Puasa sebentar lagi. Seiring dengan mendekatnya puasa, semakin banyak pula undangan lamaran dan pernikahan yang berdatangan. Entah kenapa, mungkin karena dianggap sebagai “tanggal baik”, mungkin juga supaya ketika puasa sudah ada pasangan hidup yang menemani.

 

Persiapan pernikahan bukanlah perkara yang mudah dan murah. 27.8% pasangan yang mengikuti survey Bride Story tahun 2016 menghabiskan 10-12 bulan untuk persiapan pernikahan, 21.5% lainnya bahkan menghabiskan lebih dari 12 bulan. Pengeluaran untuk biaya pemotretan pranikah (prewedding photo shoot) saja bisa mencapai 7-10 juta rupiah (51.6% partisipan survey). Untuk undangan 1000 orang, total biaya resepsi ala nasional bisa mencapai 140 juta rupiah (tirto.id, 2018). Betapa mahalnya biaya resepsi ya. Setara dengan harga sebuah mobil baru!

Jadi tidak heran, ketika ada pembicaraan seperti ini:

“Ini aja masih kurang banget.  Lo tahulah keluarga banyak request..”

“Tolong banget, gue malu sampai pesta gue kekurangan..”

“Gue juga mau punya pernikahan impian kayak pernikahan lo. Emang salah?”

Kutipan tersebut diambil dari posting facebook tentang chat dua orang perempuan. Seorang perempuan yang sedang merencanakan pernikahan berusaha meminjam uang ke temannya. Salah satu alasan ialah karena ia malu jika pestanya berkekurangan. Padahal, di bagian chat yang lain, ia sendiri menjelaskan bahwa ekonominya pas-pasan. Apa yang mendorong seseorang menghabiskan uang lebih dari pemasukannya? Apa dampak overspending pada kondisi psikologis seseorang? Bagaimana pula dampaknya ke relasi? 

 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan saya bahas dalam dua buah tulisan: 1) Perbandingan Sosial, Kebahagiaan dan Pernikahan, 2) Mengatasi Perangkap Perbandingan.

 

Perangkap Perbandingan

Pertama-tama mari kita bahas apa yang membuat si perempuan di atas merasa perlu punya pernikahan impian, sampai rela meminjam uang. Contoh percakapan tersebut dapat dijelaskan dengan social comparison theory. Manusia memang memiliki kecenderungan untuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Seringkali manusia membandingkan diri dengan orang lain yang “dekat” denganya. Misalnya, seumur, satu almamater, atau satu profesi. Perbandingan ini ada gunanya, untuk menakar kemampuan yang dimiliki, dan mengecek akurasi pandangan tentang diri kita sendiri. Misalnya, seorang manager HRD yang membandingkan karirnya dengan karir rekan seangkatan ketika kuliah. Awalnya ia merasa karirnya berjalan dengan lambat. Akan tetapi, ketika ia melihat bahwa rekan-rekannya sebagian besar masih menjadi supervisor, maka ia akan bisa lebih menghargai posisi karirnya yang lebih tinggi. Akhirnya, ia menjadi lebih percaya diri.

Ada kalanya seseorang membandingkan diri dengan seseorang yang berada di “atas” dirinya. Persis seperti contoh perempuan di atas. Ia melihat pesta perkawinan temannya yang (anggap saja) megah, dan merasa bahwa ia juga perlu memiliki pesta sekaliber demikian. Padahal kenyataannya, kemampuan ekonomi yang dimiliki saat ini belum mencukupi. Perbandingan ke atas ini dapat menimbulkan kurangnya rasa menghargai diri sendiri (low self-esteem). Penelitian memperlihatkan bahwa rendahnya rasa menghargai diri sendiri justru membuat seseorang semakin menganggap materi merupakan hal yang penting dalam hidup, akhirnya jadi semakin kompulsif dalam berbelanja (Yurchisin & Johnson, 2004).

Jadi, kenapa ada orang-orang yang berusaha keras menjalani gaya hidup yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonominya? 1) mereka membandingkan diri ke atas, 2) mereka memiliki self-esteem yang rendah, 3) menganggap bahwa materi adalah yang penting dalam hidup, lebih penting dari prestasi, atau hubungan yang hangat dengan orang lain.

 

Pernikahan Mahal dan Kualitas Hubungan

Seseorang yang menilai kesuksesan hidup dari materi cenderung tidak bahagia, dan memiliki kualitas hubungan yang relatif rendah. Demikian juga dengan relasi pernikahan. Di satu sisi, penelitian dari Virginia University menemukan bahwa semakin banyak tamu yang diundang ternyata berkorelasi dengan kualitas hubungan setelah menikah. Akan tetapi, riset lainnya dari Emory University menemukan bahwa semakin banyak uang yang dihabiskan untuk acara pernikahan semakin tinggi kemungkinan untuk perceraian. Secara lebih spesifik, penelitian tersebut menemukan bahwa wanita yang menghabiskan 20.000 USD (sekitar 305 juta rupiah) untuk pernikahan ternyata 3.5 kali lebih mungkin untuk bercerai dibandingkan wanita yang menghabiskan 5.000 – 10.000 USD (76 – 153 juta rupiah) untuk pesta pernikahan (Dennison, 2016). Ternyata, pernikahan yang megah dan mahal tidak selalu berujung pada relasi suami istri yang bahagia. Hal yang paling penting adalah Anda meresmikan status baru dan berbagi kebahagiaan hari pernikahan dengan orang-orang terdekat. Toh, ada berbagai cara untuk melangsungkan pernikahan yang resmi, dengan dana terbatas. Pertanyaannya: apakah Anda mau?

 

Lalu, bagaimana melindungi diri dari jebakan perbandingan sosial? Mari cek artikel berikutnya…

 

 

Referensi:

Dennison, R. P. (2016). When it comes to weddings, does cost really matter?. Diunduh dari: https://www.psychologytoday.com/us/blog/heart-the-matter/201604/when-it-comes-weddings-does-cost-really-matter

Yurchisin, J., Johnson, K. K. P. (2004). Compulsive Buying Behavior and Its Relationship to Perceived Social Status Associated with Buying, Materialism, Self-Esteem, and Apparel-Product Involvement. Family and Consumer Sciences. 3    2 (2), 291-314.

 

Penulis: Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi., Psikolog, dosen psikologi klinis di Universitas Bina Nusantara, mahasiswa S3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Praktek di Lab & Psychological Services, Universitas Bina Nusantara.