Humaniora BINUS Untuk Nusantara
Liputan oleh: Juneman Abraham
Pada 22 Oktober 2014, dalam rangkaian The Grand Launching of BINUS University di Alam Sutera, Fakultas Humaniora menyelenggarakan Talkshow HUMANIORA bertajuk “HUMANIORA BINUS UNTUK NUSANTARA: Menanamkan Nilai-nilai Humaniora Untuk Pembangunan Bangsa Indonesia“. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah BINUS University, para ahli dari masing-masing jurusan di lingkungan Fakultas Humaniora duduk bersama dalam satu meja untuk menyampaikan gagasannya, dengan audiens para dosen dan mahasiswa FHum.
Para ahli tersebut dengan topik yang dibawakannya adalah:
- Tirta Nugraha Mursitama, S.Sos., M.M., Ph.D. (Head of International Relation Department): “Indonesia in Geopolitics“
- Abdullah Dahana, Ph.D. (Lecturer Specialist, Chinese Department): “Learn from China” (Belajar Dari Tiongkok)
- Dr. Sheddy Nagara Tjandra, M.A. (Lecturer Specialist, Japanese Department): “Learn from Japan“
- Besar, S.H., M.H. (Business Law Department): “Intellectual Property Rights (IPR)“
- Wishnoebroto, S.Pd., M.Hum., M.A. (English Department): “Westernized Asia“
- Johannes A. A. Rumeser, M.Psi. (Psychology Department): “Leadership in Organization“
- Jimmy Sapoetra, S.S., M.Pd. (Pendidikan Guru Sekolah Dasar Department): “Humaniora dan Visi Perguruan Tinggi“
Acara ini diawali dengan doa yang dipimpin oleh Paulus A. F. Dwi Santo, S.H., M.H. (Deputy Head of Department, Business Law). Selanjutnya acara ini dipandu oleh MC Rudi Hartono Manurung, S.S. (Deputy Head of Japanese Department) dan Irfan Rifai, S.Pd., M.Ed. (Deputy Head of English Department).
Sambutan diberikan oleh Dr. Johannes A. A. Rumeser, M.Psi. (Dean of Faculty of Humanities). Beliau berpesan agar seluruh audiens menyimak pembicaraan yang akan berlangsung dari multi-jurusan walaupun terdengar ‘asing’ bagi bidang ilmunya sendiri. “Apa permasalahan yang dikemukakan dan apa yang bisa kembangkan lebih jauh bersama-sama?”
Setelah sambutan, sebelum masuk ke dalam paparan pembicara ahli, acara diselingi dengan hiburan berupa dua buah lagu dari mahasiswa Psychology Department.
Talkshow ini dimoderatori oleh Almodad Biduk Asmani, S.S., M.Ed. (Language Center). Moderator menyampaikan sejumlah hal sebagai pendahuluan acara, yakni (1) Pembicaraan akan dilangsungkan dalam konteks global, dalam hal ini Asia, di mana Indonesia berada sebagai bagiannya; (2) Isi pembicaraan akan berhubungan dengan mindset ‘Glocal‘ (think globally, act locally), (3) Perlu diingat kekuatan Asia: Bangsa Asia menguasai 20% tanah dunia; setengah jumlah penduduk dunia ada di Asia; 49 negara Asia memiliki filosofi ekonomi yang berbeda-beda namun menghasilkan 27% global output.
“Indonesia in Geopolitics”
Pembicara pertama, Bapak Tirta, pertama-tama menyampaikan Geopolitik sebagai cabang dari ilmu Geografi namun melihat posisi suatu negara dalam konteks hubungan dengan negara-negara lain.
