Elyza Novia Kohar, mahasiswi semester 5, mendapatkan kesempatan oleh Jurusan Psikologi untuk mengikuti Forum Human Capital Indonesia Summit 2017 selama dua hari. Berikut adalah rangkuman pengalaman yang ia dapatkan. Berikut adalah catatan hari kedua. Untuk catatan hari pertama, bisa dibaca di Forum Human Capital Indonesia (FHCI) Summit 2017 [Hari 1].

Hari Kedua, 10 November 2017

Keynote Panel 2: Encourage Spirit of Crating Innovaion Ecosystem oleh Cahyana Ahmadjayadi

Perubahan digital atau teknologi adalah perubahan yang besar bagi dunia, perubahan ini dapat menjadi tantangan bagi setiap organisasi yang ada di Asia. Diperlukan pembangunan spirit yang dapat memunculkan inovasi ekosistem. Teknologi dan Humanity akan saling berkompetisi, teknologi akan terus berkembang menghasilkan hal-hal yang bisa dilakukan oleh manusia sehari-hari sehingga kita manusai harus menemukan cara untuk menyesuaikan diri bahkan lebih berkembang daripada teknologi tersebut. Lalu, yang bisa dilakukan organisasi adalah menggalakkan trend saat ini, semangat dalam melakukan inovasi, mendidik talent, serta mengatur ekosistem. Menemukan top talent adalah pekerjaan rumah bagi seluruh Human Capital di dunia.

Menurut Cahyana Ahmadjayadi bahwa ekosistem adalah hal yang paling utama, membangun ekosistem yang nyaman adlaah salah satu cara agar top talent tidak menghilang. Ekosistem seperti apakah yang nyaman? Dunia saat ini sudah tidak dapat ditebak lagi pergerakkannya, kemajuan inovasi serta teknologi maju dengan sangat pesat. Hal apakah yang saat ini sedang mendunia? Jawabannya adalah Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan telah berhasil mengembangkan industri kreatif negaranya secara mendunia. Dengan aktor dan aktris yang berpenampilan menarik, cerita drama korea yang menarik dan menjadi impian orang banyak, serta dukungan penuh pemerintah untuk mempromosikan budayanya menjadi faktor-faktor yang menjadikan Korea Selatan saat ini sangat mendunia.

Selain itu juga ada negara Estonia yang berada di Eropa Timur yang pada saat ini tengah menjalankan dan mengembangkan E-residency dan E-citizens, yang menjadikan bahwa mereka dapat menjadi bagian negara tersebut cukup dengan mendaftar via online saja dan mengurus berkas-berkasnya melalui komputer mereka. Hal yang unik, yang mengikuti perkembangan saat ini, yang menjadikan ancaman juga bagi kewarganegaraan kita. Dengan akses semudah itu dapat menjadi lirikan bagi para masyarakat di dunia untuk memperoleh kemudahan menjadi seorang warga negara. Maka kita harus memilih untuk membuat Disruptive Inoovation or Die? Ekosistem yang nyaman dapat dibentuk dengan memberikan cahllenge, pengajaran, serta suatu event atau hal yang memang bermanfaat bagi talent kita. Memberikan suatu tempat atau platform untuk meningkatkan sumber daya yang kreatif dengan segala perbedaan yang ada. Melalui teknologi yang mumpuni, serta sumber pengetahuan yang luas, akan menjadikan inovasi terbentuk dan ekosistem inovasi dapat muncul.

