Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) merupakan rumah sakit jiwa terbesar dan tertua di Indonesia. Kondisi RSMM yang saat itu sedang di renovasi tidak membuat fasilitas berkurang. RSMM memanggil para pasien rawat inap dengan sebutan residen dan pasien rawat jalan dengan sebutan pasien daycare.

Residen terbaru menjadi 3 kelas yang di beda kan dari segi fasilitas yang di dapatkan. Bagi residen dari kalangan ekonomi keatas biasanya di kamar VVIP yaitu kelas 1. Kelas 2 untuk kamar VIP dan kelas 3 untuk residen dari kalangan ke bawah. Residen kelas 3 ditempatkan di kamar barak yang berisikan 20 kasur. Para residen barak akan di bedekan dari kondisi atau keparahannya. Ketiga kelas dibedakan melalui fasilitas kamar dab makanan yang di berikan. Walaupun berbeda, namun setiap residen di berikan peralatan dan penanganan yang sama. Saat berkunjung ke RSMM, saya kagum dengan fasilitas dan kondisi rumah sakit. Sebelumnya saya sudah pernah mendatangi beberapa RSJ dan panti sosial, namun RSMM merupakan tempat dengan fasilitas terbaik dan terbersih. Alat-alat dan perlengkapan untuk membantu proses terapi juga sangat beragam dan dalam kondisi yang bagus.

RSMM memiliki  beragam kegiatan untuk terapi aktivitas kelompok (TAK). Kegiatan yang ada sangat beragam seperti membuat gabah,  membuat telor asin, berkebun, bermusik, menggambar dan lain – lain.  Kegiatan ini dibuat guna mempersiapkan residen mengembangkan bakatnya, membiasakan untuk berinteraksi, dan membantu residen mengetahui apa yang ingin dilakukan setelah keluar dari RS. Disana kami mendapatkan berbagai informasi mengenai rumah sakit dan pengetahuan mengenai kesehatan mental. Pihak RSMM sangat memperhatikan kode etik dimana pengunjung tidak diperbolehkan untuk merekam suara/gambar, memfoto dan menyebarkan data pasien. Disana kami sempat berinteraksi dengan beberapa residen.

Dari hasil observasi ketika berada dalam ruangan rehabilitasi, saya tidak melihat pasien yang agresif. Beberapa dari mereka terlihat menunjukkan simptom negative yaitu avoliation. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka hanya duduk berdiam dan menunjukkan ketidaktertarikan pada kegiatan sosial. Disana saya sempat berbagai dengan beberapa residen, namanya hanya di berikan waktu yang singkat dan berebutan dengan orang lain. Saat berbicara dengan salah satu residen, saya melihat beberapa simptom negative dan positive yang muncul. Menurut perawat, ia merupakan pasien yang sudah membaik dan dapat dipulangkan sebentar lagi. Berdasarkan sesi bicara dan observasi terlihat bahwa pasien mengalami Disorganized thinking/speech, karena terkadang arah pembicaraan tidak berkaitan. Ia sudah dapat berinteraksi dengan orang baru secara baik. Saat menjawab pertanyaan ia menyatakan bahwa ia ingin ‘suara setan’ berhenti mengganggunya. Hal tersebut menyatakan bahwa ia mengalami halusinasi.

Menurut pihak RSMM banyak dari pasien yang sudah dipulangkan kembali lagi ke RS karena kambuh.. Berdasarkan hal tersebut, saya sebagai mahasiswi Psikologi merasa dapat memberikan kontribusi sederhana. Keluarga pasien yang  mengalami kekambuhan biasanya salah dalam pola asuh karena tidak begitu mengerti pada gangguan. Maka dari sangat diperlukan psikoedukasi untuk menjelaskan gejala, penanganan dan apa yang sebaiknya dilakukan.

Pihak keluarga harus diberitahukan bahwa setelah keluar dari RS, pasien tetap membutuhkan obat secara rutin. Selain itu saya juga dapat mengedukasi masyarakat untuk tidak mengucilkan penderita gangguan jiwa atau orang-orang yang memiliki mental illness. Memberitahukan bahwa menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Catatan Pengalaman Mahasiswa 
Adiska Uswa Aisa – Psikologi ’18