Research citations per paper selama 5 (lima) tahun terakhir berdasarkan data Scopus merupakan salah satu kriteria World Class University (WUR), yang merupakan Visi BINUS 2020.

Sebelum sampai kepada citations, maka paper-nya perlu ada terlebih dahulu. Masalah yang krusial di sebuah Jurusan di Fakultas Humaniora, BINUS University adalah bahwa, berdasarkan analisis data yang disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini, rerata jumlah paper per FM di Jurusan tersebut yang riil (real count) selama lima tahun terakhir di Scopus (dengan bilangan pembagi 20 dosen, bukan 23 dosen; untuk menyederhanakan kalkulasinya) berkisar dari 0.25 sampai dengan 1.25, dan hanya 1 tahun (2016) yang mencapai angka 1.0 dengan distribusi yang timpang (lihat Tabel 1).

Beberapa dari paper yang terindeks Scopus tersebut juga tidak sesuai dengan bidang keahlian utama Jurusan. Hal ini karena dosen berusaha mengejar kuantitas publikasi Scopus dengan cara berkolaborasi dengan siapapun yang sedang mengerjakan paper Scopus, dan hal ini memiliki potensi masalah secara etis. Hal ini tampak jelas dalam Subject Area dari profil Scopus masing-masing dosen. Sejumlah dosen pada profil Scopus-nya malah menampilkan Subject Area yang sama sekali tidak bermuatan bidang ilmu utama Jurusan.

Sejumlah Asumsi

Sebelum saya melanjutkan lebih jauh uraian ini, perlu saya jelaskan sejumlah asumsi dalam artikel ini:

Pertama, BINUS University mengenakan indikator kinerja tahunan kepada setiap FM yakni kewajiban memenuhi poin minimum dari paper internasional terindeks Scopus, dengan catatan: “Poin Scopus” sudah terhitung apabila (1) Status paper tersebut “accepted” untuk dipublikasikan dalam prosiding terindeks Scopus dari sebuah konferensi, atau (2) Status paper tersebut “under review” (tidak mengalami initial rejection) dalam sebuah jurnal ilmiah terindeks Scopus (Perkara apakah artikel tersebut selanjutnya “accepted” atau “rejected” tidak dipersoalkan).

Kedua, secara nasional tidak terdapat naskah akademik yang menjelaskan mengapa Scopus digunakan dalam sebuah sistem evaluasi kinerja riset Indonesia, yang bernama  SINTA (Science and Technology Index), sebagai indikator utama. Yang dapat ditemukan adalah klaim bahwa Scopus merupakan baku emas (gold standard) publikasi ilmiah. Karena ketiadaan naskah akademik, artikel ini mengasumsikan bahwa indikator Scopus digunakan dalam SINTA untuk memenuhi dua fungsi yaitu penyaringan kualitas dan internasionalisasi.

Skema insentif kinerja pun mengikuti tren “industri Scopus” ini. Di sebuah perguruan tinggi negeri, kinerja menerbitkan sebuah artikel ilmiah pada prosiding internasional terindeks Scopus (sebagai penulis utama) memiliki poin 867, lebih tinggi daripada artikel pada jurnal internasional Scopus Q3 (sebagai penulis pendamping), yakni 803. Nilai ini hanya berbeda kurang dari 100 poin dengan artikel pada jurnal internasional Scopus Q4 (sebagai penulis utama), yakni 964. Poin-poin semacam ini juga memiliki nilai ekonomis tersendiri.

