Hubungan antara Kualiatas Pelayanan yang kurang dengan Tingkat Kepuasan Konsumen Warung Mie Get Cirebon
Hubungan antara Kualiatas Pelayanan yang kurang dengan Tingkat Kepuasan Konsumen Warung Mie Get Cirebon
Oleh
Henny Anitasari 1601276741
LE64
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
JAKARTA
2015
BAB 1
LATAR BELAKANG
Kota Cirebon bukan hanya terkenal dengan tiga keraton yang masih bertahan hingga kini yakni Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Keraton Kacirebonan. Kota batik di Jawa Barat ini terkenal pula dengan kulinernya yang khas, seperti nasi jamblang, tahu gejrot, empal gentong, dan makanan kuliner lainnya.
Uniknya, makanan khas Cirebon ini hanya terdapat di sekitaran pusat kota atau dalam radius tiga kilometer dari keraton. Di luar radius itu, makanan yang disajikan hampir sama dengan makanan Jawa Barat lainnya. Ada dugaan, makanan khas ini merupakan makanan khas keluarga keraton yang sudah ada sejak sekitar 500 tahun lalu di saat Sunan Gunungjati memegang kekuasaan di Cirebon, lalu menyebar di kalangan keluarga keraton.
Salah satu tempat makanan favorit dan sudah sangat lama ada di Cirebon adalah Nasi Jamblang Pelabuhan. Sesuai namanya, nasi khas Cirebon yang dibungkus daun jati ini dijajakan di sekitar Pelabuhan Cirebon. Namun jangan membayangkan tempatnya sangat nyaman. Warung nasi ini hanya memanfaatkan secuil tempat menjelang pintu masuk Pelabuhan Cirebon. Untuk masuk warung aksesnya sangat sempit. Tidak ada pula papan penunjuk bagi konsumen yang akan mencari warung nasi jamblang Pelabuhan Cirebon.
Meski demikian, konsumen yang datang tidak pernah berhenti mengalir sejak buka pukul 06.00 hingga pukul 14.00. Bahkan konsumen rela antre menunggu tempat duduk tersedia untuk menikmati nasi jamblang yang hangat serta beragam lauk pauk yang tersedia. Padahal, lauk pauk yang disajikan pun tidak jauh berbeda dengan tempat lain seperti semur tahu, empal, paru-paru goreng, sambal, kentang, ati empela, tempe, perkedel dan sebagainya.
Selain fenomena nasi jamblang, kini ada beragam makanan inovatif yang belum pernah ada sebelumnya. Salah satunya, adalah warung MIE GET yang ada di Kota Cirebon. MIE GET sebenarnya adalah mie instan biasa yang ditambah dengan bumbu mie, sayuran, irisan cabe, dan tambahan kuah panas. Mie instan yang biasanya dapat kita buat sendiri dirumah, membuat konsumen ingin kembali lagi ke warung MIE GET tersebut. MIE GET berlokasi di Jalan DR Wahidin, di trotoar pinggir jalan sekitaran SMPN 5 Cirebon. Mie GET mulai buka pukul 16.00 sore hingga malam.
Warung MIE GET yang berlokasi di trotoar pinggir jalan, membuat konsumen tetap ingin kembali meskipun tempatnya kurang strategis. Selain tempat yang kurang strategis, warung MIE GET sering terjadi antrean konsumen yang ingin makan di tempat tersebut. Konsumen yang datang dan tidak mendapat tempat harus menunggu atau mengantre. Pelayanan dari pelayan terhadap konsumen cukup cepat dan tidak membuat konsumen menunggu lama. Pelayan memperhatikan kebutuhan pelanggannya apabila dirasa kurang oleh pelanggan.
Dari kedua fenomena tersebut, terdapat awal era industri, sekitar tahun 1900-an dimana produsen tidak terlalu memperhatikan keinginan konsumen. Menurut Henry Ford, apapun yang diproduksi oleh perusahaan pasti akan di beli oleh konsumen. Dapat diartikan bahwa pernyataan tersebut mengungkapkan keyakinan dalam produsen akan mendominasi konsumen (Engel, Blackweel & Miniard,1995; juga Tennter & de Torro,1992).
