PENGARUH KONTROL SOSIAL TERHADAP PERILAKU BULLYING PELAJAR DI SEKOLAH TEKNIK MENENGAH (STM) “X” DI JAKARTA TIMUR

Proposal Penelitian

 

 

 

 

Oleh :

Yaumil Navira Andini Putri

 

 

 

 

 

Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara

Jakarta

2015

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

 

 

1.1         Latar Belakang Permasalahan

yaumil

Pendidikan merupakan salah satu unsur kebutuhan manusia yang memiliki manfaat untuk meningkatkan taraf hidup manusia, serta sangat berperan dalam membentuk perilaku manusia menurut ukuran normatif (baik atau buruk). Dengan terciptanya pendidikan yang baik maka diharapkan akan muncul generasi penerus bangsa berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemenuhan hak atas pendidikan juga menjadi salah satu indikator apakah suatu negara dapat dikategorikan sebagai negara maju, berkembang atau bahkan negara miskin. Sekaya apapun sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu negara tanpa didukung dari sumber daya manusianya yang berpendidikan tinggi, maka negara tersebut tidak akan bisa mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam tersebut dengan sebaik-baiknya.

Sebagai sebuah hak yang hakiki maka pengaturan mengenai hak atas pendidikan diatur dalam Alinea Keempat Pembukaan dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Ke-4. Berdasarkan hal tersebut maka ditegaskan bahwa, salah satu tujuan dari pembentukkan negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan kehidupan berbangsa dan bernegara baru dapat tercapai melalui pemberian suatu pendidikan yang terintegrasi dan disesuaikan dengan kebutuhan setiap warga negara. Pengaturan hak atas pendidikan telah diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (1) dimana disebutkan bahwa, “Setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan”. Pasal tersebut bermakna bahwa negara berkewajiban memenuhi hak atas pendidikan bagi setiap warga negaranya, tanpa terkecuali atau membedakan suku, ras, agama, atau bahkan keadaan sosial dan ekonominya. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa setiap anak di Indonesia  memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dan berhak mengembangkan diri sebebas-bebasnya.

Namun dalam kenyataannya pemenuhan hak atas pendidikan justru menjadi sulit diperoleh atau cenderung tidak terlaksana dengan baik, karena sejumlah faktor. Salah satunya masih terjadinya praktek penindasan (bullying), yang sering terjadi di sekolah, baik pada tingkatan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebagai sebuah institusi pendidikan maka sekolah seharusnya menjadi tempat teraman dan nyaman bagi anak didik untuk bisa mengembangkan dirinya, serta menjadikan pelajar yang mandiri, berilmu, berprestasi dan berakhlak mulia. Namun yang terjadi justru sebaliknya dimana sekolah kini hanya dijadikan tempat bagi anak-anak nakal untuk melampiaskan hobinya menggunakan kekerasan, menindas antar sesama, hingga menimbulkan ketakutan bagi pelajar lainnya yang justru ingin mengemban ilmu.

Bahkan hasil kajian Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter menunjukkan dimana hampir setiap sekolah di Indonesia terdapat adanya kejadian bullying. Terkait dengan hal ini maka Ketua Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter, Susanto, mengatakan bahwa:

Melihat kompleksnya kasus-kasus bullying yang ada, maka Indonesia sudah masuk kategori darurat bullying di sekolah. Hampir di setiap sekolah terjadi bullying verbal dan psikologis atau mental. Bullying verbal seperti membentak, meneriaki, memaki, menghina, mencela, hingga mengejek. Sedangkan bullying psikologis atau mental, seperti memandang sinis, memelototi, mencibir, mendiamkan. Jika pemerintah tidak serius menangani dan mencegah bullying di sekolah, bangsa Indonesia akan kehilangan generasi unggul. Bagaimana tidak, anak terlihat sekolah tetapi mereka tidak nyaman dan bertumbuh dengan baik. Ini terjadi karena siswa sekolah terdampak budaya bullying yang masif (www.republika.co.id, “Gawat Indonesia Masuk Kategori Darurat “Bullying” Di Sekolah”, Jakarta: 23 Oktober 2014).

