Hubungan antara Social Support dengan Self-acceptance pada Waria di Jakarta Timur
Fatma Mizananda – 1601284150 – LA64
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gender adalah konsep yang dibuat oleh suatu masyarakat untuk menandai sifat-sifat laki-laki dan sifat – sifat perempuan. Dapat dikatakan bahwa gender adalah hasil konstruksi sosial yang dibuat oleh masyarakat (Gerung, 2014). Suwarno (2003) (dalam Sri Yuliani, 2006) menyatakan bahwa orientasi seksual seseorang berkaitan dengan jenis kelamin jiwa yaitu keyakinan dalam batin seseorang tentang apakah ia itu pria atau wanita. Identitas jenis kelamin atau gender menurut Kessler dan McKeena (dalam Suwarno, 2003) adalah perasaan mendalam atau keyakinan dalam batin seseorang yang membuatnya merasa sebagai laki-laki atau perempuan. Dengan kata lain, identitas gender adalah keyakinan mendalam pada seeorang tentang apakah dia itu laki-laki atau perempuan. (Yuliani, 2006). Archer (dalam Davies,2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa peran gender pada laki-laki lebih jelas didefinisikan dari pada peran gender perempuan, dan pada laki-laki yang menyimpang dari peran gendernya akan ada banyak sanksi yang dikenakan (Colonne & Eliana, 2005). Menurut Nauly dalam Colonne & Eliana (2005), Waria yang sebenarnya aadalah laki-laki namun mengeskpresikan dirinya sebagai perempuan, memicu pertentangan dengan harapan masyarakat tentang sikap atau perilaku yang dianggap cocok untuk laki-laki.
Fenomena waria ini jarang sekali diungkap seluk beluknya, sehingga masih banyak yang masih belum bisa menerima waria ke dalam lingkungan masyarakat. Di Indonesia, waria merupakan sebuah hal yang tidak dapat ditolak lagi keberadaannya. Waria adalah sebuah kata yang menggambarkan perubahan perilaku maupun penampilan dari laki-laki menjadi perempuan. Mereka merasa bahwa adanya ketidaksesuaian (ketidaknyamanan) antara fisik dengan identitas gendernya. Mereka merasa bahwa jauh di dalam dirinya – biasanya sejak masih kanak-kanak – mereka adalah orang yang memiliki jenis kelamin berbeda dengan dirinya saat ini (Perroto & Culkin, 1993). Namun, ketika mereka memutuskan untuk menjadi waria, tidak sedikit masalah yang harus dihadapi, seperti masalah-masalah sosial serta masalah dari individunya itu sendiri.
Dari hasil penelitian sebelumnya , konflik yang mengiringi perjalanan hidup waria tidak hanya berasal dari dalam diri semata, tetapi juga dari keluarga serta masyarakat. Konflik internal terkait dengan perasaan atas kondisi saat ini terutama optimisme terhadap masa depan. Kondisi ini sebagai sebuah ketidaksesuaian harapan dan tuntutan yang diterima dengan kemampuan untuk menjalankannya, sehingga ketidaksesuaian tersebut akan memberikan sebuah tekanan yang harus dihadapi individu. Tekanan yang diterima membuat individu membutuhkan bantuan orang lain, kebutuhan orang lain ini akan membuat individu merasakan dirinya dicintai dan disayangi baik itu dukungan yang diterima maupun dukungan yang dirasakan (Karademas, 2006). Social Support mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada Individu (Gentry & Kobasa, 1984; Wallston et al., 1983; Wills & Fegan, 2001 dalam Sarafino, 2006). Waria membutuhkan Social Support untuk memberikan perasaan bahwa mereka di terima, dihargai, dan dicintai. Sarafino (2006) menyatakan bahwa social support dapat berasal dari berbagai sumber seperti pasangan hidup, keluarga, pacar, teman, rekan kerja, dan organisasi komunitas. (http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-2-00008-PL%202.pdf).