Seiring berkembangnya jaman, era tersebut tidak berlaku lagi, karena sekarang konsumen menjadi perhatian khusus bagi produsen-produsen yang memiliki usaha. Banyaknya permintaan konsumen terutama dalam kebutuhan fisiologis, mengharuskan produsen yang memiliki tempat usaha membuat strategi dan mencari tahu kebutuhan konsumen, kriteria yang disukai konsumen, peminatan konsumen pada suatu produk yang sering dibutuhkan, macam-macam makanan yang bervariasi dan yang menarik minat konsumen.
Minat konsumen yang terus-menerus berubah sesuai perkembangan jaman, membuat maraknya tempat usaha baru di setiap tempat dan terjadinya persaingan antar tempat usaha tersebut. Setiap tempat usaha harus memiliki strategi untuk menarik konsumen serta mengetahui kebutuhan apa saja yang sedang dibutuhkan konsumen saat ini. Kebutuhan konsumen yang sering dibutuhkan adalah makan. Manusia pasti butuh makan, sehingga membuat usahawan baru memilih untuk membuka tempat usaha makanan. Pemilik tempat usaha atau warung makan, harus membuat sesuatu yang berbeda dari warung makan lainnya, misalnya dari segi tempat yang membuat konsumen nyaman, dari segi kualitas pelayanan yang baik, ataupun strategi lain agar menarik konsumen.
Tempat yang nyaman akan membuat konsumen tidak ingin cepat beranjak pergi dari mejanya. Selain tempat yang nyaman, tempat makan yang bersih akan membuat konsumen merasa puas. Dari segi kualitas pelayanan yang diberikan pelayan terhadap konsumen, pemilik warung makan harus memberikan pelatihan terlebih dahulu agar konsumennya nanti merasa puas akan pelayanan yang diberikan. Namun, tidak selamanya kualitas pelayanan baik, membuat konsumen puas dan ingin kembali lagi.
Kepuasan atau ketidakpuasan adalah perasaan senang atau kecewa yang dirasakan oleh seseorang yang berasal dari kinerja dengan kesan dalam produk yang diharapkannya. Banyak definisi mengenai kepuasan konsumen. Menurut Kotler (2005), kepuasan adalah sejauh mana suatu tingkat produk dipersepsikan sesuai dengan harapan pembeli. Kepuasan konsumen diartikan sebagai suatu keadaan di mana harapan konsumen terhadap suatu produk yang sesuai dengan kenyataan yang diterima oleh konsumen.
Menurut Oliver (dalam Marknesis, 2009), kepuasan konsumen adalah perasaan senang atau kecewa yang didapatkan seseorang dari membandingkan antara kinerja (atau hasil) produk yang dipersepsikan dengan ekspetasinya. Artinya, seorang konsumen merasa puas atau tidak puas bergantung pada kinerja produk dibandingkan ekspetasi konsumen yang bersangkutan.
Kepuasan konsumen berkaitan dengan kualitas pelayanan yang diberikan oleh karyawan ataupun tempat usaha tersebut. Menurut Kotler (1997:49) mendefinisikan kualitas sebagai keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat.
Kualitas dalam pengertiannya memiliki pandangan atau definisi yang berbeda-beda. Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berpengaruh dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono, 2001). Sehingga definisi kualitas pelayanan dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan penyampaiannya dalam mengimbangi harapan konsumen (Tjiptono, 2007). Pelayanan merupakan salah satu hal yang patut diperhatikan. Tanpa pelanggan, perusahaan tidak dapat mencapai tujuan utama yaitu kualitas pelayanan dan kepuasan konsumen.
Sedangkan, menurut Callier (dalam Yamit, 2001) mendefinisikan kualitas pelayanan yang lebih menekankan pada kata konsumen, pelayanan, kualitas, dan tingkat. Pelayanan pada tingkat kualitas pelayanan merupakan cara yang konsisten untuk dapat memenuhi harapan konsumen.