Ketiga, asumsi bahwa artikel/paper yang terindeks di dalam Scopus dan Web of Science tentu merupakan artikel-artikel yang berkualitas  tidaklah memperoleh dukungan empiris secara memadai. Apalagi, akhir-akhir ini telah ditemukan kenyataan bahwa semakin tinggi peringkat jurnal-jurnal yang dianggap bereputasi (baik yang diindikasikan dengan impact factor (IF), maupun sejenisnya, seperti Scimago Journal Rank/SJR, Cite Score, Quartile/Q, dan sebagainya), tidak semakin meningkat—bahkan terindikasi semakin memburuk—kualitas metodologi risetnya (“methodological quality and, consequently, reliability of published research works in several fields may be decreasing with increasing journal rank …. ”; Brembs, 2018). Kesimpulan Brembs lebih rinci:

“… that highly prestigious journals fail to reach a particularly high level of reliability. In particular, comparing higher with lower ranked journals, two main conclusions can be drawn: (1) experiments reported in high-ranking journals are no more methodologically sound than those published in other journals; and (2) experiments reported in high-ranking journals are often less methodologically sound than those published in other journals.”

Padahal umumnya semakin tinggi biaya pemrosesan artikel dalam jurnal tersebut sampai terpublikasikan. Metrik jurnal dari sebuah indeks juga tidak berbicara apa-apa mengenai kualitas serta wajib diletakkan dalam konteks.

Kendati demikian, untuk kepentingan artikel ini, baiklah kita terima untuk sementara waktu  asumsi bahwa penyaringan kualitas berlangsung dalam indeksasi Scopus (dan Web of Science).

Sumber gambar: https://www.flickr.com/photos/denverjeffrey/4289439232

Tabel 1. Distribusi real papers yang terindeks Scopus di sebuah Jurusan, Fakultas Humaniora

No Dosen Tetap (Faculty Member/FM) 2014 2015 2016 2017 2018
1 Dosen A 0 0 0 0 0
2 Dosen B 0 0 0 0 0
3 Dosen C 4 0 0 6 0
4 Dosen D 0 0 1 0 1
5 Dosen E 0 0 1 0 0
6 Dosen F 0 0 1 1 1
7 Dosen G 0 0 0 0 0
8 Dosen H 0 0 3 2 1
9 Dosen I 3 4 3 5 8
10 Dosen J 0 0 0 0 0
11 Dosen K 2 0 0 0 0
12 Dosen L 0 0 0 2 0
13 Dosen M 0 1 0 4 0
14 Dosen N 0 0 0 0 0
15 Dosen O 0 0 1 0 0
16 Dosen P 0 0 0 1 0
17 Dosen Q 0 0 0 1 0
18 Dosen R 0 0 0 3 1
19 Dosen S 0 0 0 0 1
20 Dosen T 0 0 0 0 0
21 Dosen U 0 0 0 0 0
22 Dosen V 0 0 0 0 0
23 Dosen W 0 0 0 0 0
Jumlah artikel 9 5 10 25 13
  2014 2015 2016 2017 2018
Rerata per FM

(Bilangan pembagi = 20)

0.45 0.25 0.50 1.25 0.65

 

Guna mengatasi masalah tersebut, saya mengusulkan sejumlah solusi pada tingkat institusi (universitas) dan pada tingkat nasional, di luar solusi yang selama ini sering dilakukan (pelatihan penulisan dan strategi individual lainnya).

 

Tawaran Solusi Tingkat Institusi Universitas

Managing Collaboration. Kolaborasi dapat dilakukan dengan jurnal terakreditasi nasional mulai dari lingkungan BINUS sendiri, seperti Jurnal Humaniora.  Ide dasar dari kolaborasi ini adalah bahwa ajang untuk melatih penulisan yang berkualitas dalam publikasi Scopus bukan (hanya) prosiding terindeks Scopus, melainkan pertama-tama adalah jurnal terakreditasi nasional. Mengapa? Karena seringkali peer review-nya lebih ketat daripada prosiding Scopus, bahkan jurnal terindeks Scopus sekalipun.

Di samping itu, hal ini juga sekaligus merupakan Respect terhadap keberadaan jurnal dan pengelola jurnal di lingkungan BINUS University sendiri. Oleh karena para FM mengejar indeksasi Scopus, jurnal-jurnal nasional di lingkungan BINUS sendiri seringkali bahkan tidak ditengok, padahal pengelola dan tim penyunting serta penelaahnya sangat bekerja keras untuk menjaga mutu jurnal-jurnal tersebut.