 

Bahkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, mengancam akan  memecat guru yang membiarkan perisakan (bullying) terjadi di sekolahnya. Dalam pernyataannya di media massa Ahok mengatakan bahwa:

Selain orang tua maka guru merupakan orang yang paling mengetahui adanya keanehan yang terjadi pada siswa. Oleh karena itulah guru harus mengenali kepribadian setiap siswanya, dan segera berkomunikasi dengan orang tua jika mendapati keanehan pada siswanya. Dengan begitu maka semua bentuk bullying terhadap siswa di sekolah dapat dihindari sejak awal. Bagi siswa pelaku penindasan maka manajemen sekolah wajib untuk mengeluarkan siswa tersebut. Bangku yang kosong dapat dialihkan ke anak lain, menyusul banyaknya remaja berusia 16-18 tahun di Ibu Kota DKI Jakarta yang putus sekolah (www.tempo.co.id, “Ahok Pecat Guru yang Biarkan Perisakan (Bullying) Di Sekolah”, Jakarta: 4 September 2014).

 

Bullying dikategorikan sebagai perilaku anti sosial atau misconduct behaviour dengan menyalahgunakan kekuatannya kepada korban yang lemah, secara individu ataupun kelompok, dan biasanya terjadi berulang kali (Adilla, 2009: 57). Bullying dapat dilakukan secara verbal, psikologis dan fisik (Kim, 2006: 4). Bentuk perilaku tersebut dikatakan sebagai salah satu delinkuensi (kenakalan anak), karena melanggar norma masyarakat dan dapat dikenai hukuman oleh lembaga hukum (Thornton, 1992: 15). Quiroz, et.al. (2006: 23) mengatakan bahwa perilaku bullying disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti keluarga (broken home atau pola didik yang keras dan berlebihan), lingkungan (bermain dan sekolah) hingga media massa.

Ironisnya praktek bullying yang terjadi di sekolah ternyata tidak hanya dilakukan oleh oknum siswa sebagai pelakunya, namun tindakan tersebut juga melibatkan guru yang tidak mengambil tindakan tegas saat anak didiknya menjadi korban bullying, atau sengaja melakukan perilaku tersebut sehingga menimbulkan gangguan psikologis pada siswanya. Pernyataan tersebut didasarkan atas hasil penelitian yang dilakukan Warouw (2007: 21), dimana diberikan hasil bahwa salah satu bentuk bullying yang dilakukan oknum guru kepada muridnya adalah secara verbal, yaitu dengan menyebut kata-kata kotor atau tidak pantas seperti “monyet kecil” atau “monyet betina”. Sebagai remaja putri yang dalam tahap perkembangan psikologis tentunya sangat mengutamakan penampilannya, maka penyebutan kata-kata binatang tersebut tentunya akan melukai harga diri dan derajatnya dihadapan teman-temannya. Mengingat yang melakukannya adalah gurunya sendiri maka siswi tidak berani melawan atau membantah dan sengaja memendamnya, hingga akhirnya membentuk sikap yang minder, malu, merasa diasingkan, dan lain sebagainya. Adanya kondisi tersebut dapat mempengaruhi aktivitasnya dalam menimba ilmu di sekolahnya.

Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa kontrol sosial di sekolah mempunyai peran penting, dalam mengikat perilaku anak (pelajar). Hal ini bertujuan agar anak tersebut tidak melakukan delinkuensi, atau perilaku yang menyimpang. Iklim sekolah sangat turut mendukung agar kontrol sosial dapat berjalan dengan baik, dan terhindar dari praktek bullying (Adilla, 2009: 57). Sebaliknya jika kontrol sosial tidak bisa diterapkan dengan baik, maka praktek bullying akan mudah terjadi sehingga merugikan psikologis bagi anak yang menjadi korban. Penelitian dari Cunningham pada tahun 2007 (Adilla, 2009: 57) menyebutkan bahwa bullying di sekolah merupakan masalah perilaku seorang pelajar yang dipengaruhi oleh kontrol sosial pelajar dengan lingkungan di sekolahnya, seperti interaksi dengan guru, teman-teman sebayanya, ketaatan pada peraturan dan norma-norma, metode pendisiplinan, dan ikli, yang ada pada sekolah tersebut.

