Pada tanggal 23-27 Juli 2018 yang lalu, penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan EMDR Level 1 di Chiangmai. Cerita bagaimana penulis bisa terlibat dalam pelatihan yang merupakan bagian dari Mekong Project III ini pernah dituliskan di link ini. Pelatihan untuk menjadi terapis EMDR dalam Mekong Project III ini terdiri dari beberapa level, level pertama adalah pengenalan mengenai Psychological First Aid dan Trauma (level 0), level selanjutnya ialah pengenalan mengenai Adaptive Information Processing (AIP, landasan teori dari terapi EMDR) dan 8 fase terapi EMDR (level 1), dan dua level berikutnya (level 2 dan 3) mengenai aplikasi EMDR dalam berbagai gangguan, seperti pada korban kekerasan berbasis gender, phobia, depresi, hingga aplikasi EMDR pada anak.

Tim EMDR Indonesia di Training EMDR Level 1 – Mekong Project III – Juli 2018

 

Pelatihan ini adalah pelatihan pertama penulis sebagai supervisor / consultant yang terakreditasi oleh EMDR Europe Association. Untuk mendapatkan akreditasi consultant ini, penulis melalui pelatihan dan pengambilan kasus selama hampir dua tahun, sejak Juli 2015 hingga Maret 2017 bersama-sama dengan 9 rekan dari Indonesia, Kamboja, dan Thailand. Sebagian kisah supervisory training EMDR pernah penulis tuliskan di link ini. Selain dari yang tertulis, penulis juga melalui “ujian” micro teaching mengenai konsep EMDR selama 10 menit, dalam bahasa Inggris dan dievaluasi oleh Dr. Derek Farrell selaku trainer utama dalam pelatihan tersebut. Standar yang diterapkan memang tinggi, bahkan penulis sempat tidak lulus micro teaching sampai harus mengulang. Penulis tidak sendirian, hanya 1 dari 9 peserta pelatihan supervisor yang berhasil lulus dalam  satu kali ujian micro teaching. Sisanya, lulus pada percobaan kedua. Selain ujian mengajar, penulis juga harus melakukan clinical practice menggunakan EMDR dalam pengawasan supervisor senior. Sykurlah penulis bisa lulus clinical practice dalam satu kali praktek.

Pelatihan kali ini merupakan pelatihan yang spesial, karena dalam satu waktu berjalan beberapa pelatihan sekaligus. Pelatihan pertama ialah pelatihan bagi peserta yang baru belajar terapi EMDR. Pada akhir dari pelatihan ini (Juli 2019) maka peserta akan mendapatkan sertifikat sebagai terapis EMDR. Pelatihan kedua ialah pelatihan bagi calon supervisor. Mereka telah mendapatkan sertifikat sebagai terapis EMDR pada tahun 2017 yang lalu, dan akan melalui pelatihan yang sama dengan apa yang telah penulis lalui. Pelatihan ketiga ialah bagi calon trainer. Peserta pelatihan ini ialah para supervisor senior yang sudah sangat lama belajar EMDR, beberapa diantaranya sudah mempraktekkan EMDR selama 9 tahun! Selain itu, pada waktu yang bersamaan, juga berjalan pelatihan trauma counselor bagi beberapa peserta yang bukan berasal dari latar belakang psikologi/kedokteran. Bisa dibayangkan bagaimana padatnya jadwal pelatihan.

Bagi para calon terapis EMDR, pelatihan berjalan dari pukul 09.00 – 16.00. Sedangkan bagi calon supervisor, masih ada sesi “core team meeting” pada pukul 19.00-21.30. Pada core team meeting, para calon supervisor melaporkan ke trainer utama mengenai apa yang mereka amati dari sesi praktikum dan sesi diskusi kelompok dari peserta. Sedangkan bagi para calon trainer, tugas mereka adalah membantu panitia menyelenggarakan pelatihan bagi trauma counselor.

Lalu, apa tugas penulis sebagai supervisor? Pada training kali ini, penulis bertugas menjadi mentor untuk dua orang calon supervisor dari Kamboja, satu orang dokter dan satu lagi seorang psikolog klinis. Tugas mentor adalah mengobservasi calon supervisor dan memberikan feedback baik kepada mentee maupun kepada trainer utama. Selama pelatihan, calon supervisor memiliki beberapa tugas, yaitu: 1) memfasilitasi kelompok diskusi peserta yang diadakan di setiap akhir hari. Output dari kelompok diskusi ini ialah komentar dan pertanyaan dari peserta. Supervisor akan mengetahui sejauhmana peserta menyerap materi hari ini dan apakah ada pertanyaan yang masih mengganjal, 2) mengobservasi sesi praktikum. Supervisor diharapkan bisa mengawasi dan memberikan masukan pada peserta yang menjalankan praktikum, 3) melaporkan hasil diskusi dan observasi ke trainer utama, pada sesi core team meeting. Nah, tugas penulis sebagai mentor adalah mengawasi dan membantu calon supervisor menjalankan tugas mereka, dan memastikan bahwa calon supervisor memiliki pengetahuan tentang EMDR yang memadai untuk bisa menjawab pertanyaan dari peserta.

Penulis (paling kiri) bersama mentee: Lim Phana (di sebelah kanan penulis), Psikolog Klinis, dan dr. Rith (paling kanan), Psikiater dari Kamboja, dan kelompok diskusi kami.

 

Pengalaman sebagai mentor merupakan pengalaman berharga bagi penulis, karena turut mengasah kemampuan memberikan feedback, serta pengetahuan tentang AIP dan 8 fase EMDR terapi. Suatu kemampuan yang memang harus dimiliki seorang consultant EMDR. Jadi, sambil menjadi mentor, sebetulnya penulis juga sedang belajar mengasah kemampuan lebih lanjut. Pengalaman ini tambah menarik karena perlu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, dengan mentee dari negara lain. Jadi, turut mengasah kemampuan berbahasa Inggris penulis. Tugas penulis sebagai mentor belum selesai, masih ada setidaknya dua kali lagi pelatihan EMDR dimana penulis akan bertemu dengan para mentee. Nantikan cerita selanjutnya ya ?

 

Tentang penulis:

Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi., Psikolog ialah seorang psikolog klinis dewasa yang tertarik dengan isu hubungan romantis baik pacaran maupun pernikahan, serta trauma. Telah mengikuti workshop Couple and Family Therapy, serta sertifikasi terapis EMDR, dan sertifikasi alat ukur kepribadian Lumina. Bisa dihubungi di pingkan_rumondor@binus.ac.id.