Karier bagi lulusan pendidikan psikologi sudah menjadi perhatian sejak calon mahasiswa (dan orangtuanya) memikirkan kemungkinan untuk masuk ke Program Studi Psikologi di Universitas.

Dalam sebuah risalah berjudul Employability in Psychology: A Guide for Departments, Peter Reddy, Caprice Lantz, dan Julie Hulme (The Higher Education Academy, 2013), menyampaikan sejumlah pokok pikiran, sebagai berikut:

1. “Bachelors degrees in Psychology are not job training and do not confer automatic entry into a career.”

(Gelar Sarjana dalam Psikologi bukanlah pelatihan kerja dan tidak memberi pintu masuk otomatis ke dalam karier)

2. “Psychology may appear to the outside observer, and indeed to aspiring students, to be a vocational degree. The undergraduate qualification in itself does not, however, provide entry into the psychology professions.

(Psikologi mungkin tampak bagi pengamat luar, serta bagi calon mahasiswa, sebagai gelar kejuruan/vokasional. Akan tetapi, kualifikasi sarjana itu sendiri tidak menyediakan akses masuk ke profesi psikologi)

3. “The psychology professions, while being salient to some, may also provide a ‘red herring’ for others. The emphasis on professional psychology as the only ‘successful’ route for Psychology graduates may risk condemning able and committed graduates to several years of uncertainty in the pursuit of limited opportunities.

(Profesi psikologi, meskipun menonjol bagi beberapa orang, juga dapat memberikan ‘sesat pikir’ untuk orang lain. Penekanan pada psikologi profesional/profesi psikolog sebagai satu-satunya jalur ‘sukses’ untuk lulusan Psikologi dapat berisiko mengutuk lulusan yang mampu dan berkomitmen, selama beberapa tahun ketidakpastian, dalam mengejar peluang yang terbatas.)

4. “Graduates may be highly employable, and yet not employed. In part, this has something to do with the graduate’s ability to compete within the recruitment and selection process for employment.

(Lulusan mungkin sangat berpotensi dipekerjakan, namun belum dipekerjakan. Diantaranya, hal ini berhubungan dengan kemampuan lulusan untuk bersaing dalam proses rekrutmen dan seleksi untuk duduk dalam sebuah pekerjaan).

 

Sumber: https://www.onlinepsychologydegrees.com/wp-content/uploads/2018/09/Psychology-Specialties-Infographic.jpg

Karier Psikologi di luar negeri. Sumber: https://www.onlinepsychologydegrees.com/wp-content/uploads/2018/09/Psychology-Specialties-Infographic.jpg

Dalam merumuskan prospek karier Sarjana Psikologi di Universitas kita, saya mengajukan 5 (lima) buah atau panca pertimbangan, sebagai berikut:

Pertama, dimensi distingsi:

Apakah definisi prospek karier S1 Psikologi berbicara tentang prospek karier yang ‘khas Psikologi’, atau termasuk karier yang juga bisa dimasuki oleh Sarjana bidang lain? Dalam sebuah daftar prospek karier, perlu disusun dari atas sampai bawah berdasarkan distingsi (semakin ke bawah semakin tidak distingtif prospek kariernya).

Karier yang sangat khas (distinct) bagi Sarjana Psikologi adalah ilmuwan psikologi. Bahkan, ilmuwan psikologi disebut secara tandas dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia (AD/ART HIMPSI).

Komunitas psikologi sendiri sudah sangat akrab dengan istilah scientist-practitioner model (model ilmuwan-praktisi). Sarjana Psikologi sangat dapat ikut ambil bagian dalam komponen ‘scientist’. Di samping itu, kata “ilmuwan” lebih terbayang justru oleh siswa sekolah menengah, karena penggambarannya jelas. Biasanya yang teringat adalah tokoh seperti Einstein. Yang menjadi “pekerjaan rumah” bagi komunitas psikologi adalah menyosialisasikan seluk-beluk persis pekerjaan sebagai ilmuwan psikologi.

Sedemikian penting karier sebagai ilmuwan, Kementerian Ristekdikti mendirikan sebuah majalah bernama Mewadahi Naluri Ilmuwan, disingkat Menawan. Majalah ini dapat diakses melalui G-MAGZ Gerbang Ilmu Pengetahuan Indonesia (GIPI). Di samping itu, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menyelenggarakan program Desa Peneliti.

Hal yang penting diantisipasi adalah akan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ilmuwan. Dengan perkataan lain, Ilmuwan bukanlah sebuah profesi di dalam kewenangan Disiplin Psikologi untuk mendefinisikannya. Indikasi adanya peraturan yang mengatur ilmuwan sudah hadir sejak diterbitkannya UU No. 8 Tahun 1990, yang menyatakan bahwa Ilmuwan adalah orang yang menggali, menguasai, mengembangkan, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi demi mencari kebenaran serta meningkatkan kesejahteraan, harkat, dan martabat manusia.