Bagi waria, Self-Acceptance menjadi titik awal perjalanan hidup mereka, dimulai dari penerimaan kondisi fisik laki-laki, namun didominasi dengan perempuan. Kesadaran akan kondisi ini yang membuat subjek memiliki kecendrungan untuk terus bertahan dengan kehidupan sebagai waria (Ruhghea, Mirza, & Rachmatan, 2014). Salah satu hal yang dapat dipengaruhi oleh Social Support adalah Self-acceptance. Self-acceptance seseorang mempunyai hubungan yang realistik antara keadaan dirinya dengan keinginannya menerima keadaan diri tanpa merasa terbebani oleh pandangan masyarakat sekitar, serta menerima keterbatasan diri secara realistik tanpa merasa diri tercela (Sugoto & Esthy P, 1998). Sejalan dengan penerimaan diri tersebut subjek dapat menerima segala konsekuensi hidupnya sebagai waria, konflik, tekanan, dari dalam dan luar diri subjek. Konsekuensi tidak dapat memiliki keturunan, tidak memiliki pasangan (tidak dapat menikah), dan menghadapi pandangan masyarakat umum karena menjadi “berbeda”. (Widyasari & Retnowati). Meskipun begitu, waria tetap manusia yang membutuhkan sebuah penerimaan di masyarakat.
Kemampuan penerimaan diri yang dimiliki seseorang berbeda-beda tingkatannya sebab kemampuan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia, latar belakang pendidikan, pola asuh orang tua dan social support. Jika mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Loscoco & Spitze (Taylor dkk.,1994) yang mengatakan bahwa dukungan sosial membantu baik laki-laki maupun perempuan untuk mengelola stres di tempat kerja, dapat disimpulkan bahwa umumnya individu bisa lebih mudah menerima kondisi yang kurangmenguntungkan yang dialaminya jika ia mendapatkan bantuan dari orang-orang terdekatnya.
Dalam penelitian mengenai hubungan dukungan sosial dengan penerimaan diri, menyatakan bahwa kedua variable memiliki korelasi positif. Self-acceptance dikaitkan dengan Social Support karena Social Support dapat memberi bermanfaat bagi seseorang antara lain, dalam memperkuat atau menaikkan perasaan harga dirinya, memberikan informasi yang relevan terhadap masalah yang dihadapi dan alternatif penyelesaiannya, memberi nasehat ataupun tuntunan, berfungsi bagi individu dalam melakukan bermacam-macam aktifitas sosialnya, dan memberikan dorongan kepada individu dalam mengambil keputusan serta memberikan keyakinan bahwa masalah yang dihadapi dapat terselesaikan (Wills, Cohen dan Syme, 1985).
Dari dukungan sosial yang didapat oleh waria, mereka akan mendapat keyakinan yang lebih atas apa yang telah mereka jalani sekarang atau mereka dapat menerima diri mereka sebagai waria. Rogers (1987) mengemukakan jika individuditerima secara positif oleh orang lain, individu itu akancenderung untuk mengembangkan sikap positif terhadapdiri sendiri dan lebih menerima diri sendiri. Selain itu,mereka menginginkan penghargaan pada diri mereka, sehingga self-acceptance semakin kuat, mengetahui bahwa mereka dihargai oleh orang lain, merupakan factor psikologis yang penting dalam membantu mereka melupakan aspek-aspek negatif dari kehidupan mereka dan berpikir lebih positif terhadap lingkungan mereka (Clark dalam (Sari & Reza, 2013).
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Social Support
2.1.1. Definisi Social Support
Menurut Sarafino dalam Rachmawati, Machmuroch, & Nugroho (2013) sesuatu dikatakan sebagai dukungan sosial ketika seseorang memiliki presepsi positif atas dukungan itu dan merasa nyaman atas segala bentuk perhatian, penghargaan, dan bantuan yang di terimanya. Definisi dukungan sosial menurut Dimatteo (1991) adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga tetangga, rekan kerja dan orang lain. Dukungan sosial didefinisikan sebagai keberadaan orang lain yang dapat diandalkan untuk memberi bantuan, semangat, penerimaan dan perhatian, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan hidup bagi individu yang bersangkutan (Johnson & Jhonson, 1991, h.472 dalam (Saputri & Indrawati, 2011).
