Kalau baca judulnya kesannya kok seram sekali, mau membahas unsur-unsur supranatural kah? Tentu tidak, kalau begitu saya salah kamar. Saya kali ini akan menceritakan pengalaman saya mengikuti “Bimbingan Teknis Tutor Pendidikan Khusus” yang diselenggarakan oleh Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Lalu apa hubungannya dengan judul di atas? Di acara tersebut, tidak hanya dihadiri oleh para akademisi  atau perwakilan penyelenggara pendidikan tinggi, tetapi juga ada para penyandang disabilitas yang sukses mendobrak keterbatasannya. Salah satunya adalah seorang Ibu bernama Rachmita Maun Harahap, yang akrab disapa Mitha. Ibu Mitha adalah penyandang  tunarungu sejak lahir. Keterbatasan ini tidak membatasi ia untuk belajar dan berkontribusi. Ia sekarang adalah mahasiswi program doktoral Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institusi Teknologi Bandung dan menjadi dosen tetap Fakultas Desain dan Seni Kreatif, Universitas Mercubuana. Selama acara berlangsung, ada dua orang volunteer yang bergantian menyampaikan bahasa isyarat kepada Ibu Mitha sehingga Ibu Mitha dapat mengikuti jalannya acara. Ibu Mitha terlihat sesekali memberikan respon kepada volunteer tersebut. Ia berusaha “mendengarkan” yang tidak terdengar olehnya dan hal inilah yang membuat saya kagum pada Ibu Mitha.

20161102_083755_Richtone(HDR)

Ada beberapa hal positif yang saya petik dari pengalaman Ibu Mitha dan apa yang beliau lakukan selama hidupnya. Pertama, Ibu Mitha sangat supel. Ini terlihat ketika ia mencoba membangun percakapan dengan orang-orang di sekitarnya. Meskipun suaranya/penglafalan tidak terlalu jelas, Ia berusaha sekuat mungkin agar dapat dimengerti. Ini terbukti pada waktu ia mempresentasikan success story, ia sesekali menggunakan bahasa isyarat dan meminta volunteer menjelaskan kepada para peserta. Kedua, keterbatasan yang dialami tidak menghalangi Ibu Mitha untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya. Selain aktif sebagai arsitek dan dosen, Ibu Mitha juga mengurus yayasan Sehjira (Sehat Jiwa Raga) yang didirikannya. Yayasan tersebut didirikannya bersama para relawan lainnya yang juga mengalami hambatan pendengaran. Cakupan kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Sehjira adalah berupa pelatihan dan kursus sehingga para penyandang tunarungu dapat meningkatkan kualitas mereka sebagai SDM.

Di luar sana tentu masih banyak “Ibu Mitha” yang lain, yang berusaha mendengar yang tidak terdengar oleh mereka, yang tidak fokus pada hambatan yang dialami melainkan memaksimalkan potensi lain yang dimiliki. Because, disability does not mean inability.

 

Tentang Penulis

Febriani Priskila, seorang ilmuwan psikologi khususnya psikologi pendidikan. Berpengalaman sebagai akademisi baik pada pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi.  Tertarik mempelajari dan pernah  meneliti topik-topik terkait pendidikan anak berkebutuhan khusus dan academic engagement.