Argumen di atas juga berdasar fakta bahwa saat ini ada sebuah industri baru, berupa penyelenggaraan konferensi yang bertujuan untuk mendapatkan publikasi Scopus dalam bentuk prosiding dengan sejumlah biaya. Bahkan, pernah ada juga pemberitahuan Call for Papers di grup media sosial jurnal dan ilmuwan untuk menerbitkan artikel prosiding terindeks Scopus tanpa presentasi dalam konferensi ilmiah sebagaimana lazimnya tradisi proses dihasilkannya prosiding.

Peningkatan jumlah publikasi juga dapat dilakukan dengan berkolaborasi dengan event yang sudah stabil dalam rangka klinik manuskrip, seperti Research and Writing Colloquium (RAW) oleh Jurnal MAKARA Sosial-Humaniora atau HUBS-ASIA yang diadakan oleh Universitas Indonesia, dalam hal mana Ketua Editor-nya merupakan Steering Committee dari ICOP BINUS 2018. Kerjasama dimaksud dapat dioperasionalkan dengan nota kesepahaman antara Jurusan dengan Panitia RAW / Jurnal MAKARA, atau pun panitia kegiatan sejenis yang sudah rutin. Di samping itu, penyiapan naskah-naskah oleh FM Jurusan guna diikutkan pada RAW perlu dikoordinasikan oleh Research Coordinator Jurusan.

Budgeting. Budget yang perlu dipersiapkan adalah adanya insentif untuk penulis artikel yang berhasil terbit di Jurnal Humaniora dan jurnal terakreditasi nasional lainnya. Budget ini dapat dianggarkan sumbernya dari Research and Technology Transfer Office/RTTO (Lembaga Penelitian BINUS) atas usulan Fakultas Humaniora.

Sedangkan budget dari Lembaga Penelitian per FM untuk mengikuti konferensi dengan prosiding Scopus perlu dioptimalkan, misalnya dengan mengikutkan pada tahun 2019 ini, ICOBAR (The International Conference on Biospheric Harmony). Optimalisasi penggunaan budget merupakan hal yang penting juga. Mengapa? Karena budget sudah tersedia; akan tetapi berdasarkan  data tahun 2018 yang lalu, pada konferensi ICOP (The International Conference of Psychotechnology), dari 20 FM Jurusan yang ada, hanya 10 artikel berhasil diikutkan untuk berpartisipasi (50% pemanfaatan budget), itu pun ada yang penulisnya berulang (1 FM menulis lebih dari 1 paper). Catatan: 50% yang tidak berpartisipasi tersebut juga tidak berpartisipasi dalam kegiatan terindeks Scopus yang lain.

Di samping itu, ada sejumlah FM yang selama beberapa tahun memperoleh Hibah Penelitian Internal dari BINUS. Yang menjadi pertanyaan adalah ke mana “larinya” dana ini jika tidak bermuara pada publikasi riset? Apabila jawabnya adalah masih dalam proses publikasi, maka hal ini yang dapat dipantau (Monitoring dan Evaluation/MonEv) melalui acara Brown Bag (lihat keterangan tentang Brown Bag dalam baris “Managing Service Excellence: Act as Quality Control”).

Jadi acara Brown Bag 2019 dapat menjadi semacam MonEv bagi kelompok-kelompok yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan Hibah Penelitian BINUS tahun-tahun sebelumnya (misalnya, 2016, 2017, dan 2018) guna menjaga Integrity dan Striving for Excellence dari penggunaan dana Hibah BINUS.