Salah satu gejala geopolitik di Indonesia adalah bahwa dalam pelantikan Presiden Joko Widodo, tamu-tamu dari negara-negara lain hadir. Artinya, Indonesia menjadi sebuah negara yang sangat penting. John Kerry yang datang dalam pelantikan Jokowi menandakan bahwa Amerika Serikat sangat peduli dengan perkembangan Indonesia. Indonesia berada di posisi strategis sebagai poros maritim dunia, diapit dua lautan. Semua pertumbuhan ekonomi tidak lagi didasarkan pada persoalan-persoalan yang terkait dengan daratan (atau bias daratan). Oleh karena itu, jalur-jalur laut dibuka, dilakukan revitalisasi pelabuhan. Secara domestik, budaya nenek moyang bangsa Indonesia adalah budaya maritim. Kita ingat “Jalesveva Jayamahe” (Di Laut Kita Jaya). Bukan berarti kita meninggalkan daratan, namun bagaimana kita memberikan perhatian lebih kepada persoalan-persoalan yang terkait dengan kemaritiman. Gagasan Jokowi “Poros maritim dunia”, walau sebagai Presiden dari sebuah negara yang tidak memiliki kekuatan fisik/tempur yang sangat hebat, sudah berhasil memenangkan wacana dalam Hubungan Internasional, serta menarik perhatian dan partisipasi dari seluruh pemimpin dunia. Secara internasional, kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya dari berbagai negara sahabat mengitari Indonesia dengan berbagai agendanya.
“Learn from China”
Pembicara kedua, Bapak Dahana, menyampaikan bahwa dalam waktu sangat singkat Tiongkok telah melompat dari dunia ketiga menjadi sebuah negara adikuasa. Ukurannya adalah pertumbuhan ekonomi di atas 7% tahun dalam waktu 30 tahun terakhir.
Timbullah suatu diskusi dalam dunia internasional mengenai “The Raise of China“: Tiongkok akan menjadi sesuatu yang menakutkan dunia. Di kalangan pemimpin Tiongkok sendiri timbul perdebatan. Dengan meningkatnya posisi Tiongkok sebagai salah satu negara adikuasa kedua, apa yang akan mereka lakukan? Muncul wacana bahwa bangkitnya Tiongkok itu adalah demi perkembangan ekonomi dan kemajuan rakyatnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu dunia yang penuh perdamaian (peaceful). Pada 1990 Uni Sovyet bangkrut. Terbit sebuah buku Francis Fukuyama, yang mengatakan bahwa dengan bubarnya Uni Sovyet, maka yang menang dalam persaingan antara kapitalisme dan sosialisme adalah kapitalisme & demokrasi liberal (petunjuk tentang berakhirnya pencarian umat manusia atas sistem politik dan masyarakat).
Namun demikian, yang terjadi di Tiongkok justru berlawanan dengan yang dikatakan Fukuyama. Di Tiongkok, dua hal yang tadinya berlawanan (kapitalisme dan otoritarianisme) dapat hidup berdampingan secara damai. Yang menjadi rahasia dari sukses Tiongkok: (1) Partai Komunis Tiongkok sebagai kekuatan perubahan yang utama, (2) Partai komunis Tiongkok adalah organisasi politik yang fleksibel (ketika Deng Xiaoping mengubah arah pemerintahan dari ‘Politik sebagai panglima’ yang dikomandoi Mao Tse-tung menjadi ‘Ekonomi sebagai panglima’, dengan mudah partai komunis bisa berubah ketika itu). Rakyat sudah lelah dengan rangkaian kampanye politik yang dilancarkan Mao dari 1955-1976. RRT, pasca perang dingin dan berkembangnya globalisasi, bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional yang dulu dicap sebagai agen liberalisme dan kapitalisme, serta bekerjasama secara ekonomi dengan semua negara tanpa melihat ideologi negara tersebut. Dulu negara-negara takut dengan komunisme RRT, sekarang takut dengan serbuan barang-barang dan kapitalisme RRT.