Dari fenomena tersebut, peneliti ingin melihat hubungan antara kualitas pelayanan yang kurang baik dan kepuasan konsumen di warung makan. Kualitas pelayanan yang ingin dilihat adalah dari dimensi SERVQUAL yang terbagi dalam 5 aspek, yaitu tangible (kebersihan fasilitas fisik dan kerapian penampilan pelayan), empathy (memperhatikan kebutuhan pelanggan), reliability (menyajikan pelayanan yang baik dari awal hingga akhir), responsivess (kesediaan karyawan dalam memberikan pelayanan yang cepat), dan assurance (keramahan karyawan dalam memberikan pelayanan).
Aspek-aspek kepuasan konsumen menurut Supranto (1997), dapat dilihat dari ketanggapan pelayanan, kecepatan transaksi, keberadaan pelayanan, profesionalisme, dan kepuasan menyeluruh dengan jasa atau pelayanan. Sedangkan menurut Sabarguna (2004), menyatakan ada beberapa aspek kepuasan konsumen yaitu aspek kenyamanan, aspek hubungan konsumen dengan karyawan, aspek kompetensi teknis petugas, dan aspek biaya. Berdasarkan aspek-aspek kepuasan tersebut, aspek yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek yang dikemukakan Sabarguna (2004) yaitu aspek kenyamanan, aspek hubungan dengan karyawan, aspek kompetensi teknis petugas, dan aspek biaya.
Penelitian ini adalah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan kualitas pelayanan yang kurang baik dan kepuasan konsumen di warung makan. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kuisioner dan observasi langsung untuk melihat jawaban-jawaban responden yang dijadikan sebagai objek penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Adapun variabel penelitian yang digunakan ada dua variabel, yaitu kualitas pelayanan (variabel satu) dan kepuasan konsumen (variabel dua).
BAB 2
VARIABEL
2.1 Kualitas Pelayanan
- Perspektif Kualitas
Kualitas dalam pengertiannya memiliki pandangan atau definisi yang berbeda-beda. Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berpengaruh dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono, 2001). Menurut Kotler (1997:49) mendefinisikan kualitas sebagai keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat. Kotler (2005) merumuskan bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Garvin (2004) menyatakan lima macam perspektif kualitas yang berkembang. Kelima macam perspektif inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas bias diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda dalam situasi yang berlainan. Adapun kelima macam perspektif kualitas tersebut adalah
2.1.1.1 Pendekatan Transendental (Trancendental Approach)
Dalam pendekatan ini kualitas dipandang sebagai keunggulan bawaan (innate excellence), di mana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit di definisikan dan dioperasionalisasikan.
2.1.1.2 Pendekatan berbasis Produk (Product-based Approach)
Pendekatan ini menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur.
2.1.1.3 Pendekatan berbasis Pengguna (User-based Approach)
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang memandangnya sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang (misalnya, kualitas yang dirasakan (perceived quality)) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.
2.1.1.4 Pendekatan berbasis Manufaktur (Manufacturing-based Approach)
Perspektif ini berdasarkan pasokan (supply-based) dan secara khusus memperhatikan praktik-praktik rekayasa, serta mendefinisikan kualitas sebagai persyaratan kesesuaian atau kesamaan (conformance to requirements). Penentu kualitas dalam pendekatan ini adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan oleh konsumen pengguna.
2.1.1.5 Pendekatan berbasis Nilai (Value-based Approach)
Kualitas dalam perspektif ini bersifat relative, sehingga produk yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat untuk dibeli (best-buy).
2.1.2 Perspektif Jasa
Menurut Kotler (2000:83) mendefinisikan jasa atau pelayanan sebagai tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan pada satu produk fisik.
Jasa atau pelayanan disebut produk tidak berwujud (intangible) sebab kita tidak dapat memegang suatu jasa atau pelayanan itu berbentuk seperti apa tetapi yang kita peroleh adalah proses kerja jasa itu apakah berkualitas atau tidak berkualitas.