Marilah kita belajar dari negara Asia seperti Korea Selatan yang menerima berbagai kreativitas bangsanya serta China yang memilki semangat akan inovassi yang sangat tinggi. Salah satu yang memukau dari negara China adalah Inovasi dengan Kecepatan Budaya mereka bahwa mereka pernah membangun 57 gedung pencakar langit di China hanya dalam waktu 19 hari. Motivasi atau keinginan menang yang tinggi menjadikan bangsa mereka berdedikasi untuk berhasil menyelesaikan proyek itu hanya dalam waktu yang singkat, merupakan inovasi yang sangat membanggakan. Formula yang dimiliki oleh China adalah Capability + Environment + Action adalah menjadi semangat inovasi yang dimiliki oleh China. Bahwa dengan budaya dan visi yang dimiliki oleh China serta pengetahuan yang luas menjadikan kapabilitas mereka cukup tinggi untuk mewujudkan negara yang sesuai dengan visi mereka. Bahwa pemikiran seorang inovator awadalah harus sesuai dengan budaya, attitude, dan juga perilaku mereka dengan kemauan untuk berbagi, dan berkolaborasi.

 

Keynote Panel 2: Strengthening Digital Leadership Competencies and Lifelong Learning for Skills Enchancement oleh Signe Spencer

Signe Spencer menyatakan bahwa terdapat beberapa prinsip, prinsip pertama bahwa setiap keberhasilan ataupun inovasi tidak pernah dilakukan oleh orang itu sendiri melainkan akan ada bantuan ataupun kerja sama individu dengan orang lain ataupun institusi. Pembicara sebelumnya membicarakan mengenai ekosistem maka ini mengenai mindset, bahwa inovasi adalah pembelajaran seumur hidup, bahwa otak kita bersifat plastik mereka dapat berubah. Prinsip kedua adalah tidak ada orang lahir jenius ataupun sebagai seorang pemimpin dan inovator. Melainkan kita belajar untuk memperoleh kompetensi tersebut. Prinsip ketiga adalah tidak ada seseorang yang sukses terus menerus ataupun seseorang yang gagal terus-menerus. Pada era digital transformation ini, terdapat suatu tantangan yaitu adalah kemampuan untuk cepat menyesuaikan diri dengan transformasi itu. Terdapat 5 dimensi kritikal dalam digital sustainbility, yaitu agility, connectivity, dicipline and focus, empowerment and alignment, dan openness and transparancy. Seorang pemimpin harus bisa memiliki 5 dimensi kritikal tersebut dalam menjalankan kepemimpinannya. Oleh karena itu, kualifikasi seorang pemimpin itu harus inclusive, mendengarkan, serta rendah hati sehingga akan tercipta ekosistem yang nyaman di dalam lingkungan kerja. Kemampuan untuk belajar juga menjadi hal yang penting bagi seorang pemimpin. Mereka dapat mengarakteristikkan Emotional Intelligence yang salah satunya adalah empati, yang dapat menerima segala perspektif dari orang lain sehingga akan tercipta resilien, yaitu pada saat seseorang berkata bahwa ini adalah hal yang sulit namu mereka akan tetap bangkit dan mau melakukannya.

Kita membutuhkan pemimpin yang mendengarkan, inclusive, dan rendah hati namun hal ini sangat jarang ditemukan, karena berfokus pada permasalahan dan tantangan yang akan dihadapi saja. Sehingga kita perlu untuk mencoba hal baru, bersedia mengambil langkah baru, serta mau untuk belajar. Dari hasil pembelajaran tersebut kita akan mampu untuk mendorong orang lain untuk menyelesaikan tugas mereka dengan baik. Sehingga melalui sesi ini diperoleh simpulan bahwa diperlukan pemimpin yang inclusive, listening, dan juga humble untuk menghadapi digital transformation yang merupakan perubahan besar dunia saat ini.

 

Plenary Session 3: Creating World Class Innovator and Entrepreneurs oleh Firdaus Alamsjah

Pada sesi ini menjelaskan bagaimana membuat transformasi terbaik dalam membentuk orang-orang yang berinovasi. Dalam membuat suatu project atau menjadi seorang project manager diperlukan suatu timeline atau milestone, suatu target yang jelas di setiap harinya dan bagaimana kita mencapai target-target tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa akan terdapat banyak  rintangan dalam membentuk suatu inovasi yaitu dalam keberanian mengambil risiko, waktu, sumber daya, serta staff yang diperlukan. Diperlukan suatu proses transformasi dalam menghasilkan dan meningkatkan inovasi tersebut. Bahwa dalam menjalani dan menghadapi rintangan tersebut diperlukan unutk melihat kondisi organisasi kita saat ini sehingga dapat diperoleh strategi dan tak tik yang tepat untuk mengeksekusi hal tersebut, setelah dieksekusi pun kita tetap harus membandingkan dengan hasil sebelumnya ataupun perbandingan dengan organisasi lainnya untuk melihat apakah inovasi yang kita lakukan ini telah sesuai dan terjalankan dengan baik.

