Dari tahun ke tahun, tidak sedikit kita menjumpai wacana mengenai perlu/tidaknya keberadaan dua buah asosiasi berbasis agama yakni API (Asosiasi Psikologi Islam d/h Asosiasi Psikologi Islami) dan APK (Asosiasi Psikologi Kristiani). Bahkan ada yang menyebut pembentukan asosiasi-asosiasi ini sebagai sebuah “aksiden sejarah”.

Perlu/tidaknya ini dapat dimaknai sebagai dua hal: 1) Perlu/tidaknya eksistensi dilanjutkan, 2) Perlu/tidaknya sebagai dua asosiasi yang terpisah. Jika kita merujuk kepada APA (American Psychological Association), misalnya (catatan: kode etik psikologi dari Himpunan Psikologi Indonesia/Himpsi banyak menerjemahkan dari APA), Divisi 36 adalah Society for The Psychology of Religion and Spirituality  yang, tampaknya, lebih inklusif, apresiatif terhadap keragaman, dan Pancasilais setidaknya dari sisi penamaan. Disebutkan dalam dokumentasinya, bahwa misi organisasi ini adalah:

to understand the significance of religion and spirituality in people’s lives and in the discipline of psychology…. The Society is nonsectarian and does not espouse or endorse any particular religious positions or beliefs. It welcomes psychologists and others from around the world interested in the psychology of religion and spirituality.”

Apakah secara aksiologis, jika (masih) sulit secara ontologis dan epistemologis, kedua asosiasi kita yakni API dan APK dapat kita gagas untuk meleburkan diri dan bersenyawa dalam sebuah Asosiasi Psikologi Religiusitas dan Spiritualitas dalam naungan Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi)?

Lebih-lebih kita akan memasuki tahun politik; kontekstualisasi Gagasan kita bisa menjadi lebih luas & strategis, bukan hanya untuk kepentingan integritas (atau integrasi?) Himpsi melainkan integritas (atau integrasi) Bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini banyak diganggu, dilelahkan, dan dikoyak dgn sentimen keagamaan yang dalam pengalaman berbangsa kita akhir-akhir ini banyak dinilai sebagai “unnecessary“. Rujuk juga: Pesan Ketua Umum Himpsi pada Peluncuran Logo 58 Tahun Himpsi . Bukankah Himpsi sudah tak teragukan komitmennya, dengan mengajak, dalam dokumen tersebut:

“HIMPSI mengajak kita semua untuk kembali membulatkan, kembali menegaskan identifikasi sosiopsikologis kita sebagai warga bangsa Indonesia, yang sejatinya bukan berpangkal dari kesamaan kesukuan, keagamaan, atau pun kesamaan tanah melainkan dari kesepakatan agung kita sendiri itu. Sebuah kesepakatan untuk hidup bersama secara dinamis di atas landasan Pancasila, yang diakui oleh founding father bukan diciptakan melainkan digali dari kearifan kolektif kita sendiri atas rakhmat Tuhan Yang Maha Esa.”

Sebagai salah satu titik kaji persenyawaan kedua asosiasi, kita dapat menganalisis tulisan-tulisan dalam Jurnal Psikologi Islam dan PSIKIS  serta kiprah API. Dalam dokumen tersebut, disebutkan:

“Psikologi Islam melihat manusia seperti yang seharusnya, meletakkannya sesuai perspektif yang benar …. Dalam Psikologi Islam, kita tidak perlu bingung maupun melakukan perdebatan panjang untuk menjelaskan suatu fenomena, karena melalui Islam, the ultimate view dapat diwujudkan; merengkuh segala pandangan yang ada. Berbeda dengan ilmu Psikologi saat ini yang memandang manusia dan hidup sebagai suatu puzzle; lebih pada pembenaran parsial …. Psikologi Islam seharusnya dapat menjadi sumber inspirasi, bukan sumber konflik.”

Dijelaskan pula bahwa API hendak menjadi “sarana perkembangan Psikologi Islam di Indonesia dan sekaligus memberikan banyak kemanfaatan bagi masyarakat luas.” Demikian pula, patut dipertimbangkan tulisan-tulisan Prof. Subandi (Universitas Gadjah Mada), misalnya beliau menulis dalam sebuah risalah berjudul Reposisi Psikologi Islam (2005):

“Memposisikan PI (Psikologi Islam) saat ini sebagai salah satu bagian dari psikologi yang berwawasan religius, atau salah satu bentuk dari indigenous psychology akan lebih mudah diterima oleh kalangan non-muslim maupun sekuler.”