 

Kedua, dimensi kualifikasi.

Apakah definisi prospek karier Sarjana Psikologi mencakup kewajiban lulusan untuk mengambil sertifikasi?

Keputusan Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (AP2TPI) Nomor 06/Kep/AP2TPI/2018 menyebutkan bahwa “Profil Lulusan Program Studi Psikologi Jenjang Sarjana yang bergelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) dapat bekerja sebagai: a. Tenaga kerja di bidang SDM; b. Konsultan di bidang psikologi; c. Pengajar; d. Penulis; e. Konselor; f. Fasilitator Pengembangan Komunitas; g. Fasilitator dan Motivator dalam Program Pelatihan; h. Administrator test psikologi; i. Asisten peneliti; j. Asisten psikolog; k. Pelaku usaha mandiri.”

Update: Berdasarkan Keputusan AP2TPI No. 01/Kep/Ap2TPI/2019, Sarjana Psikologi (S.Psi.) dapat bekerja di berbagai setting pekerjaan yang terkait dengan Psikologi, seperti: (i) Tenaga kerja di bidang SDM, Komunitas, dan Pendidikan, (ii) Konsultan, (iii) Penulis/Content-creator/Influencer, (iv) Konselor (melakukan konseling psikologis sesuai dengan Kode Etik Psikologi Indonesia), (v) Peneliti Tingkat Dasar (baik sebagai peneliti mandiri maupun sebagai anggota tim penelitian), (vi) Asisten Psikolog (membantu psikolog dalam memberikan pelayanan psikologi terhadap masyarakat pengguna layanan. Asisten psikolog dapat melakukan administrasi, asesmen, intervensi, dan evaluasi sesuai dengan Kode Etik Psikologi Indonesia), (vii) Pelaku Usaha Mandiri.

Sejumlah poin, menurut hemat saya, tidak dapat lagi disebut sebagai “profil lulusan S.Psi.” Mengapa? Sebab sejumlah poin tersebut menuntut atau mewajibkan ditempuhnya Sertifikasi Profesi dan/atau Pendidikan Profesi setelah diperolehnya ijazah Sarjana Psikologi. Seorang Sarjana Psikologi, semakin ke masa depan (baca: semakin berkembang regulasi), semakin tidak akan begitu saja dapat bekerja sebagai hal-hal yang disebutkan hanya berbekalkan ijazah S1 Psikologi tanpa menempuh sertifikasi.

Bukan berarti mereka sama sekali tidak dapat mengerjakan hal-hal yang sudah ada skema sertifikasinya, lebih-lebih saat ini, saat regulasi belum berkembang. Akan tetapi, yang dimaksudkan adalah: Mereka akan semakin ditanyai, “Apakah Anda memiliki sertifikasi dalam bidang ini?” Tinggi-rendahnya pengakuan akan kompetensi mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut akan semakin bergantung pada sertifikasi (dan perlu diingat pula, bahwa sertifikasi juga memiliki batas waktu, dan perlu dipertahankan dari periode ke periode), bukan sekadar Ijazah S1 plus pengalaman.

Ambil sebuah contoh konkret. Di masa lalu, siapapun dosen atau peneliti yang dianggap Kementerian Ristekdikti memenuhi kualifikasi pengetahuan dan pengalaman dapat dipekerjakan oleh Kementerian Ristekdikti sebagai Reviewer Penelitian. Saat ini Reviewer Penelitian – dalam konteks ini Reviewer Penelitian Nasional – wajib bersertifikasi. Mereka yang dahulu sudah bertahun-tahun menjadi Reviewer Penelitian pun, tanpa mengantongi Sertifikasi Reviewer tersebut, tidak dapat meneruskan profesinya sebagai Reviewer [Reviewer Penelitian Nasional memiliki Kode Etik Profesi]. Mengapa demikian? Hal ini karena regulasi sudah mulai berkembang. Walaupun demikian, saya telah menyampaikan konsen mengenai konsekuensi dari arus sertifikasi yang bersumber dari pragmatisme Amerika ini:

 

Kembali ke Laptop…, poin (e) Konselor. Konselor banyak ragamnya, dan umumnya meminta kualifikasi berupa sertifikasi. Misalnya, Peraturan Badan Narkotika Nasional (BNN) nomor 3 tahun 2018 mengatur tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Profesi Konselor Adiksi. Contoh lain, Peraturan Mendiknas nomor 27 tahun 2008 mengatur tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Dalam peraturan tersebut, dinyatakan bahwa untuk dapat menjadi konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal, seseorang wajib berpendidikan Profesi Konselor.