Bapak Firdaus mengatakan bahwa keberanian untuk melakukan hal-hal yang berbeda dan mulai dari yang kecil tapi berjalan dengan cepat akan mendorong sebuah inovasi yang besar. Janganlah kita terlalu banyak berpikir tapi berpikir dengan cepat dan eksekusi dengan segera, karena apapun yang kita lakukan pasti akan ada plus dan minusnya sehingga jangan terlalu banyak dipikirkan dan dijalankan dengan apapun plus dan minusnya.

 

Concurrent Session 3: Talent Nurturing for Business Transitioning oleh Sylvano Damanik dan Ihsanuddin Usman

Pada sesi ini dijelaskan bahwa rasa kepedulian yang tinggi adalah cara untuk membentuk dan mendidik heroes, dengan memberikan dukungan, harapan, kepedulian, dan komitmen untuk membangun adalah bentuk dari nurturing. Sesi ini dmulai oleh Bapak Ihsan selaku Senior VP Human Capital PT Pertamina. Salah satu heroes yang identik dari Pertamina adalah Rio Haryanto pembalap F1 Indonesia yang pernah berhasil melebarkan sayapnya di dunia. Meskipun saat ini Rio tidak dapat melanjutkan kembali aksinya di circuit balap dunia, namun catatan prestasinya telah berhasil mengharumkan bangsa Indonesia di ajang F1 dunia. Beliau mengakui bahwa Rio adalah salah satu bentuk prestasi dan juga hal yang disayangkan karena tidak bisa melanjutkan karirnya, namun hal ini harus menjadi pembelajaran bagi kita semua mengenai bagaimana nurturing itu sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan teknologi terjadi sangar besar, sehingga diperlukan beberapa kompetensi seperti autenthicity, agility, fostering, achieving orientation, dan customer orientation. Hal yang selalu disebutkan dalam kompetensi yang dibutuhkan dalam Human Capital saat ini adalah agility. Ketangkasan (agility) sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis, bahwa kita harus cepat dan tangkas dalam menghadapi perubahan yang ada, harus menjad yang terdepan dibandingkan yang lainnya. Dalam nurturing hal yang sangat diperlukan dan penting adalah succession management. Menemukan talent yang tepat untuk melanjutkan dan mengembangkan organisasi kita.

Salah satu hal menarik yang terjadi di Pertamina adalah fenomena calon Supervisor Dipo Pertamina di Sumatera Utara yang baru saja berumur 27 tahun. Umur 27 tahun terbilang muad untuk menjadi seorang supervisor. Suatu hal yang sangat riskan namun juga menunjukkan bahwa kompetensi adalah penentu dari jenjang karir bukan umur dan lama bekerja di institusi tersebut. Keberanian Human Capital Pertamina untuk menjadikan pria tersebut sebagai seorang supervisor adalah langkah yang objektif dan cukup berani. Maka idealisnya bahwa penjelasan karir dan bagaimana seseorang memperoleh karir tersebut harus dijeaskan dari awal, hal ini yang disebut sebagai employee value proposition. Dalam talent nurturing, perusahaan juga butuh untuk melakukan investasi bagi para pegawainya. Mencari feedback dari setiap project coordinatoornya ataupun juga mmebuat program yang bisa memberikan value bagi project coordinatoor adalah hal yang harus diperhatikan. Kedua hal ini akan membuat pegawai merasa dilibatkan atau diberikan tanggung jawab bukan hanya merasa memiliki keterikatan saja dengan project tersebut.