Di Indonesia, Model Pembangunan Tiongkok diperkenalkan oleh almarhum Ignatius Wibowo dalam bukunya “Belajar dari China”. Menurut Wibowo, ada 4 perubahan signifikan Tiongkok yang harus dipelajari oleh Indonesia: (1) Ekonomi (pertumbuhan di atas 7% per tahun), (2) Politik (kinerja partai komunis sangat baik, tidak memerintah ‘semau gue‘, (3) Ideologi (menggabungkan 2 sistem yang dulu kontradiktif: kapitalisme dan otoritarianisme), (4) Menggunakan peluang di tengah proses globalisasi (kerjasama dengan organisasi-organisasi yang dulu dianggap agen kapitalis).
Bapak Dahana berkeyakinan bahwa Model Pembangunan Tiongkok ini bisa ditiru, namun sulit! Mengapa? Sebab dibandingkan dengan Indonesia: Penduduk Tiongkok boleh dikatakan homogen. Sebanyak 93% suku bangsa Han, hanya 7% yang minoritas. Hal ini memungkinkan Pemerintah menjalankan kebijakan dengan sangat leluasa. Posisi Partai Komunis yang sangat pokok; tidak ada kekuatan politik yang dapat menjadi pesaingnya. Yang terjadi di Tiongkok adalah Kapitalisme Negara di mana perkembangan ekonomi dimotori oleh BUMN. Pemerintah dan Partai sangat identik. Kemajuan yang didapat oleh RRT sebenarnya adalah ‘dendam sejarah’, dalam mana selama satu abad (1850-1949), Tiongkok selalu menjadi tanah jajahan yang dihina bangsa-bangsa Barat dan Jepang. Reformasi ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru di Tiongkok. Sejak akhir abad ke-19, di kalangan elit Tiongkok selalu terjadi perdebatan tentang bagaimana Tiongkok menjadi jaya, kaya dan kuat.
“Learn from Japan”
Bapak Tjandra menyampaikan bahwa Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, pernah menyampaikan “Look to the East!“. Timur (East) di sini tidak termasuk China, namun semata-mata Jepang. Mahathir mengakui kebesaran Jepang. Malaysia mengirim mahasiswa cukup banyak ke Jepang.
Nilai budaya yang bisa dipelajari dari Jepang: Budaya membaca, belajar, dan meneliti. Sejak akhir zaman Samurai (abad 17/18), orang Jepang sudah kecanduan membaca. Dalam sejarah, orang Jepang juga belajar kepada orang-orang Barat (Belanda, dsb). Budaya meneliti ditandai dengan munculnya kelompok cendikiawan yang menciptakan “Ilmu Negara Jepang” dan “Ilmu Bahasa Jepang”. Hasil penelitian dimanfaatkan untuk kehidupan dan dilestarikan melalui ilmu pengetahuan. Metodologi penelitian tradisional Jepang sangat khas, yang lepas dari pengaruh Barat, yaitu metodologi penelitian yang “tanpa teori” namun berakar dari data (membesarkan data!) dan referensi. Amerika lebih mementingkan teori terlebih dahulu. Sarjana Jepang ada yang memperoleh Hadiah Nobel, yang berarti tingkat pengetahuannya tidak kalah dari Amerika dan Eropa.
Nilai budaya disiplin sosial & umum: Masyarakat Jepang memiliki tenggang rasa yang tinggi. Dari sini lahir disiplin sosial yang sangat tinggi, seperti (a) mengantri di supermarket, (b) para supir jarang sekali memencet klakson, dsb.
Nilai budaya politik: Budaya malu di birokrasi dan kaum eksekutif Jepang sudah sangat populer. Secara historis, Pemerintahan Samurai menjalankan semangat seorang Ksatria. Malu jika berbuat salah. Akibat berbuat salah yang besar, orang mengalami harakiri (bunuh diri sendiri), yang bentuknya saat ini: gantung diri, mengundurkan diri dari jabatan.