Tragisnya anak-anak (pelajar) yang menjadi korban bullying, nantinya akan masih merasakan dampak kesehatan psikis dan mental lebih dari 40 tahun. Pernyataan ini didasarkan atas hasil penelitian Kings’s College London, dimana disebutkan bahwa anak-anak yang mengalami  gangguan atau bullying ketika masa anak-anak memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami depresi dan kecemasan, dan kemungkinan memiliki kualitas hidup yang lebih rendah pada usia 50 tahun. Selain itu efek membahayakan dari bullying akan bertahan ketika faktor lain termasuk masalah IQ di masa anak-anak, emosional dan tingkah laku serta status ekonomi orangtua dimasukan dalam hitungan. Atas dasar inilah maka bullying merupakan peristiwa traumatik dan menyakitkan bagi anak-anak usia dini yang mengalaminya dan dampak jangka panjangnya dapat bertahan sampai beberapa tahun setelahnya (http: www.bbc.co.uk, “Dampak Bullying Pada Anak Sulit Hilang”, Jakarta: 18 April 2014). Atas kasus itulah maka penulis tertarik membuat penulisan skripsi, mengenai pengaruh kontrol sosial terhadap perilaku bullying yang dilakukan pelajar di Sekolah Teknik Menengah (STM) X di Jakarta Timur.

 

1.2      Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

“Bagaimana pengaruh kontrol sosial terhadap perilaku bullying pelajar di STM X Jakarta Timur?

 

1.3      Tujuan Penelitian

Dari perumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kontrol sosial terhadap perilaku bullying pelajar di STM X Jakarta Timur.

 

1.4      Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) hal, yaitu:

  1. Manfaat Akademis
    1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan dan akademis khususnya dalam terapan ilmu Psikologi, terkait pengaruh kontrol sosial terhadap perilaku bullying pelajar.
    2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melihat gambaran seberapa jauh konsep-konsep dan teori-teori yang dirumuskan secara akademis, dapat diaplikasikan untuk membahas pengaruh kontrol sosial terhadap perilaku bullying pelajar.
    3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan kerangka dasar bagi penelitian lanjutan mengenai, pengaruh kontrol sosial terhadap perilaku bullying pelajar.
  2. Manfaat Praktis
    1. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah dan guru, untuk melindungi siswanya dari praktek bullying yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi psikologisnya.
    2. Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat besar bagi para pelajar agar tidak pasrah atau membiarkan praktek bullying dialami oleh dirinya, dan berani melaporkannya kepada guru maupun orang tua di rumah.
    3. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi orang tua murid untuk selalu melindungi anaknya saat berada di sekolah dari perilaku bullying, dan memberikan perhatian yang besar untuk perkembangan psikologisnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1    Bullying

2.1.1. Perilaku Bullying

Ketertarikan masyarakat sosial mengenai perilaku bullying pertama kali dipelopori oleh masyarakat Swedia pada akhir tahun 1960, kemudian, isu ini menyebar ke bangsa Skandinavia lainnya (Olweus, 2003). Bangsa Skandianavia menggunakan kata “mobbing” atau “mobbning” untuk menggambarkan perilaku yang terkait masalah bully (Olweus, 2003). Kata tersebut sendiri mempunyai banyak arti, namun dalam bahasa Inggris sendiri, “mob” diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang dikaitkan dengan kekerasan (Heinemann, dalam Olweus 2003). Olweus (2003) sendiri menggunakan kata “pelaku/korban” dan “whipping boy” dalam penelitiannya mengenai perilaku bully. Sekarang, kata yang biasa digunakan untuk menggambarkan perilaku bullying adalah “peer abuse” atau “peer harassment” karena adanya kekerasan dalam perilaku yang ditimbulkan. Sekarang, masyarakat lebih sering menggunakan kata “bullying” (Harris & Petrie, 2003)

