Muhamad Nanang Suprayogi**

jual-rpp-kurikulum-2013-sma-lengkap

Semangat pemerintahan baru dalam bidang pendidikan telah ditunjukkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan. Kebijakan yang terbaru adalah menghentikan Kurikulum 2013.

Kebijakan ini diambil dengan alasan, di antaranya, Kurikulum 2013 belum cukup matang dan terkesan dipaksakan. Evaluasi tentang Kurikulum 2013 belum memadai dan dianggap membuat guru disibukkan dengan administrasi karena perubahan yang terburu-buru.

Solusi yang diterapkan adalah kembali menjalankan Kurikulum 2006. Menteri Anies menguraikan dalam Kurikulum 2006 itu juga ada pendekatan tematik integratif, ada ruang untuk kurikulum tingkat satuan pendidikan. Jadi, tujuan kembali ke Kurikulum 2006 untuk membuat anak-anak belajar dengan baik.

Beragam pro dan kontra segera bermunculan. Bahkan, menteri penggagas Kurikulum 2013, M. Nuh, turut memberikan komentar dengan menyayangkan keputusan tersebut. M. Nuh menilai, kebijakan itu sebagai langkah mundur karena secara substansi belum tentu lebih baik, lalu butuh waktu lagi untuk melatih guru (dengan KTSP) dan bahkan orang tua harus membeli buku KTSP.

Dalam tulisan ini, penulis tidak perlu lagi menambahkan komentar, baik pro maupun kontra, terhadap pencabutan Kurikulum 2013. Penulis lebih tertarik untuk melihat dari sisi yang lain, yaitu ternyata konsentrasi pendidikan kita saat ini masih berkutat pada kurikulum.

Kurikulum memang penting, tapi aspek pendidikan selain kurikulum juga penting dan harus dipikirkan. Perhatian pada prestasi belajar siswa, sarana prasarana pendidikan, kompetensi guru, pemerataan guru, keterlibatan orang tua dan masyarakat, dan juga faktor dari murid itu sendiri jangan sampai terkaburkan—bahkan tersisihkan—oleh isu Kurikulum 2013.

Membaca hasil penelitian internasional tentang kualitas pendidikan di Indonesia tentu membuat kita miris. Mayoritas hasil penelitian tersebut menempatkan Indonesia pada posisi yang menyedihkan. Penelitian Program for International Student Assessment (PISA) yang terbaru tentang kemampuan siswa pada matematika, membaca, dan sains menempatkan Indonesia pada posisi 64 dari 65 negara. Penelitian The Learning Curve (2014) tentang skill kognitif dan pencapaian akademis menempatkan Indonesia pada posisi paling buncit, yaitu posisi 40 dari 40 negara. Kemudian, hasil penelitian dari United Nations Development Program (UNDP) tentang Human Development Index yang terbaru (2014) menempatkan Indonesia berada pada posisi ke-108 dari 187 negara.

Hasil penelitian international tersebut menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia belum mampu bersaing dengan negara-negara lain, bahkan dibandingkan dengan negera-negara ASEAN sekalipun.

Untuk itu, bangsa Indonesia harus melakukan langkah-langkah yang solutif integratif untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Janganlah isu pergantian kurikulum ini menguras energi secara berlebihan. Bahasa sederhananya, ayo segera move on dari isu pergantian Kurikulum 2013.

Berbicara tentang peningkatan kualitas pendidikan, laporan dari Education International Analysis (EIA) “Education For All by 2015” (2008) mengungkapkan, paling tidak ada tiga tantangan utama dalam kaitannya dengan kualitas pendidikan. Pertama, hasil belajar harus dipantau. Kedua, peningkatan lingkungan belajar. Ketiga, memberi perhatian yang lebih baik pada guru, dan yang ketiga inilah yang utama.

Dengan menggunakan analisis EIA, kurikulum yang digunakan—baik Kurikulum 2006 maupun Kurikulum 2013—harus memperhatikan tiga parameter tersebut. Pertama, pemantauan hasil belajar siswa jangan hanya dilakukan pada akhir masa sekolah atau hanya dilihat dari hasil ujian. Namun, hendaknya dilihat juga dari proses saat pembelajaran berlangsung. Pemantauan juga dilakukan agar tidak terjadi kesenjangan hasil belajar antara murid di perkotaan dan perdesaan, antara murid yang berlatar belakang sosial ekonomi rendah dan yang tinggi. Pemantauan itu harus diikuti dengan usaha untuk meningkatkan keterlibatan dan keaktifan siswa dalam belajar, juga penggunaan metode mengajar yang menarik.

Kedua, peningkatan lingkungan belajar. Akses ke sumber belajar perlu ditingkatkan. Buku-buku teks dan buku penunjang serta media pembelajaran semestinya dimiliki dan mudah diakses oleh guru dan murid. Kenyamanan ruang kelas dan sekolah juga harus diperhatikan. Ruang sekolah yang bocor, ventilasi udara yang tidak baik, kebisingan dan pengap harus diperbaiki. Kemudian pada era modern ini, akses ke teknologi, seperti penggunaan IT dalam dunia pendidikan juga perlu ditingkatkan.

Ketiga, guru adalah ujung tombak dari keberhasilan pendidikan. Untuk itu, masalah yang terkait dengan guru harus segera diatasi. Problem pemerataan guru harus segera dilakukan. Saat ini, masih terjadi kekurangan guru di sekolah-sekolah terpecil, sementara di perkotaan kelebihan guru sehingga malah kekurangan jam mengajar. Pengetahuan dan keterampilan guru juga perlu ditingkatkan melalui pelatihan secara berkala.

Sebelum menggulirkan kebijakan pergantian kurikulum, Menteri Anies telah mengusung kebijakan mem-VIP-kan guru. Menurut hemat penulis, kebijakan perhatian pada guru ini justru lebih seksi dan menemukan momentumnya. Mari move on dari isu kurikulum.

 

* Tulisan ini dimuat dalam kolom Opini, Harian Republika, 12 Desember 2014.

** Penulis adalah Faculty Member Jurusan Psikologi BINUS yang saat ini mengikuti program PhD di Department of Educational Studies Gent Universty Belgia.

sumber gambar: http://www.kuambil.com/wp-content/uploads/2014/11/jual-rpp-kurikulum-2013-sma-lengkap.jpg