http://annida-online.com/foto_berita/84begini-cara-melihat-karakter-orang-yang-sebenarnya-bisa-untuk-tes-calon-pasangan-hidup.jpg

Setelah dilantik kurang lebih dua pekan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengutarakan gagasannya mengenai sistem full day school untuk pendidikan dasar, yaitu SD dan SMP. Mengutip sejumlah surat kabar, sistem tersebut bertujuan agar anak-anak tidak sendiri ketika orang tua mereka masih bekerja, sehingga secara perlahan dapat terbangun karakter pada anak tersebut dan tidak menjadi liar (baca: Kompas).

Membaca gagasan tersebut, menimbulkan pertanyaan kembali mengenai arah pendidikan dasar di Indonesia. Bahkan kemudian terlintas satu pertanyaan: “Ada apa dengan lingkungan masyarakat Indonesia sehingga seorang anak harus tetap di sekolah atau rumahnya sepanjang waktu?” Bukan saya buta dan tidak peduli dengan berbagai kasus kriminalitas yang melanda anak-anak di Indonesia, seperti penculikan maupun tawuran antarpelajar. Namun, sekali lagi, apa yang hendak dibentuk, baik pada si anak maupun masyarakat Indonesia?

Sebuah kebijakan publik secara cepat dapat dikatakan sebagai suatu hal yang disusun untuk mengarahkan masyarakat ke sebuah kondisi tertentu. Dalam hal ini, jika nantinya menjadi kebijakan yang sah melalui Peraturan Menteri, sistem full day school tentunya digelontorkan untuk membentuk anak Indonesia yang berkarakter (dan tidak liar), sesuai alasan Mendikbud. Dari sini bisa kita lihat bahwa yang menjadi perhatian utama dari Mendikbud adalah pembentukan karakter. Dengan kalimat lain, Mendikbud melihat sebuah permasalahan, yaitu: penting untuk membangun karakter pada setiap individu, yang harus dimulai sejak tingkat SD dan SMP, namun sayangnya sistem pendidikan yang ada tidak (atau kurang) mendukung pembentukan karakter individu.

Jika ingin berpikir sistematis, makanya ada baiknya kita duduk sejenak untuk memikirkan beberapa hal, dua hal saja:

  1. karakter apa yang hendak dibangun sejak dini pada setiap individu Indonesia?
  2. hal apa saja yang berkaitan dengan masing-masing karakter yang hendak dibangun?

Lantas dari kedua hal tadi, apakah terlintas bahwa berinteraksi hanya dengan teman sekolah, teman sekantor, teman sepermainan, teman se-tongkrongan, teman satu alamamater, teman satu angkatan, akan membantu membentuk karakter yang dituju? Masyarakat Indonesia seperti apa yang nantinya hendak dibentuk?

Saya hanya khawatir membayangkan kebijakan ini diresmikan, lalu pemerintah hanya berhenti sampai membuat kebijakan saja tanpa merumuskan karakter apa yang hendak dibangun dan kegiatan apa yang penting dilakukan untuk membentuk karakter tersebut. Menyerahkan kepada kebebasan masing-masing sekolah untuk menginterpretasikan sendiri karakter apa yang hendak dibangun justru akan menjadi kontraproduktif bagi masyarakat.

Memelajari beberapa konsep full day school yang telah dijalankan oleh beberapa sekolah swasta, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa anak-anak benar-benar akan berada di area sekolah. Kebanyakan dari pukul 06.45 hingga pukul 15.00. Gagasan Mendikbud bahkan akan sampai jam pulang orang tua (jam 17.00.. semoga orang tuanya tidak dinas luar kota). Setiap anak akan berada di area sekolah dengan berbagai program sekolah, bukan hanya yang terkait dengan prestasi akademis namun juga ekstrakurikuler yang disediakan sesuai dengan peminatan anak.

Satu hal yang mengkhawatirkan dari sistem full day school adalah bahwa secara sistematis, sistem pendidikan kita membuat anak dapat terpisah dari lingkungan masyarakat sekitarnya. Ingat, tidak semua anak satu sekolah dengan tetangganya. Anak pun terpisah dari realitas sosial yang kemungkinan besar terjadi ketika dia berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitarnya.

Mendikbud mungkin lupa bahwa pendidikan bukan hanya peran sekolah. Pendidikan harusnya merupakan kerja sama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat sekitar. Dari gagasannya ini, bertambah dua pertanyaan untuk Mendikbud: “Apa menurutnya peran orang tua dalam pendidikan?” dan “Apa menurutnya peran masyarakat dalam pendidikan anak?”.

Pembangunan karakter sejak pendidikan dasar, seperti yang digaungkan di dalam Nawa Cita, seyogyanya tidak dipandang hanya sebagai tugas seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, ada baiknya juga bahwa Mendikbud tidak berpikir bahwa hal itu hanyalah tugas miliknya semata, bukan miliki menteri yang lain.

http://www.pendidikankarakter.com/wp-content/uploads/post-3.jpgStop membuat kebijakan pragmatis. Kebijakan KOSONG, hanya sekadar memenuhi resume menteri.

Membangun karakter memerlukan waktu 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Beri tahu kami, para rakyat ini, karakter apa yang hendak dibangun pada anak-anak kita, dan kegiatan apa saja yang bisa kami dan kita lakukan untuk bersama memfasilitasi dan menjaga pertumbuhan serta perkembangan karakter tersebut!

Ya, saya pesimis dengan sistem full day school.. sepesimis bahwa frase “full day school” lebih mengikut kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar dibanding “sekolah seharian penuh”.

 

-rgodwin-