Technology based Knowledge Management. Artikel-artikel yang ditulis dalam jurnal dan prosiding apapun dapat dibagikan ringkasannya melalui situs web jurusan atau program studi, dan disarankan dalam bahasa populer atau pun ilmiah-populer. Dengan demikian, orang awam juga dapat menikmati riset-riset para FM jurusan, dan meningkatkan sirkulasi pengetahuan yang dapat menjadi bahan promosi, marketing, atau pada kegiatan sesi setelah TPKS (Tes Potensi Keberhasilan Studi) BINUS dengan calon mahasiswa dan orangtuanya. Sharing semacam ini dapat menginspirasikan penulis artikel sendiri untuk mengembangkan artikel berikutnya, khususnya dari sisi linguistik.

Managing Service Excellence: Act as Quality Control. Saat ini Jurusan memiliki event bernama Brown Bag, yakni sebuah forum di mana para FM Jurusan dapat bertukar ide dan umpan balik mengenai penelitian-penelitian yang sedang dilakukan. Kontrol kualitas utamanya perlu dilakukan terhadap FM yang masih belum produktif; menjadi semacam MonEv (pemantauan dan evaluasi) bagi kinerja risetnya.  Mereka yang sudah menjadi Good Role Model dalam hal riset dan publikasi tidak lagi perlu tampil sebagai narasumber yang ada di depan, karena “model narasumber” ini sudah sering dilakukan di berbagai tempat dan efektivitasnya masih kurang.

Yang diperlukan untuk brown bag dan sekaligus sebagai layanan prima (service excellence) bagi para FM yang belum mencapai target minimal publikasi Scopus adalah: Mereka tampil di depan untuk kemudian perkembangan penelitiannya didiskusikan oleh sejawat yang lain, termasuk oleh mereka yang sudah produktif.

Optimizing Other Resources. Sejumlah resources sudah disampaikan dalam tulisan-tulisan di atas (budget, partner kerjasama, media diseminasi, serta peran/role yang diharapkan dari Research Coordinator Jurusan dan para FM). Tambahan khusus mengenai resources dalam rangka meningkatkan jumlah publikasi adalah dukungan terhadap literasi data. Dalam hal ini, FM-FM Jurusan yang fokus studi pascasarjananya adalah Psikometri, dan/atau sudah terlibat dalam pembimbingan dengan promotor doktoral dalam satu atau lebih penelitian kuantitatif dengan dosen-dosen dari universitas Luar Negeri perlu berkolaborasi memfasilitasi terbentuknya semacam Pusat Pengukuran Psikologi.

Sumber gambar: https://pbs.twimg.com/media/DdgBUDfWAAAzNJs.jpg
Sumber gambar: https://pbs.twimg.com/media/DdgBUDfWAAAzNJs.jpg

 

Tawaran Solusi Kebijakan Tingkat Nasional

Mendirikan Jurnal Terindeks Scopus Berbahasa Nasional. Tidak seperti negara jiran, belum ada kehendak politik yang kuat untuk mendirikan jurnal terindeks Scopus yang berbahasa Indonesia (yang dimaksud: bukan jurnal bi-lingual, melainkan jurnal dengan full article  berbahasa Indonesia; dan hanya title dan abstract-nya yang berbahasa Inggris), sebagai perwujudan amanat dari Sumpah Pemuda 1928 dan Undang Undang Bahasa, malahan kita seperti “mengikat kaki sendiri” dengan kebijakan bahwa jurnal bereputasi wajib berbahasa resmi PBB.

Baru-baru ini, sekelompok sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Sidoarjo di Jawa Timur, mengadakan inisiatif pendirian sebuah konferensi terindeks Scopus (bekerjasama dengan sebuah penerbit, yaitu EAI Conference Proceedings) bernama CIFET (Conference on Islamic Finance and Technology), dimana salah satu syaratnya adalah Semua naskah artikel wajib berbahasa Indonesia. Hal ini merupakan sebuah perkembangan historis yang penting yang dapat ditindaklanjuti Kemristekdikti guna diimplementasikan pada jurnal-jurnal ilmiah di Indonesia.