Menurut Harris dan Petrie (2003) tidak ada yang bisa mendefinisikan secara pasti apa itu perilaku bullying. Biasanya perilaku bullying terkait dengan perilaku ekstrim yang berkaitan dengan kekerasan, namun tidak ada definisi yang spesifik mengenai bentuk perilaku ekstrim yang dimaksud. Olweus (2003) mendefinisikan perilaku bullying sebagai perilaku negatif yang dilakukan oleh satu orang atau lebih secara berulang. Perilaku negatif yang dimaksud Olweus (2003) adalah perilaku yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain. Perilaku negatif ini dapat juga perilaku verbal seperti ancaman, godaan, pemanggilan nama, ataupun perilaku fisik seperti menendang, memukul, atau mendorong.

Definisi lain dari perilaku bullying adalah perilaku agressi dan manipulasi yang dilakukan secara sadar oleh satu orang atau lebih terhadap oranglain atau kelompok lain (Sullivan, 2000). Perilaku bullying mempunyai beberapa karakteristik, menurut Sullivan (2000), yaitu:

  1. Perilaku yang bersifat kekerasan.
  2. Adanya kesenjangan kekuatan.
  3. Terorganisir dan sistematis.
  4. Perilaku yang berulang, terjadi dalam jangka waktu yang lama, terkadang terjadi secara acak.
  5. Pengalaman sebagai korban bully dapat menyebabkan luka secara fisik, maupun secara psikologis.

 

Perilaku bullying bisa bermacam-macam bentuknya. Sullivan (2000) membagi perilaku bullying ke dalam 2 (dua) bentuk, yaitu secara fisik, seperti menendang, mencakar, mendorong, menjambak, memukul, merusak barang oranglain, dan bentuk perilaku kekerasan fisik lainnya. Kedua perilaku bullying secara non-fisik yang dapat dibagi lagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu secara verbal, dan non-verbal. Perilaku bullying non fisik secara verbal dapat berupa mengucapkan kata-kata kasar, intimidasi, mengancam seseorang, menghina hal yang berkaitan dengan ras, pemanggilan nama secara tidak sopan, menyebarkan kabar tidak benar, dan perilaku lainnya. Sedangkan perilaku bullying non fisik secara non verbal dapat berupa bahasa tubuh yang kasar, muka yang tidak bersahabat, (perilaku secara langsung), merusak pertemanan, mengabaikan atau mengucilkan secara sengaja, mengirim surat tanpa nama yang berisi kata-kata yang jahat (perilaku secara tidak langsung).

Sedangkan menurut Sejiwa (2008), maka terdapat adanya beberapa jenis bullying, yaitu:

  1. Bullying Fisik

Jenis bullying yang terlihat oleh mata, siapapun dapat melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya. Contohnya antara lain memukul, menarik baju, menjewer, menjambak, menendang, menyenggol dengan bahu, menghukum dengan membersihkan WC, menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari lapangan, menghukum dengan cara push up.

  1. Bullying Verbal

Jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena bisa terungkap indra pendengaran kita. Contoh antara lain membentak, meledek, mencela, memaki – maki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan didepan umum, menyoraki, menebar gosip, memfitnah.

  1. Bullying Mental Atau Psikologis

Jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap oleh mata atau telinga kita apabila tidak cukup awas mendeteksinya. Praktik bullying ini terjadi diam-diam dan diluar jangkauan pemantauan kita. Contohnya mencibir, mengucilkan, memandang sinis, memelototi, memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan umum, mendiamkan, meneror lewat pesan pendek, telepon genggam atau email, memandang yang merendahkan.