Saya berupaya namun belum menemukan Jurnal Psikologi APK dan kiprah APK, namun pernah membaca Undangan Konsolidasi APK sewaktu Kolokium AP2TPI. Surat tersebut bertanggal 6 April 2017, ditandatangani oleh Prof. Dr. Marthen Pali, Ketua Program Studi Psikologi Universitas Pelita Harapan Surabaya, selaku konvokator; beliau merupakan alumnus Prodi Konseling IKIP Malang, serta alumnus program Magister dan Doktor Psikologi dari Universitas Indonesia . Dalam surat tersebut, disebutkan pula:

“Asosiasi ini sifat keanggotaannya adalah perorangan dan terbuka kepada anggota Himpsi yang mempunyai minat studi pada isu-isu yang berkaitan antara Psikologi dan Kekistenan [untuk] dapat memuliakan Tuhan dan meningkatkan kesejahteraan sesama manusia melalui pengembangan Asosiasi ini di lndonesia.”

Surat tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh UPH Surabaya dengan mengadakan Seminar Nasional Fakultas Psikologi dan Liberal Arts pada 30 Juni 2018 mendatang, bertajuk “Membangun Manusia Indonesia yang Holistik dalam Kebhinekaan“, dengan pembicara sesorah-nada-dasar (keynote speakers): Prof. Dr. Sutarto Wijono, Prof. Adrianus Mooy, Yenny Wahid, dan Bambang Noorsena. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah sub-sub tema dari Call for Paper, yakni (a) Membangun manusia Indonesia secara holistik melalui pendidikan, (b) Pegembangan karakter sebagai pilar pembangunan manusia Indonesia yang holistik, (c) Perilaku sosial, komunitas, dan masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (d) Peran industri, teknologi informasi, dan komunikasi dalam pembangunan manusia Indonesia, (e) Peran keluarga, sekolah, komunitas, dan organisasi dalam membangun manusia Indonesia yang holistik, (f) Spiritualitas, religiusitas, dan deradikalisasi dalam masyarakat Indonesia yang plural, (g) Integrasi antara ilmu pengetahuan, iman, dan kebudayaan manusia Indonesia, dan (h) Meningkatkan daya saing manusia Indonesia untuk menyongsong Bonus Demografi 2030.

Belum lama ini, terbit juga Jurnal Filsafat dan Teologi STTF Jakarta dengan visi “Theologia in Loco“. Dijelaskan dalam dokumen, bahwa:

“Theologia in Loco merupakan istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Prof. Dr. Muller Kruger, ketua pertama Sekolah Tinggi Teologi/Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta. Prof. Kruger sejak semula mendorong Theologia in Loco atau teologi lokal …. untuk memberikan tanggapan terhadap situasi-situasi yang senantiasa berubah dalam konteks Indonesia …. [dimana] Konteks Indonesia dapat dilihat secara multi-layer, yaitu konteks Indonesia secara nasional, konteks Indonesia dengan berbagai gereja, sudut pandang teologi, suku, maupun agama.”

Apabila menilik pernyataan-pernyataan eksponen API dan APK, saya mengidentifikasikan bahwa sesungguhnya terdapat indikasi titik-titik temu, seperti tampak pada:

(1) Hasrat untuk tidak memandang manusia secara parsial, melainkan memahami manusia secara holistik beserta dimensi keagamaan dan spiritualitasnya;

(2) Kehadiran psikologi islam/kristiani bukan sebagai sumber konflik, melainkan meningkatkan kesejahteraan sesama manusia;

(3) Berangkat dari keprihatinan (perhatian) terhadap isu-isu atau fenomena praktis tentang manusia;

(4) Keinginan baik API maupun APK untuk terbuka dan diterima oleh kalangan di luar agamanya sendiri; serta

(5) Ingin tetap relevan dan berakar pada konteks indijenus Indonesia.

Sudah barang tentu, kajian menuju integrasi ini, bila disepakati, sangat memerlukan kecermatan. Gagasan ini sekaligus untuk, barangkali, pertama kalinya Himpsi mengadakan kajian etika preskriptif, bukan hanya etika deskriptif pada tingkat tubuh (dan jiwa) organisasinya sendiri.