energi yang cukup untuk menetapkan dan menegakkan aturan.

 

  • Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Darling (1999) mengatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:

  1. Jenis kelamin anak

Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada anak dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua akan bersikap lebih ketat pada anak perempuan dan memberi kebebasan lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab yang besar diberikan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

  1. Kebudayaan

Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh anak.Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan peran dan tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu kebudayaan.

  1. Kelas sosial ekonomi

Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas cenderung lebih permissive dibanding dengan orang tua dari kelas sosial ekonomi bawah yang cemderung autoritarian.

2.3 Low Vision

2.3.1 Pengertian Low Vision

Definisi atau pengertian tentang low vision yang ditetapkan akan berakibat kepada jumlah atau populasi dari low vision. Bagi kita yang akan memberikan pelayanan, difinisi kerja tentang low vision lebih dibutuhkan. WHO menetapkan difinisi kerja tentang Low Vision sebagai berikut:

“A person with low vision is one has impairment of visual functioning even after treatment and/or standard refractive correction, and has a visual acuity of les then 6/18 (20/60) to light perception or a visual field of less than 10 degree from the point of fixation, but who uses or is potentially able to use, vision for the planning and/or execution of a task”.

Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut:

  1. Setelah diobati dan dikoreksi dengan kacamata, masih memiliki kelainan pada fungsi penglihatannya.
  2. Ketajaman penglihatan 6/18 (20/60) sampai persepsi cahaya.
  3. Latang pandangnya kurang dari 10 derajat.
  4. Dapat menggunakan atau berpotensi untuk menggunakan sisa penglihatannya dalam merencanakan dan melaksanakan tugas sehari hari.

Penelitian di Amerika tahun 1978 kepada 448.000-tunanetra hanya 7% yang buta total dan sisanya masih memiliki sisa dari dapat membedakan terang dan gelap sampai kepada ia bisa menggunakan matanya dalam proses pendidikan dan mereka yang disebut low vision.

  1. Jumlah Penyandang LowVision

Diperkirakan 45 juta orang di dunia ini buta dan tiga kali dari jumlah tersebut (135 Juta) menyandang low vision.Jadi diperkirakan ada 180 juta orang di dunia ini menyandang tunanetra.Di Indonesia memang tidak ada data yang bisa dipakai, tetapi hasil penelitian di Indonesia jumlah anak low vision jumlahnya cukup besar.

Dalam tulisan yang berjudul tentang “Program penanggulangan Penderita Low Vision” DR.Dr. Salamun (Januari 1996) mengungkapkan data hasil penelitian sebagai berikut:

  1. Penelitian di RSU Dr. Sutomo Surabaya tahun 1986

Kemungkinan penderita low vision pada kelompok umur sekolah yaitu antara umur 5-20 tahun adalah 3,12 % dari seluruh pengunjung.Angka kesakitan mata adalah 18 %, sedangkan kelompok umur 5 – 20 tahun di Indonesia sebanyak 31.500.000 Dengan demikian penderita Low Vision pada kelompok usia sekolahdiperkirakan ada 1,12% X 18% X31.500.000 = 175.274 anak umur sekolah.

  1. Penelitian Di Bandung tahun 1987

Diperoleh data kemungkinan penderita Low Vision pada murid kelas 1 SD adalah 1,56%. Maka Kota Bandung diperkirakan ada 600 anak yang menderita low vision di kelas 1 SD. Bila diproyeksikan, anak SD kelas I ada 4.500.000 maka penderita low vision diperkirakan adalah 70.200 anak.

  1. Penelitian di Jakarta tahun 1995

Pada pemeriksaan murid SD, SMP, SMA secara acak didaerah Jakarta utara diperoleh data anak yang menderita low vision sebesar 1,5%.Pada pemeriksaan murid SLB/A di Jakarta Selatan diperoleh data bahwa 50% muridnya memiliki penglihatan bila dikoreksi dengan kaca mata biasa dapat membaca lebih baik tanpa instrumen khusus untuk membaca. Sedangkan bila diberikan instrumen baca yang khusus, anak tersebut lebih meningkat lagi kemampuan membacanya.

  1. William G. Brohier,

Konsultan pendidikan dan Rehabilitasi CBM untuk Asia, mengungkapkan dalam papernya pada CBM Indonesian Partners Meting yang berjudul “Spesial Needs Education” mengungkapkan bahwa berdasarkan data WHO anak umur 7- 15 tahun yang tergolong buta adalah 260 orang per satu juta penduduk.

Jadi anak buta umur 7-15 tahun di Indonesia dengn penduduk 210 juta diperkirakan ada 54.000 anak, dan anak dibawah umur 15 tahun yang tergolong low vision ada 158. 340 anak. Bila dijumlahkan maka anak tunanetra di Indonesia dibawah umur 15 tahun akan berjumlah 212.940 anak. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang diadakan di Surabaya, Jakarta dan Bandung.

2.4 Hubungan Antar Variabel

Pola asuh orang tua memiliki hubungan dengan pembentukan kepercayaan diri anak, sehingga orang tua diharapkan tetap menerapkan pola asuh yang demokratis secara konsisten dengan menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan anak, memberi kebebasan kepada anak untuk mengambil keputusan dengan berbagai pandangan dari orangtua, sehingga dapat terbentuk keyakinan dalam diri anak bahwa anak mampu melakukan sesuatu yang diinginkan dengan baik.

2.5 Hipotesis

Berdasarkan uraian data di atas, maka dapat diajukan hipotesa:

Bahwa terdapat pengaruh pola asuh orang tua terhadap self confidenceanak berkebutuhan khusus kurang lihat (low vision), dimana apabila orang tua menerapkan pola asuh yang terbaik untuk anak kurang lihat (low vision) maka semakin baik self confidence anak kurang lihat (low vision)tersebut. Tetapi jika anak kurang lihat (low vision) diberikan pola asuh rejected dan otoriter maka anak kurang lihat (low vision) tidak memiliki self confidence yang baik.