Menggiatkan peran orientasi budaya. Menurut hasil riset terbaru saya, yang perlu dipertimbangkan adalah nilai-nilai kultural: collaborative individualism yang tinggi, power distance yang rendah, serta strategic indulgence yang tinggi. Gagasan ini adalah mengenai peran budaya/kultur nasional, yang dapat melengkapi gagasan Bapak Muhammad Dimyati di Koran Kompas mengenai Pembiayaan Negara. Jadi di samping faktor ekonomis, kita tidak melupakan faktor kultural.

Dalam hal collaborative individualism, misalnya, memecah h-index secara proporsional dalam sistem evaluasi publikasi nasional, seperti SINTA, merupakan sebuah langkah kebijakan yang penting ditempuh. Sebagaimana dinyatakan oleh Lozano (2013),

The most commonly used performance measure for individual researchers is the h-index, which does not correct for multiple authors. Each author claims full credit for each paper and each ensuing citation. This mismeasure of achievement is fuelling a flagrant increase in multi-authorship.”

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak penulis berusaha meraih celah keuntungan dengan tergabung atau pun menggabungkan diri dalam atau juga mengajak/mengundang kepemimpinan atau proyek riset orang lain, tetapi untuk sebuah motif “kolaborasi yang tidak tepat” guna meningkatkan jumlah artikel dan h-index secara instan. Fraksionalisasi atau pemecahan h-index dapat menjadi salah satu faktor pengendali instanisme dalam hal ini.

Di samping itu, artikel-artikel yang belum atau tidak terindeks di Scopus, namun yang memperoleh sitasi dari artikel jurnal terindeks Scopus ber-SJR tinggi atau ber-Q1 atau Q2, perlu diberikan insentif. Hal ini karena berarti artikel tersebut memperoleh rekognisi. Dalam kriteria penilaian Universitas Berkelas Dunia dari Times Higher Education (THE), bobot 30% tersendiri diberikan kepada Citations (research influence) di luar Research (Volume, Income, and Reputation) itu sendiri. Apakah maknanya? Oleh karena sitasi (citations) wajib alamiah, maka penting untuk menghasilkan publikasi yang berkualitas sehingga layak disitasi (citable). Sistem insentif perlu memberikan apresiasi tidak hanya bagi produktivitas riset akan tetapi juga cited publications karena ternyata bobotnya besar sekali untuk berkelas dunia versi THE.

Dalam hal yang lain lagi, jarak kekuasaan (power distance), segala kritik yang ditujukan kepada SINTA, misalnya, perlu dijawab secara demokratis; tulisan dijawab dengan tulisan, kajian dibalas dengan kajian tandingan. Dengan power distance yang rendah seperti demikian, terbukti negara-negara meraih capaian publikasi ilmiah lebih baik. Dalam hal strategic indulgence, kebijakan “Merenung, Kita Bayar” dari Ditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti (SDID) merupakan salah satu implementasi yang baik. Lebih baik lagi jika program Sabbatical Leave tidak hanya diberlakukan untuk Profesor, tetapi juga Lektor dan Lektor Kepala.

Meningkatkan dan menghargai kewargaan akademik (academic citizenship). Secara struktural, perlu dibangun sebuah sistem yang menilai peer review dalam berbagai bentuk (baik blind peer review maupun open peer review) sebagai tindakan-tindakan kewargaan akademik, dan dihargai bukan hanya sebagai pengabdian kepada masyarakat, melainkan setara dengan sebuah kontribusi intelektual sebagaimana seseorang menulis sebuah artikel yang memiliki original contribution.

Tanpa perubahan penghargaan terhadap peer review, peningkatan publikasi yang berkualitas sulit diharapkan. Lihat juga Publons dan ScienceOpen. Dalam ScienceOpen terdapat post-publication peer review. Penelaahan sejawat terbuka (open peer review) penting diterapkan karena hasil-hasil review yang selama ini tersimpan di “laci” atau “email inbox” dapat tersirkulasi dan terpelajari oleh penulis atau peneliti lain. Hal ini merupakan sumber pembelajaran yang luar biasa besar.