2.1.3 Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan penyampaiannya dalam mengimbangi harapan konsumen (Tjiptono, 2007). Pelayanan merupakan salah satu hal yang patut diperhatikan. Tanpa pelanggan, perusahaan tidak dapat mencapai tujuan utama yaitu kualitas pelayanan dan kepuasan konsumen.
Lebih lanjut, Tjiptono (2005) menjelaskan bahwa apabila jasa yang diterima atau disarankan sesuai denganyang diharapkan, kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya, jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian, baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa untuk memenuhi harapan pelanggan secara konsisten.
Sedangkan, menurut Callier (dalam Yamit, 2001) mendefinisikan kualitas pelayanan yang lebih menekankan pada kata konsumen, pelayanan, kualitas, dan tingkat. Pelayanan pada tingkat kualitas pelayanan merupakan cara yang konsisten untuk dapat memenuhi harapan konsumen.
Kualitas memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan yang kuat dengan perusahaan. Parasuraman (2009) mendefinisikan kualitas jasa sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.
2.1.4 Dimensi Kualitas Pelayanan
Terdapat lima dimensi penentu kualitas pelayanan menurut Parasuraman,(2002), kelima dimensi kualitas pelayanan, yaitu :
2.1.4.1 Berwujud atau produk-produk fisik (tangible)
Tersedianya fasilitas fisik, perlengkapan dan sarana komunikasi, dan lain-lain yang bisa
dan harus ada dalam proses jasa.
2.1.4.2 Kehandalan (reliability)
Yaitu kemampuan untuk memberikan atau melaksanakan pelayanan yang dijanjikan
dengan tepat (accurately) dan kemampuan untuk dipercaya (dependably), terutama
memberikan jasa secara tepat waktu (on time), dengan cara yang sama sesuai dengan
jadwal yang telah dijanjikan, dan tanpa melakukan kesalahan.
2.1.4.3 Ketanggapan atau tanggung jawab (responsiveness)
Yaitu kemampuan atau keinginan karyawan untuk membantu pelanggan dengan
memberikan jasa dengan tepat dan dibutuhkan konsumen.
2.1.4.4 Keyakinan atau jaminan (confidence/assurance)
Meliputi pengetahuan, kemampuan, keramahan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya
dari kontak personal untuk menghilangkan sifat keragu-raguan konsumen dan membuat
mereka merasa terbebas dari bahaya dan risiko.
2.1.4.5 Empati (empathy)
Meliputi sikap kontak personal atau perusahaan untuk memahami kebutuhan dan
kesulitan, konsumen, komunikasi yang baik, prihatin pribadi, dan kemudahan untuk
melakukan komunikasi atau hubungan.
2.2 Kepuasan Konsumen
Kepuasan atau ketidakpuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja produk yang rill atau actual dengan kinerja produk yang diharapkan. Kepuasan adalah sejauh mana suatu tingkatan produk dipersepsikan sesuai dengan harapan pembeli (Kotler,2005). Menurut Philip Kotler (2002:42), kepuasan konsumen adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya.
Kepuasan konsumen adalah persepsi konsumen individu dari kinerja produk atau jasa yang berkaitan dengan harapan. Pelanggan akan memiliki harapan yang sangat berbeda dari restoran yang mahal dan restoran siap saji, meskipun keduanya adalah anggota dari industri restoran yang untuk memenuhi segmen konsumen, atau kadang-kadang untuk konsumen yang sama dalam keadaan yang berbeda. Konsep kepuasan konsumen merupakan fungsi dari harapan pelanggan. Konsumen dengan pengalaman di bawah ekspektasi akan merasa tidak puas. Konsumen yang pengalamannya sesuai harapan akan puas. Dan konsumen yang harapannya terlampaui akan sangat puas atau bahkan senang.