 

 

 

2.1.2 Penyebab Terjadinya Bullying

Menurut Ariesto (2009, dalam Mudjijanti 2011) dan Kholilah (2012), penyebab terjadinya bullying antara lain :

  1. Keluarga

Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah, orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa “mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang”. Dari sini anak mengembangkan perilaku bullying.

  1. Sekolah

Pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah sering memberikan masukan negatif pada siswanya, misalnya berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah.

  1. Faktor Kelompok Sebaya

Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.

 

2.1.3 Korban Bullying

Suatu penelitian yang dikemukakan oleh Borg (1999) dan kawan-kawannya mengupas hal hal mengenai korban bullying (Harris & Petrie, 2003), antara lain:

  1. Korban bullying cenderung rajin dalam hal akademis daripada pelaku.
  2. Korban bullying menganggap alasan ia mendapat perilaku bully adalah karena nilai akademis yang bagus.
  3. Korban bullying lebih mudah cemas daripada teman-teman sebayanya.
  4. Pengurangan jumlah korban bullying seiring kenaikan tingkat kelas.
  5. Anak laki-laki cenderung mendapatkan perlakuan bullying secara langsung daripada korban perempuan.
  6. Anak perempuan yang menjadi korban umumnya dipandang sebagai anak yang kurang atraktif.
  7. Korban bullying, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hubungan yang kurang erat dengan teman-teman sekelasnya.

 

Ada 3 tipe korban bullying (Stephenson & Smith, dalam Sulivan 2000 ; Olweus, dalam Sullivan 2000), yaitu :

  1. Korban bullying yang pasif

Ciri-cirinya adalah merasa cemas, rendahnya self-esteem dan kepercayaan diri, lemah secara fisik, dan tidak populer di antara teman-temannya. Korban yang pasif ini biasanya tidak berbuat apa-apa untuk membela dirinya.

  1. Korban yang provokatif

Ciri-cirinya adalah secara fisik lebih kuat dibandingkan dengan korban bullying yang pasif, selain itu mereka juga lebih aktif dibandingkan dengan korban bullying yang pasif, sulit untuk berkonsentrasi, menyebabkan ketegangan, kekesalan dan memprovokasi teman temannya untuk membelanya.

  1. Korban sekaligus pelaku bullying

Ciri-cirinya adalah mereka memprovokasi dan menghasut perilaku agresivitas pada orang lain.

 

Olweus (2003) mendeskripsikan beberapa karakteristik individu yang berpotensi menjadi korban perilaku bullying :

  1. Berpotensi menjadi korban:
  • Mungkin mempunyai fisik yang lebih lemah daripada teman-teman sebayanya.
  • Mudah curiga, cemas, sensitif, pendiam, pasif, pemalu dan mudah menangis.
  • Mempunyai self esteem yang rendah, secara tidak langsung mereka memberikan “tanda” bahwa mereka tidak berguna, menjadikan mereka target perilaku bullying.
  • Kesulitan untuk mendekatkan diri dengan teman-temannya.
  • Lebih mudah berhubungan dengan orang yang lebih tua, seperti orangtua di rumah ataupun guru daripada dengan teman-temannya.
  1. Berpotensi menjadi korban bullying yang profokatif.
  • Mempunyai temperamen yang tinggi, dan lebih mudah untuk melawan balik jika mendapat perlakuan bullying.
  • Hiperaktif, sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai perilaku yang menjengkelkan.
  • Tidak disukai orangtua termasuk guru.
  • Mencoba untuk membullying anak yang lebih

 