Sistem Akreditasi Jurnal Nasional (ARJUNA) perlu sungguh dihargai oleh komunitas ilmiah Indonesia sendiri. Indonesia telah memiliki GARUDA Garba Rujukan Digital atau Indonesian Publication Index (IPI). Dalam konteks Indonesia, sudah saatnya untuk mendayagunakan portal ini serta mereformulasi skor SINTA dengan mengintegrasikan secara proporsional dan adil komponen penilaian berupa artikel ilmiah dosen/peneliti yang berhasil terbit dalam jurnal ilmiah nasional maupun internasional yang sesuai dengan kriteria penilaian Sinta 1 sampai dengan Sinta 6.

Hal ini sangat beralasan karena Pencantuman di Pengindeks Internasional Bereputasi hanya merupakan salah satu komponen asesmen dalam kriteria Pedoman Akreditasi Jurnal Nasional (ARJUNA), yakni Penyebarluasan/Diseminasi dengan bobot skor 5 dari 100 (lihat halaman 3 dan 24). Dengan demikian, kriteria sebuah jurnal terakreditasi berdasarkan kriteria ARJUNA boleh jadi lebih berbobot daripada kriteria sebuah jurnal terindeks oleh Scopus (yang dianggap sebagai Pengindeks Internasional Bereputasi). Kriteria ARJUNA mengakomodasikan kualitas dan keterbukaan sekaligus, karena ARJUNA meng-endorse penggunaan Open Journal System untuk “meningkatkan akses pembaca sebuah jurnal serta kontribusinya pada kepentingan publik pada skala global” (lihat halaman 79).

Oleh itu, ketentuan bahwa “Jurnal yang telah terindeks di Scopus atau Web of Science, baik terakreditasi maupun tidak, (otomatis) akan dikategorikan Sinta 1” (halaman 193) perlu dibatalkan karena tidak koheren dan adil bila ditinjau dengan spirit keseluruhan dari kriteria Pedoman ARJUNA.

Menghilangkan sekat antara riset dasar dan riset terapan. Keduanya perlu dipandang sebagai keragaman yang memiliki potensi publikasinya masing-masing. Tiadanya diskriminasi antara riset dasar dan riset terapan perlu tercermin dalam kebijakan penganggaran riset dan publikasi yang seimbang; tidak berat ke salah satu.

Dalam pengelolaan anggaran, diperlukan sebuah badan pendanaan nasional yang bersifat independen yang khusus mengelola dana abadi riset, dan tidak terkena konstrain periodisasi pencairan dan pelaporan birokratis.

Guna menunjang hal ini, perlu ada mentor-mentor, dalam sebuah model pencangkokan perguruan tinggi berdasarkan angka riset dan publikasi, yang memiliki kepekaan futuristik yang sanggup mendeteksi keistimewaan dari riset dasar dan terapan yang sedang atau akan dikerjakan sejawatnya secara multi-tahun.

Evaluasi kinerja publikasi perlu mencakup indikator ketermanfaatannya dalam naskah-naskah akademik kebijakan publik. Hal ini sekarang dapat diakomodasi dengan teknologi Altmetrics. Oleh karena itu, SINTA hendaknya ikut mengintegrasikan Altmetrics, di samping Google Scholar, Scopus, dan Web of Science yang sudah ada selama ini. Perlu ada penghargaan terhadap sitasi praktis (seperti policy citation), di samping sitasi teoretis. Sistem reward yang tepat semacam itu akan merangsang peningkatan publikasi, termasuk publikasi Scopus. Tidak hanya itu, tetapi juga peningkatan kebermaknaan riset.