Katc dan Kahn (2000) (dalam (Masyithah, 2012) berpendapat, dukungan sosial adalah perasaan positif, menyukai, kepercayaan, dan perhatian dari orang lain yaitu orang yang berarti dalam kehidupan individu yang bersangkutan, pengakuan, kepercayaan seseorang dan bantuan langsung dalam bentuk tertentu.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Social Support adalah bentuk dukungan dari orang lain yang membuat seseorang merasa diterima, dihargai, dan dicintai. Dukungan tersebut dapat berasal dari teman, keluarga, teangga, rekan kerja, dan orang lain.
2.1.2. Bentuk Social Support
Menurut Sarafino (2002, h.17-18) (dalam (Putri, 2011)) dukungan sosial dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, yaitu:
- Dukungan emosional
Dukungan ini melibatkan ekspresi rasa simpati dan perhatian terhadap individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain.
- Dukungan penghargaan
Dukungan ini melibatkan ekspresi yang berupa pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan dan performa orang lain.
- Dukungan instrumental
Bentuk dukungan ini melibatkan bantuan langsung, misalnya : berupa bantuan financial atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu.
- Dukungan informasi
Dukungan yang bersifat informasi ini dapat berupa sasaran, pengarahan dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan persoalan.
2.2. Self-acceptance
2.2.1. Definisi Self-acceptance
Penerimaan diri adalah sejauhmana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya (Handayani, Ratnawati, & Helmi, 1998). Sedangkan, menurut Chaplin (2012), penerimaan diri merupakan sikap yang pada dasarnya merasapuas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri dan pengakuan akanketerbatasan sendiri.
Hurlock (dalam Tentama, 2010) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah suatu kesadaran individu tentang karakteristik diri dan kemauan untuk hidup dengan keadaan dirinya. Penerimaan diri menurut Arthur (2010) adalah sebuah sikap seseorangmenerima dirinya. (dalam(Ridha, 2012)).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Self-acceptance adalah sebuah sikap seseorang yang menerima dirinya dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya.
2.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Self-acceptance
Hurlock (1974) (dalam (Wibobo, 2009)) mengemukakan sepuluh faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu, yaitu:
- Pemahaman tentang Diri Sendiri
Timbul dari kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya serta mencoba menunjukan kemampuannya. Semakin individu memahami dirinya, maka semakin besar penerimaan individu terhadap dirinya.
- Harapan Realistik Timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan disesuaikan dengan pemahaman kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain. Dengan harapan realistik, akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan tersebut sehingga menimbulkan kepuasan diri.
- Tidak Adanya Hambatan di Lingkungan Harapan individu akan sulit tercapai bila lingkungan di sekitarnya tidak memberikankesempatan atau bahkan menghalangi (walaupun harapan individu sudah realistik).
- Sikap-sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan. Tidak adanya prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan kesediaan individu mengikuti kebiasaan lingkungan.
- Tidak Adanya Gangguan Emosional yang Berat
Tidak adanya gangguan emosional yang berat akan membuat individu dapat bekerja
sebaik mungkin dan merasa bahagia.
- Pengaruh Keberhasilan yang Dialami
Keberhasilan yang dialami dapat menimbulkan penerimaan diri (yang positif). Sebaliknya, kegagalan yang dialami mengakibatkan adanya penolakan diri.
- Identifikasi dengan Orang yang Memiliki Penyesuaian Diri yang Baik
Individu yang mengidentifikasi diri dengan orang yang well adjusted, dapat membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku dengan baik, yang dapat menimbulkan penerimaan diri dan penilaian diri yang baik.
- Adanya Perspektif Diri yang Luas
Yakni memperhatikan pandangan orang lain tentang diri. Perspektif diri yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar.
- Pola Asuh di Masa Kecil yang Baik
Anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai orang yang dapat menghargai dirinya sendiri.
- Konsep Diri yang Stabil
Individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil (misalnya, kadang menyukai diri dan kadang tidak menyukai diri), akan sulit menunjukan pada orang lain siapa ia sebenarnya, sebab ia sendiri ambivalen terhadap dirinya.