“Intellectual Property Rights (IPR)”
Bapak Besar menyampaikan gejala bahwa di Indonesia masih sangat tinggi terjadi pembajakan, dari negara agraris menuju ke negara industri. Ada bidang-bidang IPR (Intellectual Property Rights)/HKI (Hak Kekayaan Intelektual): HKI yang kepemilikannya komunal (pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, indikasi geografis), HKI yang kepemilikannya perorangan (hak cipta – di Indonesia UU 19/2002); Indonesia adalah negara pelanggar hak cipta yang terbesar. Hak milik industri: paten, merk, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak, sirkuit terpadu, dan varietas tanaman.
Manfaat HKI: Sebagai aset yang tidak ternilai, sebagai pendukung peningkatan usaha, sebagai pencegah persaingan usaha tidak sehat, sebagai peningkat daya saing perusahaan, sebagai pemacu kreasi dan inovasi, sebagai pembentuk image, sebagai sumber keuangan. Kalau ingin menciptakan kreativitas dari produk yang sudah ada, seseorang harus meminta izin terlebih dahulu dari si pencipta pertama.
Secara ekonomi, HKI tidak mengalami penyusutan. Semakin digunakan, nilainya semakin meningkat. Semakin banyak hak cipta dan paten yang terdaftar, semakin bertambahlah nilai sebuah bangsa.
Acara kemudian diselingi dengan musik tradisional Jepang oleh mahasiswa Japanese Department.
“Westernized Asia”
Bapak Wishnoe mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa, apakah lebih kenal budaya asing (Disney, dsb) atau budaya Indonesia (cerita rakyat, dsb)? Apakah kemampuan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia yang lebih bagus?
Edward Said membuat teori bahwa dunia terbelah menjadi dua: Oksiden dan Orient. Oksiden berarti mereka yang dominan (Barat); Orient (Timur). Oksiden yang bagus (civilized), Orient. “Siapa yang mengatakan di kepala Anda bahwa putih lebih baik (contoh krim pemutih)?” Rambut lurus, mata biru, lebih cantik? Operasi plastik, Hollywood movies? Melalui media? Starbucks atau kopi di warung? “Your are being colonized by the West, in culture”, Banyak hal positif, local wisdom di Indonesia yang justru tertutupi oleh budaya Barat (contoh: sungkan di budaya Jawa, hormat kepada orangtua, dsb). Boleh juga belajar dari budaya Barat, namun banyak juga budaya di negeri kita yang lebih baik dari budaya Barat.
“Leadership in Organization”
Bapak Jo memulai dengan pertanyaan, “Mengapa organisasi bisa tumbuh, berkembang, dan langgeng?” Banyak penelitian yang dilakukan, namun akhirnya bertumpu pada 2 hal. Pertama adalah Kepemimpinan (Leadership). Organisasi yang besar selalu punya leader yang baik, dan itu yang selalu diceritakan berulang-ulang. Sebagai contoh, Jack Welch, CEO General Electric; apa yang diomongkannya sampai dianut sebagai benar. Kedua adalah Teamwork (tidak mungkin bekerja sendiri).
Kepemimpinan itu sulit sekali didefinisikan, karena menyangkut tiga titik: (1) Follower (pengikut), (2) Situasi, (3) Pemimpin. Pemimpin yang hebat dari sebuah organisasi bila masuk ke organisasi yang berbeda bisa jatuh. Sebaliknya, bukan pemimpin yang hebat, namun saat ia masuk, situasinya membutuhkan orang sepertinya.
Situasi saat ini di Indonesia, orang sudah ‘benci’ dengan ‘pencitraan’; sehingga mencari orang yang tulus, lugu, dan bisa dipercaya. Semua orang mendukung pemimpin yang baru itu, sampai mengadakan syukuran rakyat saat Presiden dilantik.