 

Talkshow: Cultivating a Culture of Innovation to be a Great Nation

Pada sesi talkshow ini menghadirkan Wishnutama sebagai CEO PT. Net Mediatama Televisi serta Lyra Puspa selaku Founder, President, and Master Coach Vanaya Institute. Pada sesi ini Wishnutama berbagai mengenai Inovasi dan How to manage millenaials. Seperti yang diketahui bahwa NET adalah salah satu perusahaan TV ternama di Indonesia yang hampir seluruh pekerjanya adalah generasi millenial.

Menurut Wishnutama justru bekerja dengan kaum milenials adalah hal yang menyenangkan dan menguntungkan. Jika kita memberikan suatu hal yang relevan atau “kece” menurut mereka maka kita akan bisa bekerja sama dengan merka, kita memberikan apa yang merka inginkan maka mereka akan bisa dikontrol dan loyal terhadap kita. Gunakan juga bahasa yang tidak negatif dan selalu positif yang akan menjadi motivasi bagi mereka sehingga akan ada vision, manfaat, dan perubahan yang positif yang disebut sebagai loyal.

Selain itu ada Lyra Puspa yang juga merupakan seorang neuroscientiest yang melihat pola pikir Wishnutama sebagai salah satu contoh Inovator yang disruptive. Pola pikir yang open to ideas yang menjadikannya mampu untuk menciptakan budaya berinovasi. Kualifikasi seorang pemimpin adalah seseorang yang mau memperhatikan bahwa dunia saat ini sedang berubah, dengan sifat rendah hati dan kemanusiaan hal ini akan menjadikan seorang leader yang Global Listening yang mau mendengar dunia. Bahwa dengan pemikiran yang berkembang (growth mindset) dengan mau melihat kegagalan sebagai suatu peluang, berani menghadapi tantangan, dan menerima setiap feedback yang ada adalah suatu pemikiran seorang inovator. Pemikiran yang berkembang ini juga akan menghasilkan dopamine yang menjadikan diri kita lebih positif dan tenang. Janganlah kita berpikir tetap (fixed mindset) yang hanya melihat berdasarkan hasilnya saja sehingga jika ada kegagalan akan menjadi frustasi yang menghasilkan senyawa serotonin.

Lyra juga mengatakan bahwa pada saat rileks otak kita juga akan lebih mudah mendapatkan ide-ide, karena pada jika kita berpikir pada saat tertekan maka otak kita akan menjadi stress sehingga sulit untuk mensintesis. Maka dari itu untuk mendorong pegawai dalam menghasilkan suatu univasi diperlukan pengertian yang tulus kepada pegawai, perlindungan dalam setiap ide baru, mendorong ide-ide tersebut dari setiap orang, sehingga dapat mengkolaborasikan ide-ide tersebut yang menjadikan inovasi muncul dalam organisasi. Otak juga bisa dilatih karena memiliki sifat neuroplasticity, bahwa tidak diperlukan pemikiran atau menforsir diri secara berlebihan dalam melakukan sesuatu namun hanya dengan pemikiran yang rileks serta motivasi yang baik juga dapat menghasilkan hasil yang lebih baik daripada kita terlalu memforsir diri sendiri untuk menghasilkan suatu inovasi.

 

Summary FHCI selama 2 hari ini,

Topik Digital Transformation sangat terasa pada Summit tahun ini, dengan adanya perubahan global yang pesat dalam bidang teknologi kita diharapkan dapat siap menghadapi hal tersebut baik dalam memperoleh talent, mengembangkan talent, menarik perhatian, mejadi pemimpin yang siap dalam era digital, menjadi organisasi yang disruptive dan inovatif, serta siap dalam menghadapi tantangan apa saja yang ada di kedepannya. Dengan mampu menjadikan Human Capital Indonesia yang siap menghadapi perubahan dan menjadi negara yang disruptive akan mendukung menjadikan sumber daya dan negara ini sebagai negara yang maju dan berkembang.