Program RuangKerja (yang terinspirasi dari RuangGuru.com) sebagai salah satu solusi daring edukasi riset dan publikasi hendaknya dikelola secara crowdsourcing serta bebas dari kepentingan ekonomi dan politik dari kelompok siapapun. RuangKerja hendaknya sungguh-sungguh menjadi Indonesian public goods yang bisa dibanggakan dalam rangka mengkultivasi public wealth di bidang fasilitasi kompetensi riset dan publikasi. Dalam membangun metodologi penyampaian (delivery-nya), libatkan teaching universities yang sudah unggul di Indonesia karena mereka lah yang menguasai pedagoginya, sedangkan dalam membangun substansinya, libatkan research universities yang sudah teruji di Indonesia karena mereka lah yang menguasai isinya.

Dayagunakan Repositori Ilmiah Nasional (RIN) agar dosen dan peneliti di seluruh Indonesia dapat mencatatkan perkembangan langkah demi langkah riset dan publikasinya di sini. RIN hendaknya terintegrasi dengan Simlitabmas (sistem penempatan proposal, review proposal, pelaporan kemajuan, evaluasi kemajuan, laporan akhir, dan evaluasi luaran hibah penelitian Kemristekdikti) dan SINTA. Dalam teori psikologi pendidikan, ini disebut sebagai scaffolding, dan sangat dapat diterapkan sebagai salah satu pendekatan baru dalam peningkatan publikasi, termasuk Scopus-indexed publications.

RIN dapat juga memuat naskah-naskah skripsi sarjana, juga naskah-naskah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang berhasil memperoleh pendanaan nasional dari Ditjen Belmawa Kemristekdikti. Kewajiban nasional untuk publikasi bagi Sarjana memang telah dibatalkan karena memang tidak sesuai dengan learning outcome menurut qualification framework seorang Sarjana. Jika pun skripsi penting untuk diketahui hasil-hasilnya oleh publik, saya menyarankan agar cukup diadakan sebuah Prosiding (Sidang) Skripsi saja yang diunggah ke repositori, seperti RIN, namun yang naskahnya masih dapat dikembangkan (dokumen bersifat dinamis, bukan statis dalam repositori) termasuk ke arah publikasi Scopus, asalkan RIN memiliki fitur inheren untuk pemberian umpan balik (feedback) oleh para pembacanya. Sekaligus kita memantapkan pengertian asli prosiding. Selama ini, prosiding konferensi lupa untuk menjalankan “khittah“-nya; yaitu prosiding seyogianya memuat / mendokumentasikan / melaporkan hal-hal teramati, termasuk tanya-jawab, yang terjadi selama proses konferensi, bukan hanya artikelnya saja.

Sejumlah hal perlu dilakukan terhadap SINTA. Oleh karena orang cenderung mengejar indikator, maka indikator itu sendiri perlu diperbaiki terus-menerus untuk tidak hanya publikasi Scopus yang berkualitas, tetapi juga kesejahteraan masyarakat kita.

Pertama, SINTA perlu memenuhi fungsi relasinya secara optimal. Yakni dengan membuka akses terhadap data sitasi dan referensi, serta fungsi analitik terhadapnya. Dengan demikian SINTA dapat menjadi bahan baku penulisan perkembangan mutakhir penelitian yang relevan, yang mampu meningkatkan secara signifikan (1) potensi publikasi sebuah naskah, (2) kegunaan data untuk masyarakat.

Kedua, SINTA perlu diperlengkapi dengan algoritme pencegahan manipulasi sitasi. Scopus sendiri telah menyadari fenomena seperti “korupsitasi” sehingga menciptakan alat-alat internal untuk mendeteksinya di tingkat jurnal. Salah satu perangkat yang diciptakan Scopus pada akhir 2017 adalah Radar. Alat ini berupa algoritme yang mampu mendeteksi perilaku-perilaku jurnal yang menyimpang, seperti “korupsitasi”. Namun, algoritme ini tidak berlaku untuk prosiding. Karena itu, SINTA perlu menciptakan algoritme sendiri untuk mendeteksi “korupsitasi”, khususnya untuk prosiding yang terindeks Scopus. Algoritme serupa juga perlu diciptakan untuk karya-karya lain yang termasuk dalam SINTA, seperti banyak jurnal Indonesia yang tidak termasuk dalam indeks Scopus.