Penelitian Pak Jo menunjukkan ada 4 ciri pemimpin yang baik. Pertama, mengorangkan orang (me-‘wongke‘), sebagai sesama. Kedua, mampu menciptakan atmosfer di mana orang dapat produktif dan mau bekerjasama (tidak dominan). Ketiga, mampu mendelegasikan hal-hal yang bisa dikerjakan bawahannya (tetapi bukan ‘abdicate‘/melepaskan); kalau ada kesalahan, tanggungjawabnya tetap ada di pemimpin. Keempat, secara teratur memberikan umpan balik (Double loop learning: orang belajar dari pengalaman).
“Humaniora dan Visi Perguruan Tinggi”
Bapak Jimmy menyampaikan bahwa sejarah telah membuktikan bahwa manusia tidak belajar dari sejarah. Ada 3 pertanyaan yang perlu direnungkan: (1) Jika tujuan pendidikan untuk kesejahteraan umat manusia, mengapa penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung menyengsarakan manusia itu sendiri?, (2) Mengapa terjadi kesenjangan (gap) antara manusia yang berilmu dan manusia yang bermoral?, dan (3) Apakah sumbangsih ilmu-ilmu humaniora dalam menjawab pertanyaan di atas? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pergumulan Pak Jimmy selama 21 tahun menjadi guru, namun belum bisa dijawab dengan tuntas.
Pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia (humanisasi jiwa; hominisasi tubuh; humaniora; mengutip Driyarkara). Tujuan pendidikan UU Tahun 1989: Mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kondisi Saat ini (1) Kita mengalami dehumanisasi pendidikan di segala bidang. Manusia tidak lagi dianggap manusia. Manusia sudah seperti robot (objek bukan subjek ilmu pengetahuan). Pola pendidikan Barat itu baik, tapi bukan yang terbaik; perlu mencari yang cocok untuk Indonesia; (2) Kontrol Pemerintah dalam dunia pendidikan Indonesia terlalu kuat; (3) Kita tidak pernah menyentuh persoalan hakiki dalam pendidikan (filosofis), terlalu pusing berkutat dalam persoalan-persoalan praktis-pragmatis-teknis.
Tujuan pendidikan asalnya adalah Humaniora. Dari anak kecil sampai dewasa ada proses pemanusiaan. Seluruh ilmu pengetahuan, induknya adalah filsafat, berkembang menjadi humaniora, berkembang menjadi ilmu dan teknologi (terapan). Artinya, seharusnya tidak ada dikotomi antara ilmu alam dan ilmu sosial. Di Indonesia, seolah-olah IPA lebih penting (sehingga lebih diutamakan) daripada IPS.
Komitmen pendidikan tinggi seharusnya bukan untuk tujuan praktis-utilitaris. Implikasinya, seharusnya tujuan belajar bukanlah untuk mendapat pekerjaan yang baik, gaji yang tinggi, kedudukan yang baik, atau mencari nafkah. Kalau iya sebenarnya pendidikan sudah bergeser dari tujuan semulanya yang ideal (Mereduksi tujuan belajar). Perguruan Tinggi sebenarnya bertugas untuk mengembangkan ilmu, yaitu pengetahuan yang mendalam berdasarkan kebenaran. Perguruan Tinggi wajib melandasi misinya tersebut dengan nilai-nilai moral. BINUS adalah kampus yang tegas dalam hal kejujuran.
IPTEK dan Humaniora tidak perlu dipertentangkan, walaupun IPTEK merupakan hasil (pragmatis), humaniora mementingkan proses (idealis).
Visi pendidikan adalah humaniora: bagaimana memanusiakan manusia sebagai makhluk Tuhan (imago Dei). Orientasi PT harus kepada ilmu pengetahuan. Mahasiswa dituntut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam kerangka ilmu itu sendiri demi menuju Kemanusiaan yang lebih adil dan beradab. Ini tujuan aslinya pendidikan!
Warga Fakultas Humaniora seharusnya lebih sadar, lebih peka, dan lebih bertanggung jawab dalam melaksanakan hal-hal yang dibahas di atas.