Memang kepuasan dan kesenangan konsumen sepenuhnya konsisten dengan prinsip-prinsip yang mendasari konsep pemasaran, dan oleh karena itu mereka menggunakan strategi yang layak bagi pemasar untuk memuaskan konsumen. Sebuah studi yang dikutip dengan menghubungkan tingkat kepuasan konsumen terhadap perilaku pelanggan mengidentifikasi beberapa jenis pelanggan. Di sisi positif, ada kepuasan konsumen yang terus melakukan pembelian, atau yang pengalamannya melebihi harapan mereka dan yang memberikan kata dari mulut ke mulut sangat positif tentang perusahaan kepada orang lain.
Sebaliknya, di sisi negatif ada yang merasa netral atau hanya puas dan hanya sebagai kemungkinan untuk berhenti melakukan bisnis dengan perusahaan; konsumen yang telah memiliki pengalaman negatif dengan perusahaan dan akan menyebarkan berita negatif dari mulut ke mulut; dan perusahaan dengan lingkungan monopoli atau harga rendah dan mahal akan sulit untuk menangani keluhan. Para peneliti mengusulkan bahwa perusahaan harus berusaha untuk menciptakan serta meningkatkan kepuasan pelanggan dan mengubahnya menjadi loyal, sehingga dapat menghindari hostages.
Dalam pengertian lain, kepuasan konsumen merupakan hasil proses kognitif yang berbentuk disonansi positif atau negatif. Jika positif, hasil yang dicapai adalah kepuasan; dan hasil sebaliknya jika negatif. Loudon dan Della Bitta (1993) memperlihatkan lima proses menuju rasa puas-tidaknya konsumen. Pertama, konsumen menilai alternatif yang ada sebelum membeli. Kedua, terjadi pembelian sebuah produk, ketiga, konsumen membandingkan harapan tentang produk yang dibeli dengan kenyataan/performa produk tersebut. Hasil perbandingan itu membawa konsumen kepada rasa puas atau tidak terhadap produk tersebut. Harapan konsumen didasarkan pada nilai terminal dan instrumental yang dianutnya, yang diterjemahkannya dengan baik-buruknya performa produk yang dibeli. Dari pengalaman menggunakan produk tersebut dibuat keputusan puas kalau sesuai dengan harapan dan tidak kalau terjadi sebaliknya.
Kepuasan konsumen diukur dengan seberapa besar harapan konsumen tentang produk dan pelayanan sesuai dengan kinerja produk dan pelayanan yang aktual. Kepuasan akan mendorong konsumen untuk membeli kembali produk tersebut atau kembali ke tempat tersebut. Kekecewaan akan ada apabila kinerja yang aktual tidak memenuhi kepuasan konsumen. Harapan konsumen didasarkan pada pengalaman di masa lalu. Apabila konsumen merasa puas akan pengalaman masa lalunya di tempat atau produk tersebut, maka konsumen akan kembali lagi.
2.3 Subjek penelitian yang terkait dengan Kualitas Pelayanan dan Kepuasan Konsumen
Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan kualitas pelayanan dan kepuasan konsumen. Faktor-faktor tersebut antara lain, demografi, performa produk, citra merk, harga dan nilai, dan performa karyawan. Dalam hal ini, penulis menggunakan salah satu faktor yaitu demografi. Demografi adalah ilmu tentang populasi manusia dalam hal ukuran, kepadatan, lokasi, umur, jenis kelamin, ras, mata pencaharian, dan statistik lainnya. Lingkungan demografis adalah kepentingan utama bagi pemasar karena lingkungan ini melibatkan orang-orang; dan orang-orang akan membentuk pasar.
Inti dari semua segmentasi demografi, sebagai berikut: (1). Demografi yang paling mudah dan paling logis cara untuk mengklasifikasikan orang dan dapat diukur lebih tepat daripada dasar segmentasi lain, (2). Demografi menawarkan cara yang paling hemat biaya untuk mencari dan mencapai segmen tertentu karena sebagian besar data sekunder yang dikumpulkan mengenai populasi apapun berdasarkan demografi, (3).Demografi memungkinkan pemasar untuk mengidentifikasi peluang bisnis diaktifkan oleh pergeseran usia populasi, pendapatan atau lokasi geografis; dan (4). Banyak perilaku konsumsi, pola paparan sikap, dan media secara langsung berkaitan dengan demografi.
