Kekosongan Jiwa
‘Saya tidak kesepian’ ujar seorang teman menyanggah ketika saya mencoba memahami kegundahannya. ‘Kamu tahu ?…saya merasakan adanya kekosongan dalam jiwa saya. Seperti ada kebosanan dalam hidup saya, semuanya terasa monoton, seolah semuanya gersang’. Saya manggut-manggut saja mendengarkan curahan perasaan teman tersebut.
Semenjak itu tak berhenti saya merenungkan apa yang dirasakan oleh teman tersebut, sembari menggali apakah saya sendiri pernah merasakan hal tersebut. Jangan-jangan bukan hanya teman saya yang merasakan hal tersebut, tapi masih banyak orang lain yang merasakan hal yang sama.
Perenungan ini adalah perenungan tentang hakikat kehidupan. Pernahkan kita berpikir bahwa kesibukan telah membingkai kehidupan kita, merangkai waktu-waktu kita dan melilit diri kita, sehingga ketika tidak ada yang kita lakukan justru hal tersebut terasa aneh. Tuntutan kehidupan dan kebutuhan aktualisasi diri mendorong kita menggeliatkan gairah kita untuk berkutat dengan pekerjaan, mengejar target atau deadline. Sosialisasi tetap dilakukan di tengah kesibukan kita. Di sela waktu istirahat bekerja kita akan bercakap-cakap dengan rekan kerja atau teman lain melalui media sosial. Sepulang bekerja, kita akan bercengkerama dengan keluarga, hang out dengan teman, menonton televisi, membaca novel, menjelajah dunia maya, berolah raga, atau melakukan aktivitas lain yang bersifat relaksasi. Tiada terasa, waktu akan berlalu dengan cepat hingga akhir minggu tiba. Di akhir minggu pun kita telah memiliki daftar kegiatan yang telah direncanakan. Kemudian tanpa terasa hari libur akhir pekan telah berakhir dan kita kembali menjalani rutinitas lagi. Begitu terus terjadi secara berulang.
Pernahkan kita berpikir bahwa sesungguhnya kita lelah dengan semua ini. Pernahkan kita berpikir untuk hanya ‘diam’ saja sejenak, tidak melakukan apa-apa dan bahkan tidak memikirkan apa-apa. Hanya ‘diam’ sejenak untuk merasakan adanya kebutuhan kita untuk bersatu dengan alam semesta dan Sang Pencipta. Untuk merasakan eksistensi yang ‘berbeda’ dari bentuk eksistensi yang selama ini kita pikirkan. Eksistensi sebagai bagian dari alam semesta, sebagai mahkluk yang takluk pada yang lebih berkuasa. Pada hakikatnya ini lah kebutuhan yang dimiliki manusia, kebutuhan transcendence. Menurut Erick Fromm, kebutuhan transcendence adalah dorongan untuk naik lebih tinggi dari kondisi eksistensi yang disengaja dan pasif dan masuk ke dalam wilayah yang penuh tujuan dan berisi kebebasan (Feist, Feist, & Roberts, 2013). Manusia akan melampaui kondisi pasifnya dengan menciptakan kehidupan atau merusaknya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan karya seni, agama, ide-ide, hukum-hukum, produksi benda, dan cinta. Untuk menciptakan berarti manusia harus aktif dan untuk memperhatikan apa yang kita ciptakan.
Pada jaman modern ini, dimana teknologi begitu canggih, membuat manusia seakan ‘terpisah’ dari alam semesta. Akibatnya manusia akan mengalami keterisolasian dan keterasingan diri dari dunia. Menurut May (Feist, Feist, & Roberts, 2013) keterasingan ini termanifestasi dalam tiga bentuk, yaitu : keterpisahan dari alam semesta, kurangnya hubungan interpersonal yang bermakna, dan keterasingan dari diri yang otentik. Keterasingan dapat terjadi dalam tiga bentuk, namun dalam tulisan ini yang lebih disorot adalah keterpisahan dengan alam semesta. Keterpisahan dengan alam semesta ini merupakan momok, karena tidak mudah kita sadari tetapi menggerogoti jiwa-jiwa kita.
Manusia mudah sekali terpisah dari alam semesta, karena di jaman modern ini banyak sekali ‘gangguan’ yang dihadapi, seperti televisi, internet, atau kesibukan memenuhi tuntutan peran yang dimiliki dan beraktualisasi diri untuk kepuasan pribadi. Coba kita bayangkan, seandainya kita hidup di era Nabi Musa, seperti yang tergambar dalam film Exodus : Gods & Kings. Pada masa itu tidak ada mall, tidak ada café, tidak ada gedung bertingkat, tidak ada mobil atau alat transportasi lain, yang ada hanya tempat tinggal seadanya dan dataran tandus. Tidak ada hiburan sama sekali di jaman itu. Namun, justru hal tersebut yang membuat tidak ada ‘gangguan’ bagi manusia, yang membuatnya akan berjarak dengan alam semesta dan Sang Pencipta. Lebih banyak waktu yang dapat kita nikmati untuk hanya ‘diam’ dan berkontemplasi.
Namun, kenyataannya saat ini tidak lah demikian. Kita tidak tinggal di jaman Nabi Musa. Gangguan tidak dapat kita hindarkan, lalu apakah yang perlu kita lakukan ? Marilah kita berkontemplasi agar menemukan cara yang tepat untuk mengisi kekosongan jiwa.
Oleh: Rani Agias Fitri, M. Psi., Psikolog
Referensi :
Feist, Feist, & Roberts. 2013. Theories of Personality. 8th Edition. New York : McGraw-Hill.
Editor by: Berdi Dwijayanto, S.Psi.