Pertanyaan dan pernyataan:
Abdul Aziz ‘Comi’ Turhan Kariko, S.S., M.Hum. (dosen English Department):
Bagaimana strategi China menggabungkan dua sistem (kapitalisme dan komunisme)? Apakah mungkin di Indonesia bisa menghilangkan stigma negatif terhadap komunisme?
Jawaban Prof Dahana:
Reformasi Tiongkok sebenarnya hanya untuk mengekalkan kekuasaan partai komunis sebagai penguasa tunggal: “Menyogok” rakyat dengan ekonomi, sehingga rakyat melupakan politik. Komunisme sekarang sebenarnya sudah mati. Di RRT pun sebenarnya, komunisme hanya “nama” sebagai alat untuk berkuasa, karena dalam praktiknya tidak ada komunisme. Yang terjadi adalah ekonomi kapitalisme: gap antara rakyat kaya dan miskin, antara kota dan desa, antara kerja otak dan kerja fisik, dsb.
Komunisme sebenarnya sudah tidak relevan lagi dengan dunia sekarang ini. “It’s the economy!”
Penanya kedua (mahasiswa):
Apakah ada “Learn from Indonesia”? Karena anak muda biasanya melihat budaya luar lebih baik dari budaya sendiri.
Jawaban Prof Tjandra:
Orang Jepang hanya 2 kali belajar dari orang asing. Pertama, orang Jepang belajar dari orang-orang Tionghoa, abad ke-4, 5, 6. Pada waktu itu bangsa Tionghoa memiliki kebudayaan yang jauh lebih tinggi daripada orang Jepang. Belajar bagaimana mengelola negara, masyarakat, dari negeri Tiongkok. Bangsa Tionghoa memiliki kompetensi yang dianggap lebih tinggi.
Kedua, pada Restorasi Meiji (abad 19), orang Jepang belajar dari orang-orang Barat, termasuk Amerika, yang berkulit putih, mata biru (yang kita sebut ‘bule’). Pada waktu itu, Jepang menganggap mereka memiliki kompetensi dan kebudayaan lebih tinggi, untuk mencari kekayaan dan kekuatan. Westernisasi yang dijalankan oleh Pemerintah Jepang sukses. Jepang menjadi negara yang modern, maju, dan kuat, meskipun geografisnya kecil.
Kesimpulan: Bangsa Jepang hanya mau belajar dari orang asing kalau orang asing itu lebih pintar dan lebih kuat darinya. “Learn from Indonesia” oleh orang Jepang baru bisa terjadi kalau Indonesia tumbuh menjadi bangsa besar, punya kekuatan ekonomi dan kekuatan militer yang disegani.
Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. (dosen Psychology Department) memberikan pertanyaan:
“Bagaimana Fakultas Humaniora bisa menjadi player dalam pembangunan bangsa?” Kalau Humaniora dipandang sebagai sebuah keluarga ilmu-ilmu, maka ilmu-ilmu di dalamnya harus saling mengenal. Ibarat sebuah keluarga, kakak harus saling mengenal dengan adiknya, ayah harus saling mengenal dengan anaknya. Juneman mengharapkan bahwa talk show Humaniora ini menjadi tradisi yang terus dilanjutkan, tetapi tidak lagi para pembicara berbicara dari bidang ilmunya sendiri-sendiri secara Multi-disiplin, melainkan Inter-disiplin. Yang dibayangkan misalnya Pak Jo dan Pak Tirta saling berhadap-hadapan, saling menyampaikan visinya, kemudian mencoba saling memahami dan saling menanggapi. Bakal tradisi ini bagus dan perlu dirawat, hanya saja perlu ada peningkatan supaya lebih optimal.
Moderator kemudian menyampaikan kata penutup. Acara ditutup dengan pertunjukan musik dari mahasiswa Psychology Department.
Comments :