Poin (c) Pengajar, Undang Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengatur bahwa Pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan Sertifikat Pendidik. Untuk menjadi Guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan TK, seorang Sarjana Psikologi wajib lulus sertifikasi.

Contoh lain, poin (b), (f), dan (j). Seorang Sarjana Psikologi, dengan tambahan biaya setelah kelulusan, perlu menempuh Sertifikasi yang diselenggarakan oleh LSP (Lembaga Sertifikasi Psikologi Indonesia) dalam naungan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi), yakni:

Dengan demikian, dari profil lulusan S.Psi. versi AP2TPI, yang dapat dikerjakan secara aktual tanpa melalui sertifikasi, adalah (1) Tenaga kerja di bidang SDM, Komunitas, dan Pendidikan; (2) Penulis; (3) Administrator test psikologi; (4) Asisten peneliti, (5) Pelaku usaha mandiri, dan (6) Penulis/Content-creator/Influencer.

Bahkan terkait poin karier sebagai Tenaga Kerja di bidang SDM, baru-baru ini Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/5/HK.04.00/VII/2019 mengatur “wajib sertifikasi kompetensi bagi pekerja yang menduduki jabatan bidang manajemen SDM/HRD 2 (dua) tahun sejak diterbitkan Surat Edaran ini. Skema kompetensi dimaksud menggunakan skema sertifikasi kompetensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan mengacu pada SKKNI bidang Manajemen SDM yang berlaku”. Jadi, begitu seorang Tenaga Kerja di bidang SDM memegang sebuah jabatan bidang MSDM/HRD, maka ia terkena wajib sertifikasi.

Bagaimana halnya dengan profesi sebagai Asesor? Jawabnya: Juga akan semakin diregulasi. Setidaknya untuk saat ini, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PerMenPAN/RB) Nomor 39 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Asesor Sumber Daya Manusia Aparatur.

Catatan khusus untuk poin karier sebagai Asisten Peneliti adalah bahwa menurut Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia nomor 04/E/2009, seorang Sarjana dapat menjadi Peneliti Pertama. Dengan demikian, lebih tepat disebut sebagai Peneliti, bukan Asisten Peneliti. Seorang Sarjana Psikologi dalam rentang karier psikolog profesional/profesi psikologi, batas prospek kariernya adalah sampai Asisten Psikolog. Berbeda dari rentang karier di bidang penelitian, ia sudah langsung dapat menjadi Peneliti. Hal ini kembali menguatkan dimensi pertama, bahwa karier sebagai Ilmuwan Psikologi, Peneliti Psikologi (termasuk ilmuwan data dengan perspektif psikologis) memang merupakan karier yang sangat distingtif untuk S.Psi., namun bukan berada dalam kewenangan disiplin ini.

Calon mahasiswa psikologi dan orangtuanya perlu diberikan penjelasan, semacam catatan kaki, bahwa sejumlah butir profil lulusan yang tertera wajib menempuh sertifikasi.

Ketiga, dimensi waktu: Berapakah normalnya rerata waktu yang dibutuhkan oleh seorang S.Psi. untuk dapat mencapai ‘prospek karier’ itu?

Hal lain yang penting terkait dengan dimensi waktu adalah bahwa dimensi waktu ini tidak mencakup prospek karier yang hanya dapat diraih melalui masa/waktu studi formal lanjut, seperti studi S2 Psikologi Profesi. Itu sebabnya, Psikolog tidak termasuk dalam prospek karier S.Psi. dalam definisi ini. Dalam konteks definisional ini, Psikolog adalah prospek karier dari seorang Magister Psikologi Profesi, bukan prospek karier dari Sarjana Psikologi.

Keempat, dimensi ketersediaan jenjang karier: Apakah definisi prospek karier mencakup pekerjaan yang ada career path-nya?

Kelima, dimensi institusional: Keunggulan khas program studi.

Kelima dimensi di atas perlu dijawab oleh Perguruan Tinggi yang akan menginformasikan prospek karier, melalui katalog, flyer, multimedia profil prodi, dan sebagainya karena menyangkut persepsi publik ke depannya, apakah informasi tersebut overpromising (terlalu menjanjikan) atau tidak.

Berdasarkan kelima dimensi tersebut, Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara telah menetapkan sembilan prospek karier Sarjana Psikologi BINUS University, yakni:

  1. Konsultan SDM

  2. Fasilitator dan Perancang Program Pelatihan

  3. Konsultan Pendidikan

  4. Perancang Instruksi Pembelajaran

  5. Perancang & Fasilitator Program Pengembangan Komunitas

  6. Peneliti di bidang Psikologi

  7. Asisten Psikolog

  8. Analis Masyarakat Perkotaan

  9. Perancang Pengukuran Perilaku

dengan catatan sebagaimana disebutkan di atas.