2.2.3. Karakteristik individu dengan Self-acceptance
Ciri-ciri individu dengan penerimaan diri menurut Jersild (1963) (dalam (Sari & Nuryoto, 2002)) adalah, sebagai berikut :
- Memiliki penghargaan yang realistis terhadap kelebihan-kelebihan dirinya
- Memiliki keyakinan akan standar-standar dan prinsip-prinsip dirinya tanpa harus diperbudak oleh opini individu-individu lain
- Memiliki kemampuan untuk memandang dirinya secara realistis tanpa harus menjadi malu akan keadaannya
- Mengenali kelebihan-kelebihan dirinya dan bebas memanfaatkannya
- Mengenali kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menyalahkan dirinya
- Memiliki spontanitas dan rasa tanggung jawab dalam diri
- Menerima potensi dirinya tanpa menyalahkan dirinya atas kondisi-kondisi yang berada di luar kontrol mereka
- Tidak melihat diri mereka sebagai individu yang harus dikuasai rasa marah atau takut atau menjadi tidak berarti karena keinginan-keinginannya tapi dirinya bebas dari ketakutan untuk berbuat kesalahan
- Merasa memiliki hak untuk memiliki ide-ide dan keinginan-keinginan serta harapan-harapan tertentu
- Tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang belum mereka raih.
2.3. Hubungan antara Social Support dan Self-acceptance
Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi seorang waria, banyak faktor penghambat yang harus dihadapi, dari faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor internal yang dimaksud adalah bagaimana mereka menerima dirinya sendiri dengan keadaan yang sekarang sebagai waria, dan mereka tahu bahwa keberadaan waria masih belum dapat diterima dimasyarakat.
Dalam Self-acceptance pada waria, mereka tidak hanya mengandalkan diri sendiri saja, tetapi mereka juga membutuhkan Social Support untuk membantu menerima dirinya sendiri. Karena dengan adanya Social Support, mereka dapat lebih merasa positif dengan apa yang ada pada diri mereka sekarang, sehingga mereka mampu menerima dirinya dengan positif juga.
2.4. Hipotesa
Berdasakan uraian kedua variable, hipotesa yang dibuat oleh peneliti adalah adanya hubungan positif antara Social Support dengan Self-acceptance pada Waria.
DAFTAR PUSTAKA
Colonne, S., & Eliana, R. (2005). Gambaran tipe-tipe konflik intrapersonal waria ditinjau dari identitas gender. Psikologia . volume 1 . no.2. desember 2005 , 97.
Gerung, R. (2014, september selasa). Feminisme. (r. Gerung, Performer) Binus University, jakarta barat, DKI jakarta, Jakarta.
Handayani, M. M., Ratnawati, S., & Helmi, A. F. (1998). Efektifitas Pelatihan Pengenalan Diri Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri. Jurnal Psikologi .
Masyithah, D. (2012). HUbungan Dukungan Sosial dan Penerimaan diri pada Penderita Pasca Stroke. 12.
Putri, S. A. (2011). Hubungan Dukungan Sosial terhadap Stres Kerja Pada Karyawan BEsar Wilayah Sungai Pemali Juana Semarang.
Ridha, M. (2012). Hubungan antara Bodi Image dengan Penerimaan Diri pada Mahasiswa Aceh di Yogyakarta.
Ruhghea, S., Mirza, & Rachmatan, R. (2014). Studi Kualitatif Kepuasan Hidup Pria Transgender (Waria) di Banda Aceh. Jurnal Psikologi Undip , 13.
Saputri, M. A., & Indrawati, E. S. (2011). Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Depresi pada Lanjut Usia yang Tinggal di Panti Wreda Wening Wardoyo Jawa Tengah. Jurnal Psikologi Undip , 67.
Sari, D. J., & Reza, M. (2013). Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Penerimaan Diri pada Remaja Penderita HIV di Surabaya. Character , 3.
Sari, E. P., & Nuryoto, S. (2002). Penerimaan Diri pada Lanjut Usia Ditinjau dari Kematangan Emosi. Jurnal PSikologi .
Sugoto, S., & Esthy P, J. (1998). Hubungan Penerimaan Diri Terhadap Kondisi Fisik Kesehatan Mental Pada Waria.
Wibobo, M. A. (2009). Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Prekognisi.
Widyasari, P. N., & Retnowati, S. (n.d.). Perjalanan Hidup dan Penyesuaian Diri Waria.
Yuliani, S. (2006). Menguak Konsruksi sosial dibalik diskriminasi terhadap waria. Jurnal Sosiologi Dilema , 78-79.
Sumber lain:
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-2-00008-PL%202.pdf) diakses pada 14 April
Comments :