2.2    Kontrol Sosial

Travis Hirschi (1969) mengembangan Teori Kontrol Sosial untuk dapat menjelaskan, mengapa seseorang dapat taat pada peraturan dan norma. Menurut Hirschi kontrol sosial berpotensi menentukan perilaku seseorang, agar sesuai dengan norma sosial di lingkungan tersebut (Adilla, 2009: 57). Hirschi menjelaskan bahwa social bonds meliputi 4 (empat) unsur, yatu attachment, involvement, commitment, dan belief. Attachment diartikan sebagai keterikatan seseorang pada orang lain (orang tua) atau lembaga (sekolah) dapat mencegah atau menghambat yang  bersangkutan untuk melakukan kejahatan. Involvement berarti bahwa frekuensi kegiatan seseorang akan memperkecil kecenderungan yang bersangkutan untuk terlibat dalam kejahatan. Commitment diartikan bahwa sebagai suatu investasi seseorang dalam masyarakat antara lain dalam bentuk pendidikan reputasi yang baik dan kemajuan dalam bidang wiraswasta. Belif merupakan unsur yang mewujudkan pengakuan seseorang akan norma-norma yang baik dan adil dalam masyarakat.

Dalam hubungannya dengan perilaku delinkuensi dan siklus bullying di sekolah, maka faktor metode pendisiplinan dan pengajaran yang dilakukan oleh pihak sekolah dapat mempengaruhi pola perilaku pelajar, disamping interaksinya dengan teman bermain. Pelajar yang mempunyai komitmen rendah terhadap sekolah, juga berpotensi gagal dalam bidang akademis dan rentan mempunyai perilaku menyimpang, bahkan bullying (Jenkins, 1995). Keterlibatan (involvement) pada kegiatan pendidikan dan yang bersifat konvensional (ekstrakulikuler, olah raga, organisasi, keagamaan, dan lain sebagainya), akan menempatkan seorang pelajar untuk tetap berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat.

 

2.3    Perilaku Agresi

Pandangan tentang perilaku agresif tidak berhubungan dengan insting, namun ditentukan oleh kejadian-kejadian eksternal, di mana kondisi tersebut akan menimbulkan dorongan yang kuat pada seseorang untuk memicu kemunculan perilaku agresif. Salah satu teori dari kelompok ini adalah teori frustrasi-agresi yang dipelopori oleh Dollard dkk (dalam Baron & Byrne, 2000). Teori ini menyatakan bahwa frustrasi menyebabkan berbagai kecenderungan, yang salah satunya adalah kecenderungan agresi, dan agresi timbul karena adanya frustrasi Apabila frustrasi meningkat, maka kecenderungan perilaku agresifpun akan meningkat. Kekuatan dorongan agresi yang disebabkan oleh frustrasi tergantung besarnya kepuasan yang diharapkan, dan tidak dapat diperoleh. Tepatnya jika orang tiba-tiba dihalangi untuk mencapai tujuannya, akan meningkatlah kecenderungannya untuk menyakiti orang lain, tergantung:

  1. Tingkat kepuasan yang diharapkan
  2. Seberapa jauh gagal memperoleh kepuasan
  3. Seberapa sering terhalang untuk mencapai tujuan (Berkowitz, 1995).

 

Sears, dkk (1995) mengemukakan bahwa frustrasi adalah suatu gangguan atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan, selanjutnya dikatakan bahwa salah satu prinsip dasar dalam psikologi adalah frustrasi cenderung membangkitkan perasaan agresi. Agresi selalu merupakan akibat dari frustasi dan frustasi selalu mengarah keberbagai bentuk agresi, berdasarkan teori ini dorongan untuk melakukan agresi meningkat bersamaan dengan meningkatnya frustrasi. Dalam pandangan yang direvisi, agresi bukan satu-satunya, tetapi merupakan salah satu respon terhadap frustrasi. Individu yang frustrasi mungkin akan menarik diri dari situasi itu atau menjadi depresi. Sejauh tindakan agresif mengurangi kekuatan dorongan yang mendasarinya, tindakan itu akan bersifat menguatkan diri: kemungkinan respon agresif akan timbul mengikuti frustrasi yang dialami sebelumnya akan meningkat (Barbara, 2005)