Adapun ditambahkan 4 (empat) buah prospek karier, yakni nomor 2, 4, 8 dan 9, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Analis Masyarakat Perkotaan: Bapak Dr. Johannes A. A. Rumeser, salah seorang tokoh pendiri Psikologi BINUS University sejak kelahiran Jurusan ini, menekankan bahwa Psikologi BINUS “berada di kota; ia berbeda dari Psikologi UGM yang dekat dengan pedesaan.” Sebagai turunannya, sejak lama, Psikologi BINUS mengadakan mata kuliah: Pengantar Psikologi Perkotaan, dan Psikologi Perkotaan (Urban Psychology), sebagai mata kuliah Peminatan Psikologi Komunitas. Istilah Analis merupakan istilah yang sudah dibahas dalam tulisan saya.

Perancang Instruksi Pembelajaran: Psikologi BINUS memang memiliki bidang peminatan Psikologi Pendidikan, yang memiliki mata kuliah Psychology of Instructional Design.

Fasilitator dan Perancang Program Pelatihan: Psikologi BINUS memang memiliki bidang peminatan Psikologi Pendidikan, yang memiliki mata kuliah Psychology of Training & Development.

Perancang Pengukuran Perilaku: Capaian Pembelajaran terbaru Psikologi BINUS, ada sebuah baris tabel yang secara khusus dipisahkan (dispesialkan) dari penelitian, yakni pengukuran.

Kedua alasan di atas menjawab Dimensi Kelima (keunggulan khas program studi).

 

Seluruh prospek karier Sarjana Psikologi di atas dirangkum dengan satu frase, yakni Analis Psikologi [Mengapa bukan ‘Ahli Psikologi’?]. Sejalan dengan definisi Psikologi, yakni ilmu yang mempelajari proses mental  dan perilakuPsychology is the scientific study of the mind and behavior, maka Analis Psikologi secara “sederhana” dapat dibagi menjadi 2 (dua), yakni:

  1. Analis Perilaku (Behavior Analyst)

  2. Analis Mental/Analis Kejiwaan (Mind/Mental Analyst)

Mengapa demikian? Sebab dalam Psikologi, ada banyak mazhab, seperti (1) Psikoanalisis/Psikodinamika, (2) Psikologi-behavioristik/Behaviorisme, (3) Psikologi-kognitif, (4) Psikologi-humanistik, (5) Psikologi-biologis/Psiko-fisiologis, (6) Psikologi budaya, (7) Psikologi evolusioner, dan sebagainya.

Perkataan Analis Perilaku memiliki konotasi berpihak pada mazhab psikologi-behavioristik.

Sedangkan, mazhab Psikoanalisis dan Psikologi-kognitif akan lebih terakomodasikan dalam perkataan Analis Mental/Analis Jiwa.

 

Salah satu kenyataan global, karier yang dikejar oleh lulusan S1 Psikologi adalah seperti tabel berikut, yang bersumber dari Employability in Psychology: A Guide for Departments.

Grafik dari American Psychological Association juga menunjukkan adanya variasi karier Sarjana Psikologi, dengan penjelasan dari APA:

People with psychology bachelor’s degrees work in a wider range of primary jobs [than graduate degree holders]. Sales was the most common primary job for these individuals, followed closely by other work activities, professional services and management/supervision.”

(Orang-orang dengan gelar sarjana psikologi bekerja dalam lebih beragam pekerjaan utama [lebih dari pemegang gelar Pascasarjana/Master dan Doktor]. Sales adalah pekerjaan utama yang paling umum bagi orang-orang ini, diikuti oleh (1) aktivitas pekerjaan lainnya, (2) layanan profesional, dan (3) manajemen/pengawasan)

Komunitas Psikologi Indonesia jelas perlu melakukan pemetaan semacam tabel ini guna membantu mengakomodasikan kemungkinan-kemungkinan karier di bidang Psikologi di Indonesia yang selama ini mungkin belum terpikirkan atau teridentifikasikan ‘di belakang meja’ oleh para pimpinan perguruan tinggi/asosiasi keilmuan/asosiasi profesi psikologi. Hal ini karena, bukankah sudah kita kenal adagium “Di mana ada manusia, di situ psikologi berperan“?

Penulis: Dr. Juneman Abraham

Sumber: APA (2016)

 

Silakan menuliskan komentar dalam kolom di bawah ini, apabila terdapat masukan, ketidaksetujuan, pengembangan, dan sebagainya. Saya sangat membuka diri untuk itu.

Penulis: Dr. Juneman Abraham, S.Psi.