Dra. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M.Hum**

Terus terang saya kurang menguasai disiplin ilmu Psikologi, namun saya tertarik dengan tema yang sedang kita bahas kali ini yaitu soal Psikologi Ulayat. Saya merasa tertarik karena term ini mengaitkan Psikologi dengan kebudayaan dan sosiologi. Artinya Psikologi tidak semata-mata dipahami sebagai disiplin ilmu yang mempelajari manusia dari sisi psikologisnya semata, tetapi mengkaitkannya dengan kebudayaan.

Dalam pengetahuan Psikologi saya yang sangat terbatas ini, saya akan menjadikan pemikiran Irmawati untuk memahami definisi Psikologi Ulayat. Dijelaskan oleh Irmawati, Psikologi Ulayat adalah Pendekatan Psikologi Berbasis Budaya (Irmawati, 2008). Di sini terlihat bahwa Psikologi Ulayat merupakan disiplin ilmu yang mengkaitkan antara Psikologi dengan kebudayaan.

Adanya keragaman budaya dan munculnya berbagai konflik kebudayaan yang terjadi di masyarakat, menjadi isu penting yang mendorong munculnya pemikiran Psikologi Ulayat. Sebagaimana dinyatakan oleh Matsumoto (2004) mempelajari budaya merupakan sesuatu alat baru bagi disiplin ilmu Psikologi saat ini. Hal ini dimaksudkan untuk membantu pengembangan masyarakat dalam kemampuan berpikir kritis, mempersiapkan kehidupan mereka, dan penciptaan lingkungan sosial yang lebih

Melalui cara pandang ini, kebudayaan tidak-semata dipahami sebagai produk kreatif manusia, tetapi memiliki keterkaitan dengan aspek psikologis, Triandis (dalam Warnaen,2002) menjunjukan gagasan yang disebutnya kultur subyektif, yang berarti cara khas suatu golongan kebudayaan dalam memandang lingkungan sosialnya. Kultur subyektif adalah cara memandang, atau dalam istilah teknisnya mempersepsi lingkungannya yang merupakan hasil ciptaan manusia. Persepsi tentang nilai, aturan, dan norma kelompok serta peran adalah aspek-aspek kultur subyektif.

Berangkat dari pemahaman Psikologi Ulayat sebagimana saya kutip di atas, saya memandang bahwa Psikologi Ulayat tidak saja menarik, tetapi penting untuk menjawab berbagai persoalan yang terkait dengan konflik sosial yang akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan upaya melakukan advokasi dan keberpihakan terhadap perempuan Indonesia pada tataran praktis akar rumput, peran Psikologi Ulayat menjadi sangat vital dan strategis. Ada dua alasan utama yang mendasari hal ini; pertama, marginalisasi perempuan di kalangan masyarakat Indonesia, terjadi karena konstruksi sosial budaya. Dengan demikian, upaya rekonstruksi kebudyaaan yang bisa mereposisi peran perempuan menjadi sesuatu yang penting. Hal ini bisa terwujud, kalau ada pendekatan yang tepat kepada masyarakat, agar bisa memahami dan menerima proses rekonstruksi kebudayaan tersebut. Pendekatan yang tepat hanya bisa dilakukan kalau ada pemahaman dan penguasaan Psikologi Ulayat yang memadai para aktifis pembela perempuan.

Kedua, berdasarkan pengalaman kami melakukan advokasi dan pemihakan terhadap kaum perempuan di akar rumput, kendala utama proses advokasi adalah terjadinya mispersepsi dan miskomunikasi antara para aktivis yang melakukan advokasi dengan para perempuan yang diadvokasi, dan masyarakat yang menjadi target. Menurut kami, hal ini terjadi karena minimnya perngakat analisis dan istrumen praktis yang dimiliki oleh para aktivis. Dalam konsisi seperti inilah dibutuhkan Psikologi Ulayat sebagai perangkat dan alat bantu analisis yang bisa menjebatani terjadinya kesenjangan komunikasi.

Selain itu, melalui Psikologi Ulayat, akan dapat mendeteksi berbagai akar kultural yang memiliki kesesuaian dengan kondisi psikologis masyarakat. Dengan cara ini, proses pembentukan pemahaman dan penyadaran menjadi lebih mudah dilakukan, karena ada kedekatan emosional antara pola pendekatan dengan kultur masyarakat yang menjadi target advokasi. Dalam hal ini Berry  (1999) menyatakan bahwa Psikologi Sosial yang seyogyanya kita ciptakan, harus memiliki suatu keaslian dalam realitas kita sendiri. Setiap fenomena arus dipandang menurut konteks, dipapar, dan ditafsirkan secara relatif berdasarkan situasi budaya dan ekologi, tempat fenomena berlangsung. Apa yang disampaikan Berry ini, memperkuat argumen tentang pentingnya Psikologi Ulayat dalam menjawab berbagai konflik kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah soal keberpihakan terdahap kaum perempuan yang dimarginalkan akibat konstruksi kebudayaan yang ada.

Atas dasar ini maka sekali lagi saya tekankan bahwa Psikologi merupakan istrumen yang penting bagi upaya melakukan advokasi dan pemihakan kaum perempuan, terutama yang berada di tataran akar rumput yang sering mengalami mispersepsi akibat kesenjangan komunikasi yang dilakukan oleh para aktivis perempuan yang melakukan advokasi. Untuk itu melalui forum ini saya sangat merekomendasikan agar para aktivis perempuan membekali diri dengan dasar-dasar ilmu psikologi ulayat, mengingat penting dan strategisnya penguasaan ilmu ini untuk melakukan pemihakan dan pembelaan kaum perempuan, khususnya yang berada di akar rumput yang sangat lekat dengan himpitan tradisi dan kultur.****

DAFTAR PUSTAKA

Berry, J. W. Poortinga, Y.H., Segall, M.H. & Dasen, P. R. (1999). Psikologi lintas budaya riset & aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Irmawati, Pemberdayaan kearifan lokal melalui pendekatan psikologi ulayat untuk pembangunan bangsa, Pidato  Pengukuhan Jabatan Guru Besar Kampus USU, 20 September 2008

Matsumoto, David. & Juang, Linda. (2004). Culture and psychology, 3rd edition. Wordsworth: Thompson Learning Inc.

Warnaen, S. (2002). Stereotip etnis dalam masyarakat multietnis, (cetakan pertama). Yogyakarta: Mata Bangsa.

 

* Makalah ini disampaikan pada Seminar “Peran Psikologi Ulayat Dalam Kiprah Keberpihakan Pada Perempuan di Tataran Praksis – Akar Rumput”, Jurusan Psikologi, Fakultas Humaniora – Universitas Bina Nusantara, 11 Desember 2012

** Penulis adalah mantan Ibu Negara Republik Indonesia