Berikut ini ciri-ciri dari kelompok konsumen yang digolongkan berdasarkan ciri-ciri demografis :
- Konsumen Pria : mudah terpengaruh oleh bujukan penjual; sering tertipu, karena tidak sabaran untuk memilih dulu sebelum membeli; punya perasaan kurang enak jik memasuki toko tanpa membeli sesuatu; kurang begitu berminat untuk berbelanja sehingga sering terburu-buru mengambil keputusan membeli; dan mudah dipengaruhi oleh nasihat yang baik, argumentasi yang objektif.
- Konsumen Wanita : tidak mudah terbawa arus atau bujukan penjual; lebih banyak tertarik pada warna dan bentuk, bukan pada kegunaannya, karena wanita lebih perasa daripada pria; juga lebih banyak tertarik pada ‘gejala mode’, terutama pada remaja putri dan bahkan belakangan ini remaja putri pun mulai tertarik; mementingkan status sosial, dalam hal ini wanita jauh lebih peka; menyenangi hal-hal yang romantis daripada hal yang objektif; mudah meminta pandangan, pendapat, ataupun nasihat dari orang lain; kurang begitu tertarik pada hal-hal teknis dari barang yang akan dibelinya; senang berbelanja sehingga seringkali sukar untuk cepat menentukan barang mana yang akan dibelinya; cepat merasakan suasana toko.
- Konsumen Remaja : ramaja amat mudah terpengaruh rayuan penjual; mudah terbujuk iklan, terutama pada kerapihan kertas bungkus (apalagi dihiasi dengan warna-warna yang menarik); tidak berpikir hemat; dan kurang realistis, romantic dan impulsive.
- Konsumen Lanjut Usia : umumunya kelompok ini mempunyai pola pikir yang sesuai dengan pengalaman hidupnya, seringkali menampakkan perilaku seolah-olah merekalah yang terpandai, penjual sering dianggap sebagai anak kecil yang tidak mengetahui apa pun (seperti anak yang baru lahir). Tidak bisa mengikuti perputaran zaman, sehingga sering menanyakan barang-barang yang sudah tidak diproduksi lagi (bahkan mungkin barang tersebut sudah berubah bentuk ataupun kualitasnya); seringkali gagasan mereka terasa ‘kolot’. Tidak terburu-buru dalam membeli barang, bahkan senang berbincang-bincang dahulu dengan penjualnya (untuk sekadar melupakan kesunyian di rumah). Kehidupannya sekarang dirasakannya amat tidak menyenangkan, sebab zaman sekarang adalah zaman tergesa-gesaan, mereka umumnya bertindak lamban di dalam membeli barang. Bersikap tenang dan ramah, terutama kaum wanitanya cenderung menunjukkan rasa keibuannya pada yang lebih muda (juga pada pelayan toko).
Variabel demografis menggambarkan karakteristik populasi. Contoh variabel demografis adalah age dan gender. Age berdasarkan kebutuhan produk sering bervariasi dengan usia konsumen, dan usia merupakan faktor kunci dalam memasarkan berbagai produk dan jasa. Gender seperti usia, jenis kelamin adalah variabel segmentasi membedakan faktual, dan banyak produk dan jasa yang sudah dirancang untuk laki-laki maupun perempuan. Misalnya, perempuan secara tradisional menjadi pengguna utama produk seperti rambut pewarnaan dan kosmetik, dan laki-laki telah menjadi pengguna utama alat dan persiapan cukur. Namun, peran seks, dan jenis kelamin tidak lagi menggunakan cara yang akurat untuk membedakan konsumen dan kategori produk lainnya.
BAB 3
HIPOTESIS
H0 : Tidak ada hubungan antara kualiatas pelayanan yang kurang dengan tingkat kepuasan konsumen Warung Mie Get Cirebon.
H1: Ada hubungan antara kualiatas pelayanan yang kurang dengan tingkat kepuasan konsumen Warung Mie Get Cirebon.
Comments :