Idola, hampir semua orang memiliki idola dalam hidupnya, mulai dari politikus, tokoh nasional atau internasional, pahlawan, artis, sampai senior di sekolah atau anggota dalam keluarga.

Keinginan memiliki idola tidak memandang usia. Bukan hanya remaja yang bisa memiliki idola, tetapi juga orang dewasa. Memiliki idola berasal dari kekaguman yang dimiliki. Kekaguman ini akan berkembang pada perasaan simpati dan jatuh hati. Sebenarnya hal ini hampir sama dengan proses jatuh cinta. Hanya, tentu saja berbeda keterikatan emosi antara idola dengan pasangan. Sudah pasti juga awal mula ketertarikan untuk mengagumi berawal dari keterpaparan informasi tentang tokoh yang diidolakan. Bisa dari membaca biografi tokoh, mendengar cerita tentang tokoh, menonton tokoh di televisi atau film, mendengar suara tokoh, membaca tulisan tokoh, dan lain sebagainya. Awal kekaguman mendorong untuk mengetahui lebih jauh tentang si tokoh, hingga mengumpulkan foto, gutingan berita, tulisan-tulisan, atau karya-karya lain dari si tokoh. Upaya mengumpulkan segala hal terkait tokoh idola juga merupakan salah satu upaya menunjukkan kekaguman terhadap sang idola. Selain itu, bentuk kepedulian terhadap tokoh idola ditunjukkan dengan selalu mengikuti informasi tentang dirinya. Lebih dari itu, banyak juga yang menunjukkan kekaguman pada tokoh idola dengan menunjukkan perilaku terobsesi. Banyak fenomena seperti itu yang dapat dijumpai di keseharian kita.

Mengidolakan seorang tokoh hampir dilakukan oleh semua orang, hanya mengapa fenomena seperti ini terjadi ? Kebutuhan apa yang dimiliki oleh manusia, sehingga perlu memiliki idola ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari idol. Apabila ditinjau dari sudut pandang agama, pengalaman akan idol merupakan pengalaman yang palsu. Idol lebih menekankan pada pengalaman estetik, dimana ketika ditinjau dari kesejatiannya idol menawarkan ?Tuhan yang palsu? (Purcaru, 2013). Pada kenyataannya, idol banyak dikenakan pada manusia oleh manusia yang lain. Akhir-akhir ini bahkan banyak perlombaan atau kompetisi yang dibuat untuk menentukan seorang idol. Hal ini menunjukkan bahwa idol tersebut sengaja diciptakan. Ketika seorang idol baru muncul, maka ia akan menjadi pusat perhatian dan dikagumi oleh banyak orang. Rasa senang, kagum, dan takjub yang melebihi perasaan jatuh cinta akan muncul atas diri seorang idol. Akibatnya segala atribut yang melekat pada idol beserta perilakunya adalah hal yang wajib diikuti. Kondisi ini yang dapat menjelasakan konsep ?Tuhan yang palsu?. Tidak heran apabila selanjutnya akan berkembang menjadi suatu worship atau pemujaan.

Terdapat beberapa alasan yang mendasari seseorang memerlukan idola. Salah satunya adalah adanya kebutuhan meningkatkan self esteem. Terdapat dua sumber self esteem, yaitu dari diri sendiri dan dari pengakuan orang lain (Feist, Feist, & Robert, 2013). Ketika memiliki idola, individu akan mengintroyeksikan ke dalam dirinya nilai-nilai atau hal-hal yang melekat pada diri idola. Diasumsikan idola dengan segala perilaku dan atributnya bersifat positif. Ketika hal positif diintroyeksikan atau dimasukkan ke dalam dirinya, maka otomatis akan meningkat penilaian positif terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, muncullah perasaan bangga dan percaya diri, karena dirinya mencerminkan sang idola, yang notabene juga diidolakan banyak orang. Pengakuan dari orang lain juga dapat diperoleh ketika orang lain menunjukkan kekaguman atas perilaku mengidola yang ditunjukkannya. Terlebih lagi ketika pengakuan ini berasal dari sang idola sendiri. Pujian akan diberikan oleh orang lain, terkait seberapa besar usahanya untuk menunjukkan kekaguman pada sang idola.

Selain itu, kecenderungan memiliki idola karena didasarkan atas kebutuhan manusia untuk memiliki suatu kejelasan tentang dirinya. Hal ini bersumber dari adanya kebutuhan untuk memiliki identitas. Menurut Fromm (Feist, Feist, & Roberts, 2013), tanpa adanya identias, manusia tidak dapat mempertahankan kewarasan mereka, dan ancaman ini memotivasi manusia untuk melakukan apa pun untuk memperoleh rasa memiliki identitas. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memiliki idola. Dengan memiliki idola dan bahkan memujanya menunjukkan bahwa individu tersebut melekatkan dirinya para orang yang lebih berkuasa dari dirinya, yaitu idola. Melalui pelekatan diri ini, individu akan melakukan konformitas dan membentuk identitas dirinya. Jadi identitas diri ini terbentuk melalui mengidentifikasi sang idola.

Apabila Anda memiliki idola, sebaiknya ditinjau kembali bagaimana bentuk perilaku yang muncul dalam mengidolakan. Apakah hanya biasa saja atau kah sampai berlebihan, sehingga masuk ke area pemujaan ?. Bentuk perilaku mengidolakan ini akan berkaitan dengan kebutuhan yang muncul untuk memiliki idola.

Oleh: Rani Agias Fitri

Referensi

Feist, Feist, & Roberts. 2013. Theories of Personality. 8th Edition. New York : McGraw-Hill.

Purcaru, A. R. (2013). Idol or Icon ? An Aesthetic Response to Religious Question An Analysis of the Esthetic and Religious Experience. Procedia Social and Behavioral Sciences, 92, p.770-777.

Editor by: Berdi Dwijayanto