Pernah tidak terpikirkan bahwa cara orang mengkategorisasikan benda itu ternyata berbeda-beda lho! Misalnya bagi orang Barat (i.e., Eropa dan Amerika misalnya), alpukat itu dikategorisasikan sebagai sayuran, bukan sebagai buah layaknya bagi orang Asia seperti kita ini! Cara mereka memakan alpukat pun layaknya dimakan sebagai sayur, misalnya dicampur dalam salad, tapi mereka tidak pernah memperlakukannya sebagai buah, misalnya dibuat juice. Bahkan di supermarket pun, alpukat ditemukan di rak bagian sayuran, berbeda dengan supermarket di Indonesia yang meletakan alpukat diantara buah-buahan lainya. Selain alpukat, contoh lainnya adalah cumi-cumi, yang menurut orang yang berbahasa Belanda adalah salah satu bentuk ikan, sedangkan bagi orang yang berbahasa Indonesia dan Inggris, cumi-cumi bukanlah ikan (Djalal, Voorspoels, Heyman, & Stroms, 2016). Lalu, bagaimana setiap kultur bisa mengkatorgarisasikan benda yang sama namun dengan cara yang berbeda-beda?

Biasanya orang mengkategorisasikan benda itu berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki benda tersebut (Rosch & Mervis, 1975; Smith & Medin, 1981), misalnya jika kita melihat sebuah makhluk asing yang belum pernah kita temui sebelumnya, kita akan mulai mengamati ciri-ciri apa saja yang dimiliki makhluk tersebut. Walapun bentuknya asing, misalnya setelah diamati makhluk tersebut ternyata memiliki sayap, berbulu, bertelur, dan bisa terbang, biasanya kita akan mengkatergorisasikannya sebagai burung (walaupun penguin adalah satu jenis burung yang tidak bisa terbang!) Nah, anehnya ternyata penamaan benda pun bisa mempengaruhi bagaimana orang-orang mengelompokan benda tersebut berdasarkan namanya.

Salah satu penelitian dari Djalal et al. (2016) menemukan bahwa nama objek atau benda dapat mempengaruhi bagaimana orang mengkategorisasikan benda tersebut. Mereka melakukan studi menggunakan partisipan dari tiga Bahasa, yaitu Indonesia, Belanda, dan Inggris. Dalam studinya, mereka menanyakan partisipan sejauh mana hewan tertentu dapat dikatakan sebagai anggota dari kategorisasi tertentu. Dalam skala 1 hingga 10, misalnya sejauh mana bintang laut dapat dikatakan sebagai anggota dari kategori ikan? Hewan-hewan yang dipilih dalam penelitian tersebut adalah hewan yang memiliki referensi nama kategorisasi dalam satu Bahasa (e.g., burung hantu; burung menandakan referensi kategori burung) namun jika diterjemahkan kedalam Bahasa lainnya, referensi kategori tersebut hilang (e.g., owl dalam Bahasa Inggris dan uil dalam Bahasa Belanda; tidak ada referensi terhadap kategori burung didalamnya). Atau contoh lainnya adalah jellyfish dalam Bahasa Inggris dimana terdapat referensi terhadap kategori fish atau ikan, namun jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menjadi ubur-ubur dan dalam Bahasa Belanda kwal (tidak ada referensi kategori apapun dalam kedua Bahasa).

Jadi dari penelitian tersebut, mereka menyimpulkan bahwa bagi orang yang berbahasa Inggris (native English), ubur-ubur adalah ikan, tapi tidak halnya bagi orang Indonesia dan orang Belanda! Tidak cuma sampai disitu, penelitian selanjutnya Djalal, Voorspoels, Stroms, & Heyman (2018) memasangkan hewan-hewan yang “ambigu” ini, dengan hewan yang dianggap sebagai anggota dari kategorisasi tertentu. Misalnya, partisipan ditanyakan seberapa mirip ubur-ubur dengan ikan salmon dalam skala 1 hingga 10 (i.e., how similar is jellyfish to a salmon?). Ternyata eh ternyata, bagi orang yang berbahasa Inggris (native English) ubur-ubur mirip dengan ikan salmon, tak hanya itu bagi mereka landak (hedgehog; dimana hog artinya adalah babi hutan) dinilai mirip dengan pig (babi) dibandingkan penilaian orang Belanda!  Sebaliknya, bagi orang Belanda cumi-cumi (inktvis dimana vis artinya adalah ikan) dianggap mirip dengan ikan haring; dan rakun (wasbeer dimana beer artinya adalah beruang) dinilai mirip dengan panda!

Nah, hasil penelitian-penelitian di atas menunjukan bahwa, ketika kita mencoba memahami sesuatu entah itu benda, hewan, buah, atupun furnitur, dan mencoba mengkatorisasikannya, tidak hanya ciri-ciri dari objek tersebut yang bisa membuat kita mengelompokannya kedalam kategorisasi tertentu. Namun ternyata nama yang dimiliki objek pun bisa mempengaruhi bagaimana cara seseorang mengekategorisasikan objek. Dan serunya lagi, tiap kultur bisa memandang suatu benda yang sama, dan memahaminya dengan cara yang berbeda, hanya karena berdasarkan namanya saja!

Ayo, lain kali jika kalian sedang liburan ke negara lain, coba perhatikan bagaimana peng-kategorisasian benda-benda di supermarket! Apa sama persis dengan di Indonesia?