Ketiga, SINTA dianjurkan untuk mengintegrasikan ORCID dengan gagasan-gagasan yang melandasi (1) Metrik pada berbagai tingkat/vertikal (jurnal, artikel, dan penulis) dan jenis/horizontal, (2) Indikator-indikator keterbukaan dan keperilakuan, serta (3) Indikator-indikator kontrol/kontekstual. Komposit skor yang dihasilkan dapat diharapkan sebagai sebuah aproksimasi/pendekatan terhadap kinerja dan reputasi sesungguhnya dari akademisi.

Komposit ini jauh lebih sukar dimanipulasi ketimbang SINTA Score saat ini yang menggunakan indikator terbatas dan didominasi oleh Scopus.

Dalam sebuah laporan tentang implementasi ORCID secara kelembagaan, disebutkan bahwa ada lebih dari sepuluh keuntungan dari penggunaan ORCID (lihat halaman 12). Menariknya, keuntungan ini berlaku tidak hanya bagi dosen/peneliti, tetapi juga bagi pendana (funders), lembaga (institutions), masyarakat yang distudi (learned societies), dan penerbit (publishers/vendors).

Beberapa yang dapat dikutip di sini adalah (1) ORCID mampu mengelola Altmetrics, sebuah alternatif pengukuran dampak artikel yang berbasiskan non-sitasi (termasuk dampaknya terhadap kebijakan publik dan diskusi orang awam di media sosial), (2) Bagaikan “lem perekat”, ORCID memungkinkan profil seorang dosen dan peneliti untuk disebarluaskan lintas sistem yang beragam, serta (3) ORCID mampu mendeteksi aliran data dari berbagai sumber, mulai dari pengiriman artikel, pengajuan hibah, sampai dengan luaran penelitian. Sebuah grafik riset dapat divisualisasikan berdasarkan ORCID dengan mengikutsertakan informasi peninjauan sejawat, perekaman jejak kemajuan karier riset, dan fasilitas riset; sehingga dapat menggambarkan kualitas riset dari anggota-anggota universitas dan lembaga riset secara lebih utuh dan menyeluruh dari hulu sampai hilir.

Demikian sejumlah usulan saya, yang sebagiannya sudah pula saya sampaikan dalam rangkaian acara Penyusunan Kebijakan Publikasi Ilmiah di Bogor pada 4-5 April 2019 (SURAT TUGAS Nomor : 159/E5/ST/E5.3.1/2019). Terima kasih kepada Kementerian Ristekdikti yang telah memfasilitasi kegiatan yang konstruktif ini.

 

Rujukan Pendamping

Simak pula tulisan saya dan kawan-kawan, sebelumnya, dalam nuansa Sains Terbuka (Open Science):

  1. Jalan Evolusi Bibliometrik Indonesia – Artikel ini juga membahas tentang potensi masifnya korupsi akademik di lingkungan perguruan tinggi, dan bagaimana solusi pluralistik berdasar paradigma sains terbuka.
  2. Democratizing Knowledge for Our Dream – Artikel ini juga membahas tentang rekomendasi untuk mendesak penerbit besar-komersial untuk melaksanakan sitasi terbuka (open citations).
  3. Demokratisasi Pengetahuan #BebaskanPengetahuan – saduran dari Education International (EI) mengenai “Bagaimana penerbit ilmiah komersial membahayakan masa depan ilmu pengetahuan” berbahasa Indonesia dalam Open Science Framework.

Penulis: Juneman Abraham