No wi-fi, no life. No internet quota, no-life, adalah motto atau saying yang sangat tepat untuk menggambarkan hidup manusia di zaman sekarang yang bisa disebut “digital now”. Apa buktinnya? Mungkin beberapa pemandangan atau pengalaman berikut ini tidak asing bagi kita:

  • Orang banyak terlihat sibuk dengan telepon genggamnya meskipun mereka sedang duduk berhadapan menunggu makan malam tersedia. Apa yang dilakukan? Scrooling linimasa media sosial (sekarang tidak hanya linimasa, tetapi ada fitur baru yang ditawarkan beberapa apps yakni story), menonton video di portal Youtube, chatting menggunakan aplikasi message
  • Salah seorang teman memberikan selamat ulang tahun dengan menuliskan ucapannya di linimasa media sosialnya meskipun memiliki nomor teleponnya (memilih menunjukkan “perhatian” agar dapat dilihat oleh semua orang yang seharusnya ditujukan kepada satu orang terdekat ketimbang menekan tombol dial dan mengucapkan selamat secara langsung).
  • Ada orang tertentu yang setiap harinya menggunakan salah satu media sosial untuk mengunggah swafoto, makanan, tempat, atau mengetik apa yang dirasakan. Ini cara baru orang-orang mendefinisikan dirinya, yakni melalui unggahan di media sosialnya, I share therefore I am.

Apa yang sebenarnya terjadi? Alih-alih supaya bisa terhubung dengan orang lain, padahal sebenarnya hanya merasa takut kesepian? Hanya ingin terkesan sebagai orang yang perhatian atau berempati di hadapan semua followers? Merasa cemas dan panik jika orang lain akan memberikan label buruk kepadanya sesaat setelah mengunggah sesuatu di media sosial sehingga cenderung mengunggah sesuatu yang tidak menggambarkan diri yang sebenarnya?

Apakah ini dibiarkan? Hidup pada era yang tidak bisa lepas dari telepon genggam, yang ingin terkoneksi tapi justru malah terisolasi untuk “plugged” dan “wired”.  Apakah dengan aktif sebagai pengguna media sosial kita akan cukup berbahagia? Menurut Sherry Turkle, seorang profesor dalam bidang social science (psikologi kepribadian dan teknologi) dari Massachusetts Institute of Technology mengatakan bahwa ada satu hal bagian yang sebenarnya hilang dalam hidup kita, yakni solitude. Solitude adalah sebuah state di mana manusia dapat menemukan dirinya yang sejati. Definisi dalam bahasa Inggris cukup menjelaskan apa sebenarnya solitude itu yakni, “state of being alone without being lonely and can lead to self-awareness”. Dengan berada pada state ini, manusia akan lebih banyak waktu dengan sendiri sehingga jauh lebih peduli dengan dirinya, Jika sudah selesai dengan diri sendiri, maka akan mulai menghargai orang lain, terhubung dengan mereka dengan real attachment, bukan dibuat-buat, bukan melihat orang lain hanya sebagai pelengkap atau sebuah sparepart yang dapat menggantikan “bagian yang rusak”. Lalu usaha atau sumber apa yang dibutuhkan untuk dapat mencapai solitude?  Meluangkan waktu. Waktu untuk saling bercakap-cakap, saling mendengarkan (sampai pada pembahasan yang membosankan sekalipun). Sebab memberikan waktu itu adalah bentuk  perhatian. Semua ada di tangan kita, kita yang memilih. Memilih menghabiskan waktu kita untuk terhubung hanya lewat hubungan yang virtual atau mengambil waktu kita yang dulu hilang dengan mulai menelepon, janjian untuk ketemuan sehingga kita menggunakan teknologi yang semakin canggih ini untuk membuat hidup yang kita jalani adalah hidup yang benar-benar kita cintai.

 

 

Tentang Penulis

Febriani Priskila, seorang ilmuwan psikologi khususnya psikologi pendidikan. Berpengalaman sebagai akademisi baik pada pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi.  Tertarik mempelajari dan pernah  meneliti topik-topik terkait pendidikan anak berkebutuhan khusus dan academic engagement.

 

Referensi

Marano, H.E.  (2003, July 1, ). What Is Solitude? Diunduh dari https://www.psychologytoday.com/articles/